Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Situasi di sepanjang Durward Street tampak sepi. Jarang ada kendaraan, apalagi orang yang melintas, karena jalan itu bukanlah jalur utama di London. Flat-flat modern di sepanjang jalan dan aspal mulus yang menutupinya seperti menyelimuti sejarah kelam yang terjadi di bagian kota ini dulu.
Ya, 126 tahun silam, sewaktu jalan itu masih bernama Buck's Row Road, Mary Ann Nichols, seorang pelacur setempat, ditemukan tergeletak tewas mengenaskan di trotoar. Pelakunya siapa lagi kalau bukan lelaki yang menyebut dirinya Jack the Ripper, nama samaran seorang lelaki misterius, pembunuh berantai yang menghantui London pada musim gugur 1888.
"Tenggorokannya tersayat melintang dari kiri ke kanan dengan organ terburai dari dalam perutnya," kata Richard Jones, pemandu wisata napak tilas kasus Jack the Ripper di London, yang diikuti Tempo pada pertengahan September lalu. Untuk menghapus horor yang ditinggalkannya, warga setempat meminta nama jalannya diganti menjadi Durward Street.
Terdengar ungkapan rasa ngeri dan kaget dari beberapa peserta tur ketika Jones menceritakan kondisi korban saat itu. "Anehnya, hanya sedikit tetesan darah di jalanan sehingga detektif dan polisi saat itu mencurigai bahwa Mary Ann tidak dibunuh di lokasi ini," tutur Jones.
Jack the Ripper, pembunuh berantai pertama di London, meninggalkan horor yang tak mudah dilupakan: ia membantai lima wanita dalam sepuluh minggu. Empat dari lima korban ditemukan di Distrik Whitechapel dan Spitalfield, London bagian timur. Satu korban lagi di pusat Kota London. "Dua kesatuan kepolisian dari wilayah The Metropolitan Police untuk London Timur dan The City of London Police bekerja sama menginvestigasi kasus itu," ujar Jones.
Tak jelas memang berapa banyak wanita yang dibunuh Jack. Dua minggu sebelum Nichols ditemukan, warga London sudah diresahkan oleh kasus pembunuhan Martha Tabram. Dia kerap disebut korban pertama Jack. Namun, karena buktinya lemah, akhirnya cuma lima korban yang diyakini dibunuh oleh orang yang sama. Dalam bukunya, The Complete History of Jack the Ripper, Philip Sugden menyebutkan jumlah korban Jack sesungguhnya masih misterius. "Tidak ada jawaban mudah. Setidaknya ada empat, mungkin enam, atau bisa jadi delapan."
Para korban, kecuali Tabram dan Mary Jane Kelly, dibunuh di jalanan. Tak ada bukti yang menunjukkan korban saling mengenal. Penampilan dan usia mereka pun bervariasi, antara 25 dan 47 tahun. Laporan mengungkapkan mereka diduga sedang mabuk ketika dibunuh. Lehernya digorok, anggota badannya dimutilasi.
 Kelly, korban termuda, ditemukan tewas di ranjangnya di Miller's Court. Wanita cantik 25 tahun itu disembelih, hidung dan payudaranya dipotong dan ditaruh di meja. Tubuhnya dikuliti dan dimutilasi. Jantungnya ditemukan tergeletak di meja. Hasil pemeriksaan memperkirakan si pembunuh mempunyai pengetahuan tentang bedah atau anatomi tubuh. Temuan ini membuat Kota London semakin mencekam.
Kondisi London saat pembunuhan berantai terjadi memang "berantakan". London pada awal abad ke-19 adalah kota pelabuhan terbesar di Eropa. Kaum imigran dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong ke sana. Jurnal online The Proceedings of the Old Bailey menerangkan bahwa wilayah, perekonomian, dan populasi London tumbuh secara mencengangkan. Hasil sensus pertama pada 1801 mengungkapkan populasinya mencapai satu juta jiwa. Angka itu naik dua kali lipat hanya dalam 50 tahun, dan mencapai tujuh juta orang pada 1911.
Lebih dari sepertiga penduduk London di era itu kaum imigran. Banyak orang Irlandia, Wales, dan Skotlandia hijrah ke sana. Kelompok imigran Cina dan kulit hitam menempati area di sekitar pelabuhan. Ada lagi para pencari suaka dari berbagai wilayah di Eropa yang masuk ke London karena sistem politik Inggris lebih bebas. Giuseppe Mazzini dan Karl Marx termasuk kelompok orang yang mencari suaka ke Inggris. Jumlah orang Yahudi yang bermigrasi ke London pun melonjak seiring dengan meningkatnya kasus kekerasan dan represi politik di Eropa Timur.
Revolusi Industri membuat London berkembang sekaligus menciptakan kemiskinan baru. Pekerjaan dengan upah layak sulit didapat karena populasi tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja. Pada paruh pertama abad ke-19, permukiman warga kota meluas. Wilayah hunian di pinggir-pinggir sungai menjadi lebih padat dan kumuh.
Kriminalitas bukan hal aneh di London bagian timur, apalagi di area Whitechapel yang padat. Namun kasus Jack the Ripper sukses menarik perhatian banyak orang. Apalagi korbannya memiliki latar belakang serupa: pelacur. Saat itu lebih dari separuh populasi orang miskin di London adalah wanita dan anak-anak. Mereka terpaksa bekerja di pabrik dengan upah rendah atau menjadi pelacur untuk mendapatkan uang dengan mudah. Pada 1857, tercatat setidaknya satu dari 60 rumah di area kumuh London menjadi tempat prostitusi. Satu dari 16 wanita yang tinggal di area itu, atau sekitar 80 ribu perempuan London, mencari penghidupan dengan menjajakan diri.
Kasus kematian para pelacur itu tumbuh menjadi pembicaraan yang memikat banyak orang. Identitas pembunuh yang misterius membuat cerita semakin bombastis. Polisi dan media massa bahkan menerima ratusan surat kaleng yang berisi pengakuan tentang jati diri si pembunuh. Adapun julukan Jack the Ripper muncul setelah satu kantor media, Central News Agency, menerima surat kaleng serupa pada 27 September 1888.
Surat dengan nama penulis Jack the Ripper yang menyatakan pembunuhan bakal tetap berlangsung itu sempat dianggap lelucon. Tiga hari kemudian London kembali gempar karena ada dua pelacur yang dibunuh sekaligus dalam semalam. Sejak saat itu, media Inggris mempopulerkan Jack the Ripper sebagai pseudoname si pembunuh berantai.
Setidaknya ada lebih dari 15 orang yang dicurigai sebagai Jack. Rumor yang beredar bahkan mengatakan Jack seorang dokter yang gila, orang Polandia yang sinting, anggota kerajaan Rusia, istri yang sakit jiwa, bahkan Pangeran Albert Victor, putra tertua Pangeran Edward dari Wales. Namun kecurigaan itu pupus karena mereka semua punya alibi kuat.
Misteri gelap kasus itu akhirnya terkuak pada September lalu. Sebuah penelitian terbaru yang menggunakan genetika membuka identitas asli Jack the Ripper. Identitas pembunuh terbaca berkat analisis rekam jejak genetik dalam sisa bercak cairan tubuh yang membekas di selendang milik Catherine Eddowes, korban keempat yang ditemukan tergeletak di jalanan Mitre Square. Â
Penulis buku asal Inggris, Russell Edwards, menyatakan telah memecahkan kasus misterius itu. Edwards, yang juga mengaku sebagai detektif partikelir, mendapatkan petunjuk utama dari selendang korban yang ternoda darah. Selendang itu dia peroleh dari sebuah lelang di Bury St Edmunts, Suffolk, pada 2007.
Edwards mengatakan selendang itu awalnya diambil oleh Amos Simpson, polisi yang bertugas pada malam jenazah Eddowes ditemukan. Simpson kemudian memberikan selendang itu kepada istrinya, tapi ditolak karena terdapat bercak darah. Mereka akhirnya menyimpan benda itu tanpa pernah diketahui penyelidik kepolisian yang kelimpungan menginvestigasi pembunuhan berantai. Selendang itu diwariskan oleh keturunan Simpson, hingga akhirnya muncul di balai lelang pada 2007. "Syukurlah, selendang yang menyimpan bukti penting itu tak pernah dicuci," kata Edwards.
Edwards meminta bantuan Jari Louhelainen, ahli biologi molekuler dari John Moores University, Liverpool, untuk menyelidiki pemilik rantai deoxyribonucleic acid (DNA) yang ada di dalam bercak darah. Belakangan, dari hasil pemeriksaan lanjutan, mereka mengetahui ada bekas noda cairan mani di selendang itu.
"Saya berhasil mendapatkan satu-satunya bukti forensik dalam kasus misterius ini. Sudah 14 tahun saya menyelidiki kasus itu dan kami akhirnya membongkar misteri siapa sebenarnya Jack the Ripper," kata Edwards seperti ditulis The Mirror, 8 September lalu.
Louhelainen memastikan sidik DNA bercak darah pada selendang itu milik Eddowes, kupu-kupu malam yang sudah berusia 46 tahun saat ditemukan tewas. Profil DNA dalam darah itu cocok dengan data genetik Eddowes. Hal ini menguatkan dugaan sebelumnya bahwa selendang itu dipakai Eddowes ketika peristiwa pembunuhan terjadi.
Louhelainen lalu menyelidiki bercak cairan mani di selendang itu. Hasil riset DNA menemukan bercak mani itu milik Aaron Kosminski, imigran asal Polandia. Jejak DNA dalam noda itu cocok dengan data genetik yang diperoleh Louhelainen dari keturunan adik perempuan Kosminski. Tingkat kecocokan satu rangkaian DNA mencapai 99,2 persen. Adapun rangkaian kedua dalam tes menunjukkan kesesuaian yang sempurna.
Dari dua bukti itu, Louhelainen menyimpulkan pembunuh Eddowes adalah pria Yahudi Polandia berambut gelap. Profil ini cocok dengan data fisik Kosminski. Dia dan keluarganya adalah imigran Yahudi yang lari dari Polandia saat masih menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia. Mereka kabur menghindari aturan anti-Semit dan hukuman yang diterapkan rezim Kekaisaran pada kelompok Yahudi. Keluarga Kosminski tiba di Inggris pada 1881.
Ketika kasus pembunuhan terjadi, Kosminski baru berusia 23 tahun dan bekerja sebagai tukang cukur. "Saya puas terhadap hasil yang kami dapatkan. Sejauh ini kami yakin bahwa Aaron Kosminski adalah penjahatnya," ujar Louhelainen.
Dokumentasi kepolisian memang menunjukkan Kosminski merupakan satu dari enam tersangka pelaku pembunuhan yang diperiksa intensif. Investigator terdahulu juga yakin Kosminski merupakan pelakunya. Namun mereka tak memiliki bukti yang cukup kuat. Kosminski akhirnya tak pernah divonis bersalah dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa di London bagian utara karena diduga mengalami gangguan mental. Hidup dalam pengawasan ketat petugas rumah sakit, Kosminski akhirnya meninggal pada 1919 akibat infeksi parah di kakinya.
Kini terbongkarnya identitas Jack melejitkan antusiasme wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Jumlah turis yang mengikuti wisata napak tilas lokasi pembantaian lima perempuan oleh Jack the Ripper di London juga meningkat dua kali lipat. Tur dengan tiket 10 pound sterling atau sekitar Rp 200 ribu itu digelar tiap hari kecuali tanggal 24 dan 25 Desember. Dalam satu trip wisata kini ada sekitar 10 grup, dengan masing-masing berisi hingga 50 orang. "Saya ingin merasakan pengalaman langsung menjejaki situs-situs pembantaiannya," kata Alayna, wanita paruh baya asal Prancis yang mengoleksi buku cerita berdasarkan kisah Jack the Ripper.
Namun riset Edwards dan Louhelainen banyak diragukan peneliti kasus Jack the Ripper lainnya. Alih-alih dimuat dalam jurnal ilmiah untuk diperiksa validitasnya oleh komunitas peneliti, riset itu justru muncul pertama kali di media massa. Edwards diduga hanya mencari popularitas demi mendongkrak penjualan buku terbarunya yang mengulas misteri Jack the Ripper.
Richard Cobb, operator tur Jack the Ripper di London, mengatakan selendang itu tak bisa dijadikan bahan identifikasi kuat. "Selendang itu sudah dipegang banyak orang. Kosminski juga diketahui menjadi pelanggan pelacur di wilayah timur London. Jadi kemungkinannya ada sekitar 150 pria di area itu yang terhubung dengan selendang tersebut," kata Cobb seperti ditulis The Times of London.
Scott Bonn, profesor kriminologi dari Drew University, New Jersey, menyebutkan Jack the Ripper ada kemungkinan orang miskin tanpa identitas jelas yang ditangkap karena mengalami gangguan jiwa. Pasien yang dirawat di Colney Hatch Lunatic Asylum, London, itu dijuluki David Cohen. Dia meninggal di sana pada 1889.
Berbeda dengan laporan yang menilai Jack sebagai pembunuh berencana yang memahami ilmu bedah dan anatomi tubuh, Bonn justru menyebutnya sebagai pembunuh acak. Pembunuh seperti itu kerap meninggalkan jejak seperti sidik jari dan darah di lokasi serta tidak berupaya menyembunyikan mayat korban. "Mereka terkadang gila, tidak bisa berkomunikasi dan bersosialisasi," tulis Bonn dalam situs Psychology Today.
Sir Alex Jeffrey, penemu metode lacak sidik DNA atau DNA fingerprinting, mengatakan temuan Edwards memang harus diperiksa oleh peneliti lain sebelum dinyatakan sebagai bukti sah. "Klaim mereka sangat menarik tapi tetap saja harus diperiksa ulang," kata Jeffrey.
Menurut dia, perlu analisis menyeluruh tentang asal-usul selendang dan kesesuaian DNA dengan keturunan pelaku kejahatan. "Hingga saat ini memang belum ada bukti yang kuat," kata Jeffrey. "Namun, seingat saya, bahkan ketika saya mengunjungi Black Museum di New Scotland Yard, Kosminski sudah dianggap sebagai pelaku."
Jeffrey menemukan trik DNA fingerprinting di laboratoriumnya di Leicester University pada 10 September 1984. Saat mempelajari DNA tiga orang, Jeffrey menyadari ada banyak perbedaan mencolok dalam sampelnya. Potongan DNA kecil, seperti yang ada dalam bercak darah, bisa menjadi informasi penting mencari pelaku kejahatan. "Kami menemukan pola DNA yang sangat berbeda. Kami memiliki rekam jejak genetik dan dari situ dunia ilmu pengetahuan berubah," kata ayah dua anak itu.
Metode DNA fingerprinting menjadi kunci penting dalam membongkar kejahatan rumit seperti kasus Jack the Ripper. Teknik itu juga banyak digunakan untuk mengetahui garis keturunan, forensik, dan identifikasi korban kecelakaan atau bencana alam yang tubuhnya rusak hingga sulit dikenali. Teknik ini dianggap berakurasi tinggi dan bisa mencegah terjadinya bias dalam satu penyelidikan.
DNA adalah material dalam sel tubuh yang berisi informasi tentang pemiliknya. Informasi itu merupakan warisan dari generasi sebelumnya. Materi ini bisa ditemukan di mana saja pada tubuh manusia, dari kulit, darah, air liur, hingga rambut. Cairan urine, air mani, bahkan air mata juga mengandung DNA. Pada dasarnya manusia berbagi 99,9 persen DNA dengan orang lain. Namun perbedaan kecil saja di level DNA sudah cukup menjadi penanda identitas yang unik. Seperti sidik jari, tak ada DNA manusia yang betul-betul sama persis, bahkan pada pasangan kembar identik.
Dalam metode DNA fingerprinting, hanya diperlukan profil DNA dalam sampel kecil dari serpihan kulit, cairan tubuh, atau rambut yang masih memiliki akar. Profil DNA bisa bertahan selama berabad-abad dan bisa direplikasi. Dengan penemuan teknik polymerase chain reaction (PCR), metode untuk memperbanyak DNA, ilmuwan kini bisa membuat sidik DNA dari bagian paling kecil material itu.
Di Indonesia, kepolisian menggunakan DNA typing sejak awal 1990-an. Metode itu pernah dipakai untuk menginvestigasi kasus pembunuhan Marsinah pada 1993. "Dilakukan untuk melacak lokasi mana saja yang pernah dilewati Marsinah. Dari situ, kami melakukan rekonstruksi kejadian," kata Kepala Laboratorium DNA Pusat Dokumentasi Kesehatan Kepolisian RI Komisaris Besar Putut Tjahjo Widodo, September lalu. Upaya memburu pelaku terorisme hingga identifikasi korban kecelakaan juga terbantu dengan memakai metode pelacakan sidik DNA. "Pekerjaan terbesar dan paling sukses adalah saat menangani kecelakaan Sukhoi di Gunung Salak," ujar Putut.
Direktur Eksekutif Disaster Victim Identification Komisaris Besar Antonius Castilani mengatakan, semakin cepat analis DNA bekerja, tugas penyidik dalam proses identifikasi dan investigasi semakin baik. Menurut Anton, jika analis DNA sudah bisa memastikan identitas pelaku, penyidik polisi bisa mengejarnya lebih cepat. "Kalau lama, pelakunya keburu kabur. Padahal waktu pemeriksaan tergantung sampel yang diterima," ujar Antonius.
Putut menuturkan, waktu yang dibutuhkan untuk identifikasi DNA bergantung pada kondisi sampel. Dia tidak bisa memastikan berapa lama. "Kalau petugas kami yang mengambil, saya bisa menjamin sampelnya baik. Namun, kalau orang lain yang mengambil, kami tidak tahu itu sudah rusak atau belum, dan itu jadi pekerjaan besar bagi kami," kata Putut.
Gabriel Wahyu Titiyoga, Amanda Valani Nurvadila (London)
Korban Jack the Ripper
Ada 13 wanita lain yang tewas mengenaskan sejak akhir 1887 hingga April 1891. Status mereka sebagai korban Jack the Ripper masih diperdebatkan. Â
1. Mary Ann Nichols
Jumat, 31 Agustus
Leher tersayat, dimutilasi, organ internal keluar
2. Annie Chapman
Sabtu, 8 September
Leher tersayat, dimutilasi, organ internal keluar
3. Elizabeth Stride
Minggu, 30 September
Leher tersayat, dimutilasi, organ internal keluar
4. Catherine Eddowes
Minggu, 30 September
Leher tersayat, dimutilasi, organ internal keluar, wajah diiris
5. Mary Jane Kelly
Jumat, 9 November
Leher tersayat, dimutilasi, organ internal keluar, payudara dipotong, sekujur tubuh diiris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo