Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam webinar bertajuk “Animasi di Indonesia: Jaringan Sosial dan Pengembangan Konten Lokal” dibahas sebab industri animasi di Indonesia tidak berkembang. Webinar tersebut digelar Pusat Penelitian Kewilayahan (P2K) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jumat 11 Desember 2020,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Peneliti Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Aris Arif Mundayat mengungkapkan pertanyaan yang kerap mengusiknya, yakni mengapa Indonesia yang kaya kisah di masyarakat lokalnya tak mampu melahirkan film animasi yang kuat. Banyak cerita rakyat ditunjukkan di antaranya lewat keberadaan buku berjudul 366 Cerita Rakyat Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dia menduga penyebabnya bukan persoalan teknis. Alasannya, banyak juga animator lokal yang mendapat kontrak untuk ikut proyek animasi global. "Tapi, kenapa, cerita rakyat kalah? Ini menjadi pertanyaan yang sering saya tanyakan,” ujar lulusan antropologi UGM itu.
Direktur dan Kurator-Produser Dapoer Dongeng Noesantara, Yudhi Soerjoatmodjo, mengatakan menyadari hal yang sama ketika menjadi seorang pemimpin perusahaan game lokal. Menurutnya, kreativitas orang Indonesia mampu bersaing secara visual dan digital tapi masih buruk secara story telling.
Animator Indonesia disebutnya sekadar membuat gambar baru tanpa menggunakan alur cerita baru dari sebuah cerita rakyat. Dalam cerita Mahabharata, misalnya, yang diketahui hanya perang antara Pandawa dan Kurawa. Kalaupun dikreasikan, Yudhi menambahkan, yang diubah hanya senjatanya.
"Padahal banyak cerita-cerita sampingannya yang menarik," katanya sambil menambahkan, "Kita seperti tidak punya ide dan gagasannya bahkan sangat miskin."
Selain itu, Yudhi juga menemukan persoalan wawasan. Menurutnya, banyak para kreator yang tidak suka menambah wawasannya, dan hanya membaca di sekitar mereka. “Jadi kalau bicara game ya mereka hanya suka animasi, desain grafis. Mereka tidak suka baca sastra, dan informasi lainnya,” kata dia.
Hal itu, Yudhi menyebutkan, hampir terjadi di semua sektor industri kreatif di Indonesia, mulai dari film, teater, dan fotografer. Tidak biasa membaca, melihat di luar dunianya, berdiskusi lebih luas, membuat kreator Indonesia menjadi miskin secara budaya.
“Ini merupakan tantangan besar bagi kami karena kreator di Indonesia hanya menjadi penjahit saja, bukan pencipta. Mereka hanya mengikuti yang diarahkan dari industri besar di Amerika, Jepang dan Korea, tetapi tidak membuat karya orisinal,” ujar Yudhi.
Direktur Program Minikino—organisasi festival film pendek Indonesia—Fransiska Prihadi menerangkan ada masalah lain di mana pembuat film hanya ingin menonton filmnya sendiri. “Dari berbagai kegiatan yang kami buat, ada tendensi seperti itu,” kata Fransiska.
Dia juga berpendapat, para kreator Indonesia membutuhkan kesadaran dan pendidikan lebih luas jika ingin sukses di bidang animasinya. Dia mengusulkan pemerintah memperkuat perpustakaan audio visual dan menciptakan bagaimana sistem dan infrastruktur bisa membawa manfaat bagi kreator.
“Kita memiliki short film library, tapi kita belum bisa membuatnya bisa diakses secara online,” kata Fransiska. Dia menegaskan, “Ide lainnya adalah budaya ini hanya bisa ada dan berkembang dengan pertukaran bukan dengan isolasi.”