Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH pengunjung Candi Jajagho atau Candi Jago berswafoto di pelataran candi pada Kamis siang, 29 Desember 2022. Sebagian naik ke badan candi sembari melihat sejumlah relief yang terpahat dari kamadatu atau kaki candi sampai rupadatu atau tubuh candi. Di kaki candi, di teras kedua terpahat relief Kunjarakarna. “Mengisahkan surga dan neraka. Saya merinding kalau membaca relief Kunjarakarna,” kata juru kunci Candi Jago, Imam Pinarto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Relief dibaca secara prasawya atau melawan arah jarum jam, mengelilingi bangunan candi. Kunjarakarna dikisahkan menghadap Dewa Wairocana atau Buddha untuk mengenal Dharma. Kunjarakarna ditunjukkan jalan arwah, apakah ke neraka atau surga, disesuaikan dengan perbuatan masa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perjalanan dunia arwah, masuk surga atau neraka,” tuturnya. Di salah satu adegan, dikisahkan Kunjarakarna diempas banjir bandang. Imam mengatakan, jika sekarang, banjir itu disebut rob. Namun, atas kesucian hatinya, ia selamat dari bencana dengan menaiki perahu. Relief itu terdapat di sisi timur candi. Menurut Imam, relief Kunjarakarna adalah yang terpanjang di Candi Jago. Selain Kunjarakarna, terdapat relief Angling Darma, Tantri Kamandaka, Arjunawiwaha, dan Kresnayana di Candi Jago.
Candi ini berada di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Candi Jago diperkirakan dibangun pada 1268-1280 sebagai penghormatan bagi Raja Singasari IV, Sri Jaya Wisnuwardana. Berdiri di atas batur setinggi satu meter dan kaki candi atas tiga teras bertingkat, bangunan candi berbentuk segi empat. Bagian atapnya hilang.
Juru kunci Candi Jago, Imam Pinarto memperlihatkan sejumlah relief candi di batur atau kaki candi, di Tumpang, Malang, Jawa Timur, 29 Desember 2022. TEMPO/Eko Widianto
Candi lain yang diduga berkait erat dengan masalah bencana adalah Candi Badut, yang berada di tengah permukiman padat penduduk di Desa Karangbesuki, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Candi ini diperkirakan merupakan candi tertua di Jawa Timur, dibangun atas perintah Raja Gajayana dari Kerajaan Kanjuruhan yang berada di Dinoyo menurut Prasasti Dinoyo (760 Masehi). Bangunan candi yang tersusun dari batu andesit ini ditemukan pada 1923. Candi berdiri di atas batur persegi tanpa hiasan relief.
Pintu candi dihiasi kalamakara di atas ambang pintu. Di dalamnya terdapat ruangan yang berisi lingga dan yoni. Di dinding sekeliling ruangan terdapat sejumlah relung kecil, yang mungkin berisi arca. Dinding candi berhias relief burung berkepala manusia dan peniup seruling. Di keempat sisi tubuh candi terdapat relung berhiaskan bunga dan burung berkepala manusia. Sedangkan di dinding luar sisi utara candi terdapat arca Durga Mahisasuramardini yang tampak rusak.
Candi ini adalah salah satu candi yang dikunjungi tim Ekspedisi JawaDwipa. Menurut tim, tempat pemujaan itu runtuh bukan akibat perang, melainkan bencana alam berupa gempa bumi. “Tandanya lingga dan yoni candi tersebut masih utuh,” ucap ketua peneliti Ekspedisi JawaDwipa, Lien Sururoh, pada saat pemaparan menjelang finalisasi hasil riset, Kamis, 1 Desember 2022.
Lingga dan yoni, menurut dia, adalah bagian terpenting sebuah candi. Selain menjadi wujud kelengkapan magis candi, lingga dan yoni adalah simbol kebesaran kerajaan yang membawahkan wilayah berdirinya candi. Pemberontak atau musuh yang menyerang kerajaan biasanya menghancurkan lingga dan yoni candi untuk menghapus simbol kebesaran keraton. “Jika rusaknya sebuah candi karena serangan musuh, lingga dan yoni menjadi prioritas untuk dihancurkan,” ujarnya.
Lien membandingkan runtuhnya Candi Badut dengan Candi Singosari. Berdasarkan studi literatur dan pengamatan lapangan, Candi Singosari rusak tersebab perang. Tanda-tandanya, lingga dan yoninya hancur. Namun Lien dan tim belum dapat memastikan bencana apa yang membuat Candi Badut runtuh. “Bisa gempa, bisa juga banjir bandang. Tapi, kalau melihat jenis kerusakannya, kelihatannya karena gempa bumi,” katanya.
Anggota tim ahli sejarawan Ekspedisi JawaDwipa, Rakai Hino, menambahkan, Candi Jago dipilih karena terdapat relief tentang bangunan berumpak yang termasuk bentuk mitigasi bencana. “Didapati pula cerita bencana alam pada relief Partayajnya,” tutur dosen mata kuliah sejarah klasik Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab Universitas Islam Internasional Darullughah Wadda’wah, Pasuruan, Jawa Timur, tersebut.
Candi Badut di Dau, Malang, Jawa Timur, di Dau, Malang, Jawa Timur, Desember 2022. Dok. Tim Ekspedisi Jawa Dwipa
Candi lain yang dapat menjadi petunjuk terjadinya bencana pada masa klasik Hindu-Buddha adalah Sawentar dan Penataran di Kota Blitar, Jawa Timur. Keduanya memiliki informasi mitigasi gempa pada bangunan dengan umpak di beberapa relief. Ekskavasi di Sawentar sebelumnya dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Menurut keterangan warga setempat, candi-candi tersebut awalnya tertimbun tanah yang diduga lumpur material letusan Gunung Kelud.
Jika diperhatikan, letak Candi Sawentar lebih rendah dibanding lokasi di sekitarnya. Di tempat timbunan fondasi Candi Sawentar II ditemukan batu andesit, yang biasa terdapat di sungai. Mempertimbangkan sejarah kebencanaan berdasarkan ingatan kolektif warga pada 1966, Desa Sawentar dilalui jalur lahar dingin dari erupsi Gunung Kelud.
Rakai menjelaskan memakai metode komparatif serta arkeologi sejarah untuk menelaah artefak dengan sumber sejarah sastra dan prasasti. Dalam prasasti, untuk mitigasi bencana alam, dilakukan penyembahan kepada dewa gunung, di antaranya dalam Prasasti Palah (penelitian epigraf Rakai Hino) serta Prasasti Merapi Merbabu (penelitian Agusta Rendra dan Abhimarda).
Adapun gempa diketahui terjadi berdasarkan Prasasti Warunggahan (penelitian Gunawan A. Sambodo). Sedangkan berita banjir diketahui lewat Prasasti Kamalagyan (penelitian Ninie Susanti) dan gempa gunung disebut dalam Prasasti Rukam (penelitian Titi Suti Nastiti). “Dan tentunya terhadap semua prasasti itu dilakukan penelitian awal, tapi belum mendalam, oleh Brandes, Boechari, dan Karto Atmojo,” ujar Rakai.
Mereka juga meninjau temuan umpak baru yang tersebar di Jawa Timur. Umpak adalah landasan rumah untuk penyangga dan upaya mitigasi gempa pada bangunan. Umpak-umpak tersebut terlihat pada relief yang menggambarkan rumah berumpak. Keberadaan umpak didapati pada relief Candi Jago dan Penataran. “Di Penataran pada cerita Ramayana dan di Candi Jago pada cerita Ari Dharma, Kunjarakarna, serta Partayajnya,” ucapnya.
Dari temuan tersebut, diperkirakan sejak dulu Malang dan sekitarnya adalah daerah rawan bencana. Namun, karena minimnya teks di masa prakolonial, data kebencanaan itu hanya dapat ditelusuri melalui reruntuhan candi, relief, tugu prasasti, umpak batu, kitab kuno, suluk, tembang, dongeng legenda, dan sejenisnya.
Watu Gong di Kelurahan Ketawanggede, Kota Malang, kata Rakai, termasuk petunjuk kuat tentang adanya mitigasi bencana di masa lalu. Ia yakin situs peninggalan Kerajaan Kanjuruhan itu merupakan petunjuk bagaimana masyarakat di era lampau mencoba beradaptasi dengan bencana. Pada zaman yang lebih maju, media adaptasi terhadap datangnya bencana digantikan peralatan “modern”. Misalnya kentongan tanda bahaya yang hanya dipukul oleh seorang jagabaya.
Tim Ekspedisi Jawa Dwipa mengobservasi Candi Sawentar di Blitar, Jawa Timur, Desember 2022. Tim Ekspedisi Jawa Dwipa
Tim juga meneliti ritual masyarakat lokal, terutama di wilayah pesisir, untuk mengetahui tradisi doa lokal yang berhubungan dengan tsunami dan gempa. Masyarakat di pesisir Pacitan, Jawa Timur, sampai saat ini masih menyebut tsunami dengan istilah “pasang grasa”. Masyarakat pesisir Banyuwangi, Jawa Timur, menyebutnya “banyu ampeg” dan “segoro munggah”. Menurut Lien Sururoh, sebagian besar penduduk pantai masih belum tahu apa penyebab tsunami. Itu pula yang terjadi ketika Banyuwangi dilanda tsunami pada 1994.
Ada juga tradisi larung sesaji para nelayan. Dalam Prasasti Pasrujambe, Lumajang, Jawa Timur, menurut Lien, ditemukan teks tentang kewajiban masyarakat menghormati bumi yang disebut “Ibu Pertiwi”. Teks prasasti itu, dia menambahkan, menunjukkan bahwa tradisi kearifan lokal untuk memohon agar tak timbul tsunami sejatinya sudah lama ada.
Rakai Hino mengimbuhkan, data kebencanaan juga dilacak dengan membaca kitab Negarakertagama, Pararaton, dan Hariwangsa di masa Hindu-Buddha serta Serat Centhini di masa Islam. Dalam kitab Hariwangsa, menurut Rakai, ditemukan kata “rob” yang diduga merujuk pada bencana banjir atau tsunami.
Tim belum mengetahui siklus gempa di masa klasik. Namun, dari Pararaton yang menceritakan wilayah Jawa Timur bagian timur, terjadi gempa bumi beberapa tahun sekali yang terkait dengan erupsi Gunung Kelud. Misalnya di bagian akhir Pararaton yang menceritakan penguasaan daerah dengan memunculkan tahun candra sekala lombo. Di bagian itu diketahui banyak sekali gempa yang terjadi di wilayah Jawa bagian timur. Bacaan tersebut dapat diketahui dari hasil translasi yang dilakukan Padmapuspita dan Pitono serta yang paling baru terbitan Arsip Nasional yang ditulis Agung Kriswanto. “Hasil translasinya sama,” tutur Rakai.
Pembina tim, Amien Widodo, menambahkan, siklus gempa besar di Jawa Timur relatif lama dan tak bisa diprediksi lipatan waktunya. Kategori gempa besar, ujar dia, adalah yang magnitudonya 5 pada skala Richter (SR) ke atas. Siklus kegempaan yang sering terjadi, menurut Amien, ialah gempa di bawah 5 SR, tapi punya daya rusak tinggi. Siklus gempa itu, menurut pakar kebencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, tersebut, berganti-ganti. “Kadang-kadang di Banyuwangi, Jember, Malang, Blitar, Pacitan. Jadi kita belum bisa membuat ini siklus berapa tahunan, masih sulit diprediksi,” ucap Amien.
Pada 1800-an, Amien mengungkapkan, tercatat terjadi gempa besar dalam waktu berdekatan. Misalnya pada 1836 dan 1837 terjadi gempa besar di Mojokerto. Disusul berturut-turut di selatan Jawa, khususnya Malang bagian selatan. “Sampai terakhir pada 2021,” tuturnya. Semestinya hal ini membuat masyarakat lebih waspada dan menjadi pertimbangan mitigasi serta dapat memberi pengetahuan tentang gempa.
Ekspedisi JawaDwipa dimulai pada 14 November 2022. Kegiatan yang diinisiasi Yayasan Skala tersebut dijadwalkan rampung pada Desember 2022. Tim yang terdiri atas mahasiswa, akademikus, peneliti, dan arkeolog itu berfokus pada penggalian data kearifan lokal masyarakat zaman klasik Hindu-Buddha dalam memitigasi bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami. Mereka mengkhususkan penelitian pada beberapa candi di Jawa Timur.
Tim Ekspedisi Jawa Dwipa ketika mengunjungi Situs Kumitir di Mojokerto, Jawa Timur, November 2022. Tim Ekspedisi Jawa Dwipa
Menurut ketua peneliti Lien Sururoh, sebagian besar rute ekspedisi menyusuri garis pantai dari Pacitan, Blitar, Malang, Lumajang, hingga Banyuwangi. Lalu perjalanan diteruskan memutar ke garis pesisir utara dari Situbondo, Bondowoso, sampai Tuban. Selanjutnya tim bergerak ke daerah tengah di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, dan mengakhiri ekspedisi di Surabaya.
Amien Widodo mengatakan Situs Kumitir di Mojokerto yang diekskavasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur pada 2020 juga menjadi petunjuk penting mengenai punahnya suatu peradaban akibat bencana. Amien menduga situs yang dulu merupakan pesanggrahan Bhre Wengker itu lumat oleh gempa dan banjir bandang. Menurut dia, bencana besar yang melumat Majapahit itu masih misterius karena teks yang sangat minim dan tak adanya bekas petunjuk. Dari ekskavasi Situs Kumitir, material yang ditemukan identik dengan pasir gunung.
“Jadi ditarik kesimpulan awal bahwa Majapahit hancur, selain karena konflik, lantaran kiriman material letusan Gunung Welirang, Arjuno, dan Anjasmoro yang terjadi berkali-kali sehingga menghancurkan sebuah peradaban,” kata Amien.
Ketua Ekspedisi JawaDwipa yang juga Direktur Skala Indonesia, Trinirmalaningrum, mengatakan hasil ekspedisi itu akan diajukan sebagai rekomendasi kepada pemerintah bahwa mitigasi bencana di daerah-daerah masih minim.
EKO WIDIANTO (MALANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo