Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI General Manager Marketing di Electronic City, Wiradi turut bangga atas kinerja perusahaannya. Sejak didirikan pada akhir 2001, kini sudah ada sembilan gerai tersebar di Indonesia. Setiap tahun, penjualan supermarket elektronik itu terus meningkat. "Perkiraan konservatif, tahun depan naik 20 persen," kata Wiradi.
Tentu bukan hanya Wiradi atau pedagang yang melihat gurihnya bisnis elektronik. Produsen juga. Dalam lima tahun terakhir, penjualan barang elektronik terus meningkat. Mesin pengatur suhu udara, misalnya, yang pada empat tahun lalu penjualannya baru 460 ribu unit, akhir bulan lalu sudah mendekati 900 ribu. Tren ini dipercaya akan berlanjut hingga tahun depan.
Masih kecilnya kepemilikan produk elektronik menjadi salah satu faktor yang membuat peluang pasar masih besar. Menurut Ketua Electronic Marketer Club (EMC) Agus Subiantoro, saat ini baru separuh keluarga Indonesia yang mempunyai produk elektronik. Dengan demikian, masih ada sekitar 30 juta keluarga sebagai pasar baru. Itu belum memperhitungkan konsumen lama yang hendak menukar atau menambah kepemilikannya.
Semua calon konsumen baru itu berasal dari kelas bawah. Namun, dalam kalkulasi Agus, bukan tidak mungkin masyarakat kelompok bawah ini yang akan mendongkrak penjualan. Pasar elektronik memungkinkan itu karena persaingan yang makin ketat membuat harga kian murah. Bilapun masih mahal, banyak lembaga pembiayaan yang menawarkan kredit.
Selain itu, perbankan juga membuat pemasaran barang elektronik makin tinggi. "Penawaran kartu kredit sudah jorjoran, berlombalomba menjaring konsumen," kata Agus. Tak mengherankan jika jumlah pembeli nontunai kian meningkat, terutama karena suku bunga memang sedang rendah. Saat ini, sepertiga transaksi di bisnis elektronik dilakukan secara kredit. Agus memperkirakan, tahun depan transaksi nontunai akan kian dominan.
Selain penetrasi yang masih kecil dan sistem pembiayaan tadi, menurut Direktur Pemasaran PT Samsung Electronics Indonesia Stefanus Indrayana, kompetisi di tingkat retail memberikan sumbangsih besar. Aneka strategi berupa layanan tambahan, diskon, hadiah, atau imingiming menarik serupa, membuat bisnis ini makin bergairah. Juga, perkembangan teknologi membuka segmen baru. Salah satunya televisi layar kristal, yang menggerogoti konsumen televisi tabung.
Namun, harga minyak mentah dunia yang melejit mendekati US$ 100 per barel sejak dua bulan lalu cukup menghantui. Kenangan pada akhir 2005, ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak sampai dua kali, belumlah hilang. Agus, yang juga CEO PT Istana Argo Kencana, produsen merek Sanken, ingat benar dampak kebijakan itu. Suku bunga dan inflasi naik, daya beli masyarakat turun, sehingga penjualan anjlok. Keadaan itu berkepanjangan hingga tahun lalu.
Itu sebabnya, produsen dan penjual barang elektronik kini cemas menunggu apa yang diputuskan pemerintah. Jika benar naik, Agus memastikan biaya produksi akan meningkat. Dia memperkirakan harga jual barang elektronik akan lebih mahal hingga 30 persen. Prediksi yang sama dikemukakan Iffan Suryanto, General Manager Sales dan Marketing PT Sharp Electronic Indonesia. Menurut dia, kenaikan itu pasti akan memukul industri elektronik.
Kendati demikian, raja elektronik seperti Sharp, Panasonic, Samsung, LG, dan Toshiba tetap yakin industri ini tetap tumbuh tahun depan. Struktur ekonomi yang mulai mapan dianggap bisa menjadi landasan bisnis yang baik. Juga karena pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil dan ada tren meningkat. "Iklim ekonomi semakin baik setelah minicrisis pada 2005," kata Corporate Manager Panasonic Susy Darmayanti.
Penjualan barang elektronik tahun depan tetap akan didominasi empat jenis produk, yakni televisi, kulkas, penyejuk ruangan, dan mesin cuci. Keempat jenis tadi menguasai sekitar 80 persen consumer electronic. Setiap merek merajai satudua produk. Misalnya untuk televisi LCD dan televisi tipis, Samsunglah yang memimpin dengan pangsa pasar sekitar 50 persen. Kulkas dikendalikan oleh Sharp, dan AC di tangan Panasonic.
Pada Tahun Tikus nanti, peta persaingan akan makin ketat, terutama karena alasan penghematan energi dan perkembangan teknologi. Di bisnis penyejuk udara, produsen kini ramerame menjual produk AC hemat listrik. Harganya memang lebih mahal, tapi lebih murah dalam biaya operasional seharihari. Di televisi, layar kristal (LCD) akan menggeser televisi tabung. Di audio, produsen menawarkan konsep one for all.
Yang tak kalah seru, tahun 2008 akan makin diwarnai persaingan antara produsen asal Korea dan Jepang. Kini produk LG dan Samsung makin membanjiri pasar dan berusaha merebut pasar produk Jepang. "Dua pemain Korea itu sangat agresif. Bukan hanya di Indonesia, juga di seluruh dunia," kata Iffan.
Sharp sebagai pemain lama tentu tidak tinggal diam. Menurut Iffan, selain mengandalkan citra produk yang berkualitas, berbagai inovasi dilakukan, seperti AC Sayonara yang membutuhkan daya rendah. Selain itu strategi pemasaran juga harus jitu. Indrayana mengatakan, persaingan yang ketat akan memacu tiap merek menjadi pemimpin pasar. Ini berimbas kepada perbaikan kualitas. Tahun depan, Samsung mengincar kelas premium, produk yang selama ini dikuasai Jepang.
Pertarungan itu begitu terasa di tingkat pedagang. Di Electronic City, barang Korea makin digandrungi. Menurut Wiradi, daya beli menjadi faktor utama karena harga produk Korea memang lebih murah. "Konsumen makin realistis," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo