Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hari-hari yang Janggal

Tamu tak diundang menyasar rumah Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin pada malam-malam sebelum ia dianiaya hingga tewas. Beberapa orang bertandang ke kantor harian Bernas di Yogyakarta mencari dia. Memo Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo berbicara tentang berita yang ditulis Udin. Betapa janggal dan tak wajar hari-hari yang dirasakan orang-orang di sekitar Udin menjelang petaka berdarah itu. Kejanggalan yang masih kental bahkan setelah Udin tiada. Darah pun dilarung….

10 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tamu-tamu Misterius di Patalan
Kejadian janggal beruntun menjelang Udin dianiaya. Beberapa orang memiliki ciri yang sama.


MALAM semakin larut di Dusun Samalo. Warung bakmi milik Nur Sulaiman mulai sepi. Jalan di depan warungnya di Desa Patalan yang menghubungkan Yogyakarta ke Parangtritis, Bantul, juga lengang.

Ketika Nur sedang duduk santai ditemani Ponikem yang membantunya menjajakan makanan, seorang lelaki datang dengan mengenakan helm cakil. Kemeja putihnya dimasukkan ke celana jins. Karena tertutup pelindung kepala, wajah tamu tersebut tak dapat dikenali dengan jelas oleh Nur.

Dalam bahasa Jawa, lelaki yang terlihat kekar dan tinggi besar itu bertanya apakah Udin sudah pulang. Udin yang dimaksudnya adalah wartawan harian Bernas Fuad Muhammad Syafruddin, yang rumah kontrakannya berada di seberang jalan warung bakmi Nur Sulaiman.

Ponikem menjawab bahwa Udin belum pulang. Pria itu lantas pergi. Ia menghampiri seorang lelaki yang menunggunya di sebelah selatan warung. Berboncengan, mereka tancap gas. "Kendelan le nunggang motor (berani naik motor dengan laju cepat). Mereka pergi ke utara," kata Nur ketika ditemui Tempo, awal September lalu. Kisah perempuan 65 tahun itu adalah peristiwa sebelum Udin dianiaya pada Selasa malam, 13 Agustus 1996.

Malam itu, berselang satu jam setelah dua orang tadi meninggalkan warung, sekitar pukul 22.30 pintu rumah Udin diketuk. Di dalam, Udin sedang asyik bermain catur di komputernya sepulang dari kantor. Marsiyem, istri Udin, yang tengah menggosok pakaian, beranjak membukakan pintu.

Seorang lelaki dengan ikat kepala merah berdiri di ambang pintu. Ia mengaku teman suaminya dan hendak minta tolong memperbaiki sepeda motor. Sebatang besi sebesar jempol dengan panjang sekitar 50 sentimeter diperlihatkan "Ini lho, Mbak, mau dimasukkan ke knalpot tapi tidak bisa," katanya.

Ketika mata mereka bersirobok, Marsiyem serasa pernah berjumpa dengan tamu berbadan kekar dan tinggi tersebut. Namun dia tak ingat di mana. Marsiyem masuk lagi ke dalam rumah dan memberi tahu suaminya.

+ Siapa?
- Wah, enggak ngerti, Yah. Katanya temen Ayah.

Udin bersiap keluar dengan berkain sarung. Ketika diberi tahu bahwa tamunya hendak menitipkan motor, Udin berganti dengan celana panjang. Begitu Udin melangkah keluar, Marsiyem melanjutkan gosokannya. Daun pintu masih terbuka separuh. Kepada Tempo, akhir Agustus lalu, Marsiyem menyatakan dia sempat bertanya dalam hati mengapa suaminya tak mengajak lelaki tersebut masuk rumah.

Tiba-tiba, buk! Belum satu pakaian selesai digosok, Marsiyem mendengar suara terjatuh di halaman rumah. Ia segera lari keluar. Dan, di pinggir jalan, ia mendapati suaminya roboh telentang, dengan posisi kepala berada di arah selatan. Sekelebat ia melihat orang yang ditemuinya lari ke utara. Ia langsung menjerit. "Aku bingung, mengapa dalam sekejap bisa seperti itu," katanya dengan berkaca-kaca.

Satu per satu orang mengerumuninya. Sujarah, yang rumahnya berimpitan di sebelah utara kontrakan Udin, melihat Marsiyem menangis memeluk suaminya. Ia masuk lagi ke rumah mengambil senjata tajam. Setelah mengecek kiri-kanan, Sujarah lari ke utara sekitar 50 meter. Namun kerabat jauh Udin itu tak melihat orang yang mencurigakan.

Tak berselang lama, satu rombongan pemuda Bakulan datang dari arah utara. Empat orang, yakni Yunari, Sigit Bambang Suryanto, Yanadi, dan Akung Prastowo, mengendarai jip Hardtop. Dua orang lainnya, Sigit Prasetyo Wibowo dan Sri Kuncoro alias Kuncung, naik sepeda motor. Oleh warga di sana, Kuncung biasa dipanggil Pak Aman karena Kepala Urusan Keamanan Desa Patalan. Kuncoro adalah keponakan Bupati Bantul ketika itu, Sri Roso Sudarmo.

Menggunakan jip itu, Udin dilarikan ke Rumah Sakit Jebugan. Ikut menyertai: Sujarah, Marsiyem, dan Ma'ruf, tetangganya yang berjualan sate. Di Rumah Sakit Bantul itu, dokter angkat tangan lantaran peralatan medisnya tak memadai. Udin lalu dipindahkan ke Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, menggunakan mobil ambulans.

Bagi Sujarah, keterangan Marsiyem tentang dua tamu pada malam itu mengingatkannya pada peristiwa-peristiwa mencurigakan beberapa hari sebelumnya. Misalnya, pada Ahad malam, 11 Agustus 1996, dia melihat dua orang mengendarai sepeda motor GL Pro mendatangi warung bakmi milik Nur Sulaiman. Satu orang yang memakai helm cakil warna hitam membawa besi yang terlihat seperti shock breaker motor. Namun, ketika Tempo menanyakan peristiwa ini kembali, Ponikem yang menjaga warung mengaku tak ingat.

Hal lain yang menjadi perhatian Sujarah adalah kehadiran penjual jagung di perempatan Bakulan, sekitar setengah kilometer sebelah utara rumahnya. Sebelum malam itu, tak ada yang mangkal di sana. Apalagi, kata Sujarah, penjual jagung itu menghilang setelah malam berdarah tersebut.

Hari berikutnya, ketika sore hendak kulakan bensin, Sujarah melihat dua orang berbincang-bincang dengan Mbah Marjo. Mereka berdiri di sebelah utara rumah kakek itu, sekitar 50 meter dari kontrakan Udin. "Dua orang itu berbadan tegap, tinggi, dan memakai celana jins," kata Sujarah kepada Tempo, akhir Agustus lalu.

Beberapa hari kemudian, Sujarah sempat menanyakan maksud kedatangan dua orang itu ke Mbah Marjo, tapi dijawab lupa. Marjo pula yang pada malam kejadian menutup ceceran darah Udin dengan tanah, padahal polisi belum melakukan olah tempat perkara. Kini Mbah Marjo sudah meninggal.

Pada malam harinya, dia kembali melihat seseorang yang mirip dengan lelaki yang ngobrol dengan Mbah Marjo. Kali itu, sekitar pukul 22.00, dia berdiri di depan rumah Udin. Gelagatnya seperti hendak bertamu karena akan mengetuk pintu. Sujarah, yang sedang duduk di balai-balai rumahnya, menghampiri lelaki yang memakai helm ciduk, seperti helm yang dipakai pekerja bangunan.

+ Ada apa, Mas?
- Mas Udin ada?
+ Ada, tunggu sini.

Ketika Sujarah hendak membantu mengetukkan pintu, lelaki itu malah menolaknya dan bergegas pergi ke arah selatan. Alasannya hari telah larut malam. Dia menyatakan akan kembali lagi esok harinya.

Tak berselang lama, Udin ke luar rumah. Mendapat kabar ada yang mencarinya, Udin tak banyak komentar. Mereka lalu ngobrol hal lain sekitar 10 menit. "Tunggunen neng kene. Omonge motore rusak (Tunggu saja di sini. Dia bilang motornya rusak," kata Sujarah ketika pamit hendak istirahat.

Tak berhenti di situ kejadian-kejadian aneh yang diamati Sujarah. Bertepatan dengan hari Udin dianiaya, Jalan Parangtritis, tepatnya di kilometer 13,5, ketika itu terlihat lengang. Padahal baru memasuki isya. Sebuah sedan Honda Civic Excellent biru tua terparkir tak jauh dari rumah Udin. "Kehadiran mobil ini juga tidak lazim," Sujarah menduga-duga.

Rupanya, bukan hanya lelaki yang kini menjadi Ketua RT 16 Dusun Samalo itu yang merasakan berbagai keganjilan sebelum peristiwa tragis tersebut terjadi. Di kantor Udin, harian Bernas, teman-temannya mengalami hal serupa. Mereka melihat gelagat mencurigakan sebelum Udin dianiaya. "Beberapa ancaman secara langsung sudah pernah diterima Udin," demikian suara rekan yang termuat dalam buku Terbunuhnya Udin terbitan Aliansi Jurnalis Independen dan Institut Studi Arus Informasi pada 1997.

Misalnya, sekitar dua jam sebelum penyerangan, dua orang mencari Udin di kantor Bernas. Kepada petugas resepsionis, mereka mengaku sebagai Sukrisno, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Wirokreten, Bantul; dan Suwandi. Awalnya dua orang itu mencari Joko Mulyono, rekan Udin. Dengan alasan Joko tak ada, mereka ingin bertemu dengan Udin.

Mendengar ada orang mencarinya, Udin menghentikan pekerjaan. Mereka bertemu sekitar lima menit. Setelah tamunya pergi, menurut teman-temannya, Udin terlihat tertekan. Namun dia tak banyak bercerita, cuma menyatakan membahas masalah tanah. "Hanya sedikit persoalan," kata Heru Prasetya, redaktur Udin kala itu, kepada Tempo, akhir Agustus lalu.

Rupanya, dari penelusuran tim pencari fakta yang dibentuk Persatuan Wartawan Indonesia, orang yang datang ke kantor Bernas bukanlah Sukrisno melainkan Hatta Sunanto, adik Sukrisno, yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bantul dari Partai Persatuan Pembangunan. "Saya mengaku bernama Sukrisno karena dia lebih dikenal dibanding saya," demikian pembelaan Hatta kepada para wartawan pada 31 Agustus 1996.

Kini, setelah 18 tahun, ada yang menganggap kasus tersebut kedaluwarsa. Namun, karena belum ada tersangka setelah Dwi Sumaji alias Iwik dibebaskan pengadilan dari tudingan pembunuh Udin, pengusutan kasus itu bisa diteruskan. Hal itu seperti diungkapkan mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pada pertengahan Oktober lalu. Dia mendorong Presiden Joko Widodo memprioritaskan masalah ini.

Bila benar demikian, sebagai tetangga, Nur Sulaiman menyatakan senang kalau pelakunya diketahui dan ditangkap. Hanya, dia mengaku jera bila dimintai keterangan. "Saya ini tidak tahu apa-apa. Polisi bolak-balik bertanya dan ada yang menggebrak meja," kata ibu empat anak itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus