Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM daftar pemilih tetap pemilihan kepala daerah DKI Jakarta putaran kedua, Sri Rahayu tercatat tinggal di Apartemen CBD Pluit, Jakarta Utara, bertarif Rp 8 juta sebulan. Menurut Sukirno, Ketua Kelompok Penyelenggara Pemilihan TPS 52 Penjaringan, ia mengenal Sri sebagai penjual kopi dan rokok di dekat pompa bensin Pluit Karang Karya Timur.
Sukirno pun mengernyit ketika membaca alamat Sri itu. "Tak logis," katanya pada Kamis pekan lalu. Sukirno tengah memeriksa alamat pemilih penduduk di TPS wilayahnya untuk melakukan persiapan pemilihan gubernur putaran kedua pada Rabu pekan ini.
Dahi Sukirno kian mengkerut ketika ia menemukan nomor induk kependudukan Sri sama persis dengan nomor induk Budiyono. Tanggal lahir keduanya juga sama. Sukirno menduga keduanya satu keluarga. Namun, ketika dicek alamatnya, Budiyono tinggal di Jalan Muara Karang.
Ketika Wakil Ketua TPS 52 Anang Suryana mengeceknya, Budi dan Sri ternyata suami-istri. Menurut dia, pasangan ini tinggal di kompleks pergudangan di Blok A Nomor 6/7. "Mereka sudah lama tak terlihat ada di sana," kata Anang.
Lareng, warga Penjaringan di RT 22/8, membenarkan kabar bahwa Budiyono dan Sri adalah suami-istri yang tinggal di Muara Karang. Tapi ia mengatakan tak tahu persis tempat tinggal Budiyono. "Sudah dicari, orangnya jarang terlihat," ujar Lareng.
Atas kekisruhan data ini, Sukirno tak mau ambil pusing. "Tanya ke PPS saja," katanya. Menurut Sukirno, data salah nama dan alamat serta nama ganda ada sekitar 700 di wilayah pemilihannya.
Kekacauan data ini, menurut Sukirno, akibat penduduk di RT 22 banyak yang digusur, lalu pindah dan tak melaporkan tempat tinggal baru mereka. Pengecekan oleh Dinas Kependudukan, Sukirno menduga, dilakukan sebelum mereka digusur.
Tumpang-tindih dan kesalahan data pemilih ini salah satu dari 3.000 data ganjil di Jakarta Utara yang ditemukan tim Anies Baswedan-Sandiaga Uno, pasangan calon Gubernur Jakarta. Menurut Wakil Ketua Bidang Data dan Saksi Tim Anies-Sandi, Ahmad Sulhy, mereka menemukan data itu karena memakai perangkat lunak untuk mengecek data pemilih.
Menurut Sulhy, banyak data ganda dalam daftar pemilih. Ada dua nama dengan nomor induk sama. Atau nama sama dengan nomor induk berbeda tapi tanggal lahirnya sama dan alamatnya berbeda.
Temuan Tim Anies juga sama dengan temuan Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta. Menurut Ketua Bawaslu Mimah Susanti, mereka menemukan data ganda itu melalui peranti lunak Sistem Analisa Data Pemilih (Sadap). Jumlahnya mencapai 13 ribu di seluruh Jakarta atau 0,1 persen dari jumlah pemilih DKI.
Tim Anies-Sandi juga menemukan surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik dengan format salah. Surat keterangan itu adalah pengganti KTP elektronik, yang seharusnya sudah dimiliki penduduk untuk bekal mencoblos tapi belum tersedia lantaran blangko KTP habis.
Sulhy khawatir penerbitan surat keterangan ini membuka celah untuk mobilisasi massa dari luar Jakarta. Ia curiga banyaknya TPS yang mencatat kemenangan pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat pada putaran pertama akibat data kisruh ini. Soalnya, kata Sukirno, orang seperti Budiyono dan Sri Rahayu yang tak jelas tempat tinggalnya tetap akan dikirimi undangan mencoblos.
Selain itu, tim Anies-Sandi menemukan nomor induk kependudukan (NIK) yang tidak valid. Misalnya, ada nomor yang kurang dari 16 digit dan kode kota administratif serta tanggal lahir pemilih di NIK berbeda-beda. Malah ada NIK yang bukan kode provinsi DKI Jakarta. Sulhy menghitung kesalahan data ini terjadi pada data 153 ribu pemilih.
Wakil Ketua Tim Pemenangan Anies-Sandi, Mohammad Taufik, menuduh temuan nomor induk kependudukan yang tak valid itu kecurangan tim pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Taufik curiga karena Ahok adalah pasangan inkumben, yang punya akses data kependudukan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Sebaliknya, kubu Ahok juga merasa dicurangi. Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengeluh pemilih mereka banyak yang tidak bisa menggunakan hak pilih karena kehabisan kertas suara. PDIP adalah partai yang mengusung Ahok-Djarot.
Sekretaris tim pemenangan pasangan ini, Ace Hasan, mengatakan para pendukung Ahok kesulitan memilih karena dihalangi petugas. "Petugas tempat pemungutan suara memilah pendukung Ahok untuk dihalangi," katanya.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Edison Sianturi membantah tuduhan Taufik ataupun celah pemanfaatan salah data untuk menekan pemilih. Dia yakin basis data pemilih yang dikeluarkannya valid dan mustahil ganda. "Basis data kami hasil konsolidasi nasional di Kementerian Dalam Negeri berbasis Sistem Informasi Administrasi Kependudukan," ujarnya.
Soal kode NIK yang tidak sesuai dengan kode Jakarta, kata Edison, karena penduduk tersebut baru pindah dari luar Jakarta. Menurut dia, nomor induk tetap meski pindah tempat tinggal. "Ke mana-mana akan sama," katanya.
Komisi Pemilihan Umum DKI mengakui mereka keliru menerbitkan data pemilih. Menurut anggota Komisi, Mochammad Sidik, timnya ada kemungkinan silap saat memasukkan data dari daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dan daftar pemilih tetap pemilihan umum terakhir.
KPU, kata Sidik, setuju permintaan tim sukses dua pasangan untuk bertemu membahas data kacau itu sejak 1 April 2017. Menurut dia, tim sukses Anies paling getol meminta klarifikasi data. "Tim lawannya cenderung menerima saja," ujar Sidik.
Dalam pembahasan pada Senin pekan lalu, KPU mengundang Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk membahas data pemilih paling akhir. Dinas Kependudukan, kata Sidik, bisa menciutkan NIK invalid sebanyak 153 ribu menjadi tinggal 15 ribu.
Dinas lalu mengarsir nama-nama itu di daftar pemilih. Menurut Sidik, mereka yang ditandai itu tak akan mendapat kartu C6 atau undangan memilih. "Untuk data ganda, kami tetap memberikan formulir CD jika terdapat di daftar pemilih tetap," katanya.
Sidik bercerita ada dua input dengan nama yang sama persis. Nomor induk kependudukannya juga identik. Demikian juga tanggal lahirnya. Yang berbeda adalah nomor kartu keluarga dan alamatnya. Yang satu ada di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sedangkan yang lain di Duren Sawit, Jakarta Timur.
Menurut Sidik, Komisi tidak bisa begitu saja mencoret salah satu nama. Sebab, dia tidak tahu alamat tinggal keduanya. "Kalau yang kami coret adalah nama yang di Jakarta Selatan, dan ternyata dia justru tinggal di situ, bagaimana?" ujarnya.
Sidik tak bisa menjelaskan jika ada data seorang pemilih yang tercatat di dua alamat, dan dikonfirmasi oleh tetangganya ketika diverifikasi, sehingga menerima undangan memilih dari KPU. Menurut Ketua Bawaslu Mimah Susanti, dengan adanya formulir C6 yang tidak tepat sasaran, datanya bisa disalahgunakan untuk menggalang pemilih datang ke TPS. "Sehingga ada potensi manipulasi suara," katanya.
Gadi Makitan, Danang Firmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo