Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sering terjatuh dan terluka, Alya tak kapok menggelinding dengan sepatu rodanya.
Athaya menggemari sepatu roda sejak kelas IV SD.
Alfina berlatih sepatu roda dengan panduan di YouTube.
Berseluncur dengan sepatu roda jenis quad skate kini menjadi rutinitas Alyanada Nurafifah setiap akhir pekan. Di arena skatepark, Alya melatih kemampuannya berseluncur dan melompati berbagai obstacle atau rintangan, lalu terjatuh, dan bangkit kembali. Semua momen tersebut ia simpan di highlight story pada laman akun Instagram-nya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awal mula Alyanada tertarik sepatu roda jadul ini justru dari ikut-ikutan teman. Warga Bogor ini kepincut serius berlatih ketika pertama kali mencoba quad skate dalam kunjungannya ke RoJa (Roller Skate of Jakarta), tempat skating di Moja Museum, Gelora Bung Karno, akhir Mei tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia lalu mencari tahu tentang komunitas dan kelas pelatihan sepatu roda. Pada Juni 2021, Alyanada mengikuti kelas pertamanya bersama Skatelovers. Ia memantapkan hati membeli sepatu roda dan menekuni olahraga tersebut di pertemuan kedua. Sepatu quad skate pertamanya adalah merek Impala berkelir putih hologram seharga Rp 1,9 juta. Itu referensi dari temannya. “Ternyata ada cabangnya di Bali yang punya stok,” kata dara berusia 24 tahun itu.
Sepatu tersebut dilengkapi dengan toe stop yang berfungsi sebagai rem. Alya juga menambahkan toe guards di ujung depan sepatunya untuk meminimalkan goresan. Sepatu tersebut kini ia gunakan untuk berolahraga pada akhir pekan. Biasanya ia bermain sepatu roda di Pintu 3 Gelora Bung Karno atau lapangan dekat tempat tinggalnya.
Penggemar sepatu roda, Alyanada Nurafifah bermain di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 21 Mei 2022. TEMPO/Nita Dian
Hampir setahun berlatih, Alya mengaku sudah menguasai sejumlah teknik dasar bermain sepatu roda. Ia jadi tahu bagaimana berdiri, jatuh, bangun, maju, mundur, dan berbelok yang benar. Alya kini juga memilih aliran agresif yang memungkinkan dirinya melakukan berbagai gaya ekstrem di skatepark, seperti lompat dengan halang rintang.
“Lagi nekunin di sana karena menurutku lebih menantang. Banyak obstacle yang bisa dilewati,” ujar pegawai swasta di kawasan Jakarta Barat ini.
Meski sering terjatuh dan meninggalkan luka di tubuhnya, Alya tak kapok untuk terus bergelinding. Menurut dia, ada banyak manfaat dari olahraga sepatu roda. Selain membakar kalori dengan cepat, ia bisa bertemu dengan banyak orang baru sesama penggemar sepatu roda.
Beberapa acara sepatu roda pun ia ikuti, dari rolling di Stasiun Bandara BNI City bersama Jakarta Roller Squad dan Skatelovers hingga Mendadak Rolling Akbar pada 15 Mei 2022, dengan rute Menteng-Bundaran HI-Monas-Menteng. Acara "Mendadak Rolling" ini menjadi pengalaman pertama Alya menggelinding di jalan raya.
Atlet sepatu roda, Athaya Sabrina Subarsa di kediamannya di Bandung, Jawa Barat, 20 Mei 2022. TEMPO/Prima mulia
Adapun Athaya Sabrina Subarsa, 15 tahun, menggemari sepatu roda sejak kelas IV SD setelah melihat di Internet. Begitu dibelikan sepatu roda baru, dia menjajal kemampuannya di arena sebuah mal tak jauh dari rumahnya di Jalan Caringin, Bandung. Dari arena mal, Athaya pindah latihan ke lintasan kompleks gedung olahraga di Jalan Saparua (GOR Saparua), Bandung, saat kelas V SD. Sepatu rodanya beli baru lagi hasil patungan dengan orang tua.
Saat pertama ke lintasan, di sana ada tiga klub sedang latihan. Orang tuanya kemudian mendaftarkan Athaya ke klub Balance Inline Skate Academy Bandung dengan jadwal latihan tiga kali dalam sepekan. Biayanya Rp 200-300 ribu per bulan dengan waktu sekali latihan 2-3 jam.
Masuk sebagai pemula, perkembangan Athaya dinilai cepat. Dia hanya perlu waktu dua pekan latihan untuk naik tingkat. Pada 2017, ia ikut lomba In Line Speed Skating Championship gelaran sebuah klub di GOR Saparua. Pada babak semifinal, langkahnya terganjal kaki lawan sehingga membuatnya terjungkal. Kostum barunya sobek di bagian siku kiri hingga berdarah.
Karena sudah belajar cara jatuh yang benar di klub, Athaya segera bangkit dan mengejar lawannya. Usahanya berhasil meraih posisi kedua, tapi terhenti ke babak final. ”Karena yang bisa masuk final cuma yang juara pertama di semifinal,” kata dia. Setelah itu, ketika penjurusan latihan, dia memilih free style, bukan speed yang mengandalkan kecepatan untuk balapan.
Ia mengatakan cara jatuh yang benar itu sangat penting bagi pesepatu roda. “Karena ketika main atau latihan, pasti jatuh,” ujar Athaya. Apalagi ketika latihan di klub, kata dia, remnya di sepatu harus dicabut. Pemain harus mengetahui cara mengerem dengan teknik khusus agar bisa berhenti. Sesuai dengan rekomendasi pelatihnya, dia memakai sepatu roda Lynx seharga Rp 900 ribu.
Saat kelas VI SD menjelang ujian nasional, Athaya berhenti latihan sepatu roda di klub atas permintaan sang ibu. Sang ibu, Rika Subana, beralasan teman seangkatan dan seumuran anaknya sudah nyaris nihil yang ikutan. Ada yang masih latihan, tapi jarang, dan kebanyakan pindah ke speed.
Namun, hingga kini, Athaya masih bermain sepatu roda bersama adik dan ayahnya. Sesekali dia tampil di lokasi car-free day Jalan Dago tiap Ahad. Aksi free style terbarunya di ruang publik Alun-alun Regol sebelum bulan puasa lalu.
Pelatih Bandung Timur Inline Skate Hery Royani di skate park Progresif, Bandung, Jawa Barat, 19 Mei 2022. TEMPO/Prima Mulia
Adapun Hery Royani memilih menggelinding bersama komunitas GHOST, singkatan dari Ghelinding on The Street, Bandung. Pria berusia 34 tahun itu ikut bergabung sejak 2017 ketika komunitas baru dibentuk. Berawal dari sekitar sepuluh orang, komunitas itu menjadi wadah untuk mengusir kejenuhan di klub sepatu roda. “Selain itu, menumbuhkan kembali penggemar sepatu roda yang kini sudah dewasa,” ucap Hery.
Sebelum pandemi Covid-19, kegiatan GHOST secara rutin bersepatu roda bareng pada akhir pekan, seperti pada malam Sabtu atau malam Minggu. Mereka biasanya mulai berkumpul sejak petang, seperti di sekitar GOR Saparua. Sebelum rolling bareng, mereka briefing membahas rute. Jalur lintasannya seperti ke Jalan Ir H Djuanda alias Dago, lalu turun ke arah Balai Kota Bandung, menuju Jalan Braga, lanjut ke Alun-alun Bandung, lalu kembali ke titik awal.
Di setiap tempat itu, mereka berhenti dan beristirahat, sekaligus menunggu jika ada anggota yang tertinggal. “Waktunya bisa sampai dinihari.” Pilihan menggelinding pada malam hari karena jumlah kendaraan sudah berkurang, sehingga jalanan relatif sepi. Biasanya, tutur Hery, mereka juga memilih jalan yang arusnya searah. Berjumlah sekitar belasan hingga 20 orang, formasinya di jalan berbaris memanjang ke belakang.
Selain di jalan datar atau menurun, mereka menempuh tanjakan seperti di Jalan Dago bagian atas. Menurut Hery, rute yang menantang seperti itu bisa dilakoni dengan cara seperti berjalan kaki. Bagi yang kesulitan, anggota lain biasanya membantu dengan dorongan dari belakang atau tarikan dari depan lewat uluran tangan. Cara lain, kadang mereka nebeng dengan cara memegang bagian belakang mobil atau sepeda motor.
Hery mengatakan arena bersepatu roda adalah di lapangan. Namun seiring waktu, hanya meluncur di arena menimbulkan kebosanan. Karena itu, sebagian penggemar sepatu roda kemudian memilih jalan raya, seperti di jalur sepeda, dan trotoar sebagai alternatif lintasan. “Main inline skate di jalanan tidak pernah ada teguran,” kata dia.
Mereka mempertimbangkan keamanan diri dengan tetap mematuhi aturan berlalu lintas. “Lampu merah juga kami stop.” Rombongan pun tidak arogan memakan badan jalan.
Walau begitu, risiko terjatuh dengan hasil kaki dan tangan lecet kadang tak terhindarkan. Begitu pula insiden seperti menabrak mobil yang bergerak atau sedang diam diparkir. Meluncur tanpa alat rem di sepatu roda, mereka mengandalkan teknik latihan untuk mengurangi laju. Kejadian seperti itu, menurut Hery, tidak sampai berakibat fatal, mobil pun tidak lecet atau penyok. Mereka akan meminta maaf kepada pemilik mobil yang ditabrak.
Menganut gaya bebas atau free style, ritme laju mereka di jalan kadang cepat, pelan, atau diam. Berbeda dengan gaya speed yang beradu cepat, laju pemainnya bisa seperti sepeda motor. “Kecepatannya 40-60 kilometer per jam,” kata dia.
* * *
Anggota komunitas Jogja Fun Skate, Alfina Nugraheni Subianto di Malioboro, Yogyakarta, 17 Mei 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Kegandrungan mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Alfina Nugraheni Subianto, pada sepatu roda boleh dibilang bermula tanpa sengaja. Perempuan asal Bekasi, Jawa Barat, berusia 19 tahun, itu tengah berlibur ke Semarang, Jawa Tengah.
Dia lupa tahunnya, tetapi seingatnya ketika Simpang Lima Semarang masih diperbolehkan untuk digunakan oleh para pesepatu roda. Di sana, Alfina melihat anak-anak muda komunitas menyewakan sepatu rodanya untuk umum yang ingin mencoba. “Aku coba-coba. Kok seru,” kata Alfina, saat ditemui Tempo di Malioboro, Yogyakarta, Selasa, 17 Mei 2022 malam.
Apalagi dia diajak ikut dalam permainan ular-ularan dengan sepatu roda. Pulang ke Bekasi, Alfina mencari dan menemukan sepatu roda dengan harga di atas Rp 4 juta. Tapi Alfina lebih memilih membeli sepatu roda dengan harga miring dan merek yang kebanyakan dipakai orang. Harganya sekitar Rp 800 ribu. “Kualitasnya bagus juga. Rata-rata merek Cina,” tutur Alfina, yang malam itu sedang mengikuti rolling akbar yang digelar sejumlah komunitas.
Setidaknya ada tiga jenis sepatu roda yang diketahuinya. Sepatu roda tipe urban, agresif, dan freestyle. Tipe urban lebih stabil, tapi kurang cocok untuk lifestyle karena kurang luwes. Sepatu agresif menggunakan roda lebih kecil. Adapun tipe lifestyle bisa juga digunakan untuk urban.
Dengan sepatu roda di kaki, Alfina pun mulai berlatih sendiri di rumah dengan panduan YouTube. Saat itu, dia masih sungkan untuk ikut bergabung dalam komunitas. “Ya, latihan sendiri dulu dasar-dasarnya. Biar enggak nyusahin saja,” ia berdalih. Latihan dasar yang dimaksudkan seperti belajar berdiri, belajar jalan, dan belajar jatuh.
Selepas itu, ia baru mengikuti sejumlah komunitas sepatu roda, dari komunitas di Bekasi, Jakarta, hingga Yogyakarta di komunitas Jogja Fun Skate. Dia lebih memilih komunitas ketimbang klub karena ingin sekadar bersenang-senang. “Lebih fun.”
Berbeda saat berlatih seorang diri berhadapan dengan layar YouTube, selama di komunitas, cara bersepatu roda Alfina diperhatikan. Apabila ada gerakan yang salah, akan ditunjukkan kesalahannya, sekaligus diperlihatkan gerakan yang benar.
Saat salah mengambil posisi jatuh, Alfina juga kena tegur. Seperti tak boleh jatuh ke arah belakang karena akan membuat tulang belakang dan tulang ekor cedera. “Sering jatuh. Enggak kehitung,” ucap Alfina, yang malam itu mengenakan sepatu roda tipe urban warna hitam.
Di komunitas, Alfina banyak belajar tentang teknik bersepatu roda yang butuh skill, seperti gerakan melompat hingga gerakan mundur ke belakang kemudian putar ke depan. “Yang penting lakukan pemanasan sebelum ikut rolling,” ujarnya. Pemanasan bisa dengan joging atau cukup melakukan peregangan kaki. Salah satu tujuannya adalah meminimalkan cedera.
Bagi pesepatu roda pemula, Alfina menyarankan, pada awalnya berlatih cara berdiri, mengayuh, dan jatuh. Paling tidak agar tubuh seimbang, sehingga saat meluncur kondisinya stabil.
FRISKI RIANA | ANWAR SISWADI (BANDUNG) | PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo