Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ajeng tertarik dengan mode karena sering memadupadankan busana kerja sang ayah.
Angga gemar memadupadankan busana dan modelling sejak SMA.
Evita gemar memilih baju untuk dirinya ketimbang bonekanya.
Di sebuah ruangan bercat putih yang dilengkapi dengan alat pencahayaan, Ajeng Dewi Swastiari sibuk mengarahkan gaya dan busana seorang model pria. Dalam pemotretan untuk produk busana itu, sesekali tangan Ajeng merapikan kaus sang model. Ia juga memotret detail busana dari jarak dekat dengan kamera saku analog. Wanita berusia 38 tahun itu tengah melakukan tugasnya sebagai fashion director.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama hampir 17 tahun berkarier di industri mode, Ajeng lebih dulu dikenal sebagai seorang fashion stylist sejumlah penyanyi Tanah Air. Titi Dwi Jayati atau Titi DJ adalah klien selebritas pertama Ajeng. Ia masih dipercaya memilihkan busana sang diva hingga saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ajeng mengungkapkan, ketertarikannya pada fashion dimulai dari kebiasaan memadupadankan busana kerja sang ayah. “Dia bawain dasi atau aku disuruh datang ke lemari dia. Ada dasi, vest, jas, kaus kaki, belt, dan sepatu yang sangat gentlemen. Aku yang kayak, ‘Pakai ini, ini, ini.’ It’s almost everyday,” kata Ajeng, saat ditemui Tempo di kawasan Jakarta Selatan, Rabu, 25 Mei 2022.
Kegiatan padu padan atau mix and match fashion belakangan sering dijadikan materi konten di kalangan pengguna media sosial. Aktivitas ini muncul setelah adanya tantangan Gucci Challenge, di mana pengguna media sosial memadupadankan outfit dan bergaya seperti model brand Gucci. Selebritas, pemengaruh di media sosial, hingga orang biasa ramai-ramai mengikuti tren itu. Mereka mem-posting video gaya masing-masing di media sosial.
Namun, bagi sebagian orang, memadupadankan busana justru bisa menjadi titik awal membangun karier di dunia fashion seperti yang dilakukan Ajeng. Sejak kecil, Ajeng sudah tertarik dengan busana pria. Ia juga tertarik dengan pakaian pada era 1940-an atau pasca-perang, ketika siluet busana wanita cenderung lurus. Menurut dia, cara berpakaian tersebut menggambarkan adanya keterbukaan pada gender.
Fashion Director Masshiro&Co, Ajeng Dewi Swastiari di Dharmawangsa, Jakarta, 25 Mei 2022. TEMPO/ Nita Dian
Ketika lulus SMA, Ajeng tak serta-merta kuliah di jurusan mode. Ia sempat menjadi mahasiswa sastra Inggris di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Barat. Karena jurusan yang tak sesuai dengan minatnya, Ajeng kerap membolos hingga mengalami drop out. Orang tuanya pun menyarankan agar ia tak terburu-buru kembali kuliah.
Akhirnya Ajeng berlabuh di LaSalle College Jakarta, sekolah tinggi desain kelas internasional. Ia mengambil program diploma jurusan stylist/ilustrator. Sebelum lulus pada 2007, warga Bintaro ini sudah diminta menjadi fashion stylist pribadi Titi DJ. Padahal, pada awal perkenalan, ia hanya refleks memilihkan busana-busana yang akan dikenakan pelantun lagu Bahasa Kalbu tersebut. “Aku refleks mix match-mix match, pakai ini, pakai ini. Terus hampir 2-3 kali, ‘Udah kamu kerja saja buat aku,’” kata Ajeng, menirukan ucapan Titi DJ saat itu.
Selain Titi DJ, dari penyanyi hingga pemain film, seperti Agnez Mo, Isyana Sarasvati, Cathy Sharon, Sigi Wimala, dan Vidi Aldiano, kerap memakai jasanya sebagai personal stylist. Meski berbeda selera berpakaian, Ajeng mengatakan bahwa, dalam prosesnya, ia juga belajar mematuhi keinginan para klien. Sebab, tugas seorang fashion stylist adalah mendukung keinginan personal klien, bukan mengubahnya.
Dalam menyelaraskan gaya berpakaian para kliennya pun, Ajeng akan melihat kebutuhan mereka. Pada pesta tematik, misalnya, Ajeng akan lebih dulu menjelaskan latar belakang atau pakem-pakem yang harus dipatuhi. Setidaknya, menyelaraskannya harus bijaksana dan jangan sampai menimbulkan kesan menggurui.
Seiring berjalannya waktu, Ajeng juga mengalami perubahan dalam gaya berpakaian. Sebelum menikah, ia akan mendeskripsikan style-nya yang dark dan drama. Namun, setelah memiliki anak, Ajeng memilih tampil dengan busana yang maskulin, content, dan timeless. “Jadi, produk yang aku pakai sesuatu yang invest item gitu dan bisa aku pakai setiap hari, dengan tone yang monokrom saja,” tutur Ajeng, yang saat itu mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam dengan belahan di bagian bawah.
Dari fashion stylist, Ajeng merambah karier sebagai fashion director di beberapa panggung peragaan busana, seperti Bazaar Fashion Festival pada 2014. Ia kini juga aktif mengajar mata kuliah fashion communication di LaSalle College, serta menjadi konsultan brand. Tak ingin muluk-muluk, ia mengaku ada keinginan membangun fashion consultant dan menargetkan untuk kuliah di luar negeri dalam 10 tahun ke depan.
* * *
Fashion Stylist, Angga Mitra. Dok. Angga Mitra
Angga Mitra juga menjadi seorang fashion stylist yang berangkat dari hobi memadupadankan busana untuk dirinya sendiri. Pria berusia 32 tahun itu mengikuti modelling sejak sekolah menengah atas. Meski begitu, tidak mudah bagi Angga membangun karier di industri fashion. Apalagi latar pendidikannya adalah sarjana teknik industri. Namun ia yakin pendidikan tinggi di bidang apa pun dapat menjadikan pribadi yang lebih mudah menjalani hidup, mampu menghadapi masalah, serta tahu cara berkomunikasi, kerja, dan membentuk pola pikir.
Sebelum dikenal sebagai penata gaya sejumlah selebritas, seperti Citra Scholastika, Widi Mulia, Patricia Gouw, dan Rian Ibram, Angga memulai karier sebagai wardrobe produksi di stasiun televisi swasta di Jakarta pada 2014. Ia bertanggung jawab memilih busana yang dipakai artis atau model tiap program sesuai dengan kebutuhan produksi. “Dari sinilah saya termotivasi dan found styling to be my true passion,” ucap Angga.
Untuk memulai karier di bidang ini, alumnus Universitas Pattimura, Maluku, itu mengatakan tidak hanya membutuhkan bakat visual atau kecintaan pada fashion. Tapi juga kerja keras, sikap yang baik, hingga kreatif memadupadankan busana dan aksesori klien agar menarik dilihat dan bisa menginspirasi banyak orang. Kreativitas juga bisa menjadi ciri khas seorang penata gaya. Pun harus percaya diri dengan keputusan yang dibuat untuk meyakinkan kliennya, terorganisasi dengan baik, serta memiliki pengetahuan visual tentang sejarah mode.
Dalam kesehariannya, Angga memilih gaya berpakaian kasual, seperti memadupadankan kaus-T dan celana jins. Namun, ketika dalam acara fashion, pria kelahiran Ambon ini akan melakukan eksplorasi dan kerap tampil dengan androgynous style, yaitu penggabungan gaya berpakaian maskulin dan feminin.
Meski terbiasa memilih busana untuk diri sendiri, Angga mengaku tidak mudah melakukan styling ke orang lain. Ada banyak hal yang harus diperhatikan, yaitu profil, bentuk tubuh, dan warna kulit klien, agar dapat menemukan busana yang tepat. Namun satu hal penting, kata dia, jangan memaksakan sesuatu yang bukan gaya mereka. “Harus menjadi penengah, memberi arahan yang tepat,” tuturnya.
* * *
Fashion Blogger, Evita Nuh. Dok. Evita Nuh
Evita Nuh punya kisah berbeda. Dara berusia 23 tahun ini telah terjun ke dunia fashion sejak usia 9 tahun sebagai fashion blogger. Namanya melambung setelah berhasil masuk di deretan Fashion Brights Under 16. Wajahnya juga menghiasi satu halaman di majalah Italia, Grazia.
Ketertarikan Evita pada dunia mode dimulai ketika usianya masih 5 tahun. Sejak kecil, perempuan yang akrab disapa Chacha ini sudah memilih baju sendiri, dan akan menolak pergi jika pakaiannya tak sesuai dengan keinginan. Dulu, kata dia, ketimbang main memadupadankan busana Barbie atau bonekanya yang lain, “Aku mix and match bajuku.”
Menginjak usia 11 tahun, Evita semakin serius menggeluti dunia fashion. Ia membangun brand Little Nuh, yang menjual berbagai atribut fashion. Namun kini penggemar kucing tersebut hanya menjadikan fashion sebagai kesenangan.
Tak ada style khusus dalam pakaiannya sehari-hari. Evita mengenakan busana yang ia suka dan berdasarkan suasana hati. Berbeda dengan orang-orang pada umumnya, gaya berpakaiannya juga tidak mengikuti tren. Ia juga sudah tidak sesering dulu dalam memadupadankan busana. “Sekarang sepertinya sudah jarang sekali. Aku menentukan apa yang aku pakai cukup lima menit sepertinya, even less,” kata dia.
Meski dikenal jago dalam memadupadankan busana, Evita mengakui bahwa ia tidak cukup mahir jika harus menata gaya orang lain. Ada satu pengalaman yang membuatnya sadar bahwa pekerjaan sebagai stylist bukanlah passion-nya. Ketika berusia 15 tahun, Evita pernah mendapat tawaran pekerjaan untuk menata gaya seorang model profesional.
“It’s a very pleasant experience. Karena aku belajar contact designer and all. Seru sekali,” ujarnya. “Tapi saya sadar bahwa pekerjaan itu bukan untuk saya.”
Pemilik Artfy Label, Alifya Yunita. Dok. Alifya Yunita
Seperti Evita, ketertarikan Alifya Yunita pada fashion juga dimulai sejak kanak-kanak. Lewat sentuhan tangan sang ibu, Alifya sudah didandani menggunakan baju yang unik dan berbeda dari anak-anak sepantaran saat TK. Fya—panggilan akrab Alifya—juga selalu merasa senang ketika diajak ke toko kain di Mayestik, Jakarta Selatan; dan Cipadu, Tangerang.
“Di sana aku merasa happy banget karena ngeliat berbagai jenis bahan, tekstur, dan warna-warnanya yang indah,” kata Fya.
Fya kerap mencoba eksplorasi gaya dari pakaian-pakaiannya. Ia menantang dirinya untuk menciptakan baju-baju agar senantiasa terlihat baru tanpa harus membeli. Fya menjelaskan bahwa gaya berpakaiannya adalah tailored, tapi tetap kasual, dengan gabungan beberapa warna dan pola. “Aku suka sekali layering pakaian, ya, tentunya mix and match dengan warna-warna yang fresh.”
Wanita berusia 25 tahun ini biasanya mengembangkan ide padu padan busana lewat Instagram atau Pinterest. Untuk mengasah kemampuan, Fya rutin mencoba mix and match pakaiannya di kamar. Pada 2015, ketika menginjak kelas XI SMA, Fya memulai bisnis fashion. Awal mulanya, ia mendesain baju-baju untuk acara fashion dance di sekolah. Dari situ rupanya banyak yang tertarik dengan baju buatannya. Akhirnya ia pun mendirikan brand sendiri.
Lewat keterampilan dan kerja keras, Fya mampu membuktikan bahwa seleranya pada fashion dapat diterima pasar melalui dua jenama miliknya, yaitu Artfy Label dan AL on Sunday. “Kalau kita desain produk yang bagus, otomatis akan banyak yang suka juga. Maka dari situ pasar bisa tercipta. Kalau aku, aku yang menciptakan pasar, he-he.”
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo