Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Kisah Tragis Jaksa Necis

Pengangkatannya sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi diiringi protes para aktivis antikorupsi. Kasus penangkapan jaksa Urip membuat hubungannya dengan Kejaksaan Agung merenggang.

4 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARIER Antasari Azhar kini berada di tepi jurang. Jika pekan-pekan ini penyelidikan polisi menemukan lebih banyak bukti keterlibatan Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, tamatlah riwayat pria kelahiran Pangkalpinang, Bangka, 56 tahun silam, ini di bidang penegakan hukum.

Selalu tampil rapi, Antasari dikenal sebagai pribadi yang pandai bergaul. Ketika bertugas sebagai juru bicara Kejaksaan Agung, wartawan mengenalnya sebagai sumber yang tidak pelit memberikan informasi. Ditemui di mana pun, ia siap berbicara. Pembawaannya ini tak berubah tatkala ia kemudian ”meloncat” menjadi Ketua KPK.

Perjalanan karier Antasari di kejaksaan memang panjang. Ia pernah menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, sebelum kemudian menjadi Direktur Penuntutan Tindak Pidana Umum.

Pada 2007, bersama empat jaksa senior lainnya, antara lain Marwan Effendy yang kini Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Antasari mendapat perintah dari Jaksa Agung Hendarman Supandji mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK. Pencalonan itu mendapat kritik keras dari para aktivis antikorupsi.

Antasari, misalnya, dianggap ”menyelamatkan” terdakwa kasus korupsi Bank Bali, Joko Chandra. Selain itu, ia dinilai memperlambat eksekusi Tommy Soeharto dalam kasus pembunuhan hakim agung Syafiudin Kartasasmita. Sewaktu memimpin Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Antasari juga ditengarai sengaja memperlambat eksekusi terdakwa korupsi sejumlah anggota DPRD. Di Kendari sejumlah mahasiswa juga mendemo Antasari. Ia dinilai bermain mata dalam kasus korupsi lelang kayu di Kabupaten Muna.

Toh, Antasari tak terbendung. Dengan dukungan, terutama, Fraksi PDI Perjuangan dan Golkar, dia akhirnya terpilih menjadi Ketua KPK periode 2007-2011. Antasari menjawab tudingan miring terhadap dirinya. ”Saya istigfar saja, kenapa bisa muncul tudingan seperti itu. Dalam uji kelayakan, hal ini juga ditanyakan dan saya jawab tidak benar, selesai,” kata Antasari dalam wawancara khusus dengan Tempo beberapa saat setelah ia terpilih menjadi Ketua KPK (Tempo, 16 Desember 2007). Ia juga menegaskan tak akan pandang bulu untuk ”menyikat” siapa pun yang korupsi.

Bak membuktikan ucapannya, KPK kemudian ”membekuk” jaksa Urip Tri Gunawan, yang tertangkap tangan menerima duit sekitar Rp 6 miliar dari Artalyta Suryani. Penangkapan Urip ini berimbas kepada sejumlah pucuk pimpinan Kejaksaan Agung, yang notabene kolega Antasari sendiri. Mereka yang terjungkal misalnya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rachman dan Direktur Penyidikan M. Salim. Menurut sumber Tempo, sejak kasus inilah hubungan beberapa orang penting Kejaksaan Agung dengan Antasari merenggang. ”Masak dia menghancurkan temannya sendiri,” ujar sumber Tempo di Kejaksaan Agung.

Di bawah Antasari, pamor KPK memang berkilat. Sejumlah anggota DPR ditangkap dan kasus suap dana Bank Indonesia dikuak. Kasus terakhir ini juga membuat besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Aulia Pohan, menjadi tahanan KPK.

Kendati demikian, sejumlah kritik terhadap kerja KPK juga muncul. Antasari dianggap tak berani jika mengusut kasus yang melibatkan anggota DPR, yang dianggap mendukungnya sewaktu ia menjalani uji kelayakan di DPR. Kasus pengaduan bekas anggota Fraksi PDI Perjuangan Agus Condro, yang menyebut sejawatnya menerima suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda S. Goeltom, sampai kini tak terdengar kelanjutannya. Ia juga dinilai tak serius mengungkap kasus pembelian mobil pemadam kebakaran karena sampai kini tak kunjung menyentuh mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. Padahal, menurut sumber Tempo, bukti yang menunjukkan keterlibatan Hari sangat kuat.

Kendati sibuk dengan urusan korupsi, toh Antasari tak melupakan hobi lamanya: golf. Ia, misalnya, tercatat sebagai anggota Padang Golf Modern, Tangerang. Menurut Direktur Padang Golf Iwan Suriawijaya, Antasari sudah tiga tahun menjadi anggota. Di sinilah, menurut sumber Tempo, Antasari bertemu Rani Juliani alias Tika, caddy bertubuh bohai, yang diduga istri siri Nasrudin.

Untuk sementara, Antasari harus menyandarkan dulu stick golfnya. Ia juga tak akan muncul lagi di gedung KPK. Pimpinan KPK sepakat menonaktifkan pria yang gemar tampil berjas atau berkemeja batik warna cerah itu.

Dari Kejaksaan Agung, tempat kantornya yang lama, juru bicara kejaksaan Jasman Panjaitan menyatakan prihatin atas nasib Antasari. Menurut Jasman, Kejaksaan Agung sebagai institusi kini tak memiliki lagi hubungan dengan Antasari. ”Dia bekas jaksa,” kata Jasman.

Anne L. Handayani, Rini Kustiani, Cheta Nilawaty

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus