Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK hanya di Indonesia, masalah babu pun ramai di Malaysia. Dan seperti juga di sini, pada mulanya media massalah yang membongkar cerita duka para amah--istilah sana untuk babu--ittu. Harian New Straits Times, umpamanya, menurunkan sebuah artikel babu yang bisa mengharukan. Tentang Sarinah, gadis kampung yang menderita tekanan batin karena jadi pembantu rumah tangga. Sebelum berpangkat babu, gadis ini tinggal bersama orang tuanya di sebuah daerah pedalaman Malaysia, Anyer Hitam. Entah berapa miskin daerah ini, kehidupan di kampung ini digambarkan agak suram.
Kerja Sarinah waktu itu membantu orang tuanya menyadap karet. Sudah tentu Sarinah tak menerima gaji dari orang tuanya, sebab penghasilan keluarga adalah juga tonggak hidupnya. Karena kehidupan begitu macam dianggapnya tak maju, Sarinah pun hijrah ke kota--seperti cerita-cerita kita juga 'kan? Dan ia pun sampai di ibu negeri, Kuala Lumpur, kota yang sama sekali belum pernah dilihatnya sebelumnya. Mudah diduga, ia pun jadi pembantu rumah tangga. Jalan yang paling mudah. Tahun-tahun pertama ia mendapat 70 ringgit sebulan--Rp 21 ribu. Belakangan gajinya naik juga jadi 100 ringgit, atau kurang lebih Rp 30 ribu.
Tapi Sarinah tak bahagia jadi amah. Seperti juga rekan-rekannya di Indonesia, yang disebut membantu pekerjaan rumah tangga ternyata berat setengah mati. Dan seringkali juga perlakuan majikan. Nasib Sarinah makin terasa kelabu ketika majikannya menerima gadis-gadis pekerja indekos di situ. Tak syak, Sarinah yang diperbantukan mengurusi rumah tangga, diwajibkan pula melayani gadis-gadis yang mondok itu, yang usianya hampir tak beda dengannya. Gadis-gadis indekosan itu mendapat kamar sejajar dengan kamar Sarinah, tapi tentu dengan kondisi yang jauh berbeda. Kamar mereka meriah dengan berbagai perlengkapan yang bisa menyenangkan hidup, kamar Sarinah tidak. "Kamar saya paling ujung dan paling belakang," kata Sarinah. "Sempit, cuma tembok dan tempat tidur."
Diskriminasi yang dirasakan Sarinah bukan cuma itu. Setiap hari, Sarinah terpaku melihat gadis-gadis sebayanya berangkat bekerja, rapi, lengkap dengan muka yang dipoles menjadi cantik. Ia juga melihat gadis-gadis itu pulang, kadang-kadang diantar kawan prianya. Dan yang paling bikin senep, bila Sarinah harus membukakan pintu malam Minggu, lewat tengah malam, waktu gadis-gadis itu pulang pacaran. Merasa panas, Sarinah lalu memutuskan untuk minggat saja. Suatu hari ia bebenah, lalu angkat kaki. Tapi Sarinah tak mudik. Ia menyeberang ke Singapura, dan beruntung mendapat pekerjaan di negara tetangga itu.
Sarinah mendapat pekerjaan di sebuah pabrik. Dan di tempat inilah hidup baginya baru "normal". Gaji Sarinah kini 450 dollar Singapura sebulan, sekitar Rp 90 ribu. Dengan gaji itu ia hidup tenang di Singapura, menyewa sebuah apartemen yang cukup besar bersama 11 pekerja wanita lainnya. Masuk akal kalau Sarinah sungguh-sungguh tak berniat menoleh ke masa lalunya, profesi pembantu rumah tangga. Seperti juga di Indonesia, kultur pembantu di Malaysia muncul antara lain karena membanjirnya orang-orang "pedalaman" dari daerah yang sering diserbu paceklik, ke kota. Umumnya mereka tak punya keahlian tertentu.
Didesak rasa tak aman di kota besar yang ganas, mereka lalu merasa sangat berterima kasih bila bisa mendapat tempat berlindung, tempat untuk tidur dan makan gratis. Walaupun sebagai imbalannya mereka harus kerja keras. Cuma, di sana, yang disebut pedalaman, bukan hanya daerah pesisir Malaysia yang didiami kelompok Melayu yang perekonomiannya biasanya sekarat. Rupanya sudah tradisi entah berapa abad, yang namanya orang "pedalaman" datang juga dari daratan Cina. Katanya justru ini yang terbanyak. Ah Ying, umpamanya. Wanita ini kini sudah berusia tigapuluhan tahun. Datang ke Malaysia, hampir 20 tahun yang lalu, langsung dari daratan Cina. Ia mulai menjadi pembantu waktu masih belasan tahun.
Bahagiakah Ah Ying? "Gaji saya cuma 40 ringgit sebulan, kerja saya berat, saya takut pada majikan saya yang sama sekali tak simpatik. Apalagi kalau saya berbuat salah," katanya dalam sebuah wawancara. "Saya seringkali bersembunyi di kamar, dan menangis." Dan malangnya, ia tak bisa berbuat lain. "Saya terpaksa bertahan, mau tak mau. Hidup keluarga saya bergantung pada gaji saya," kata Ah Ying lagi.
Hampir semua pembantu yang diwawancarai mempunyai cerita kelabu. Kendati tak syak ada juga yang diperlakukan baik, bisa dipastikan bagian jeleknya lebih banyak. Baik di Indonesia maupun di Malaysia, hampir semua bisa menyimpulkan, pembantu hampir tak bisa dibedakan dari budak dalam hikayat-hikayat lama.
Di Indonesia, orang mencoba mengkaji istilah "pembantu". Kata lain bagi "babu" ini disinyalir cuma suatu pengelabuan. Sebabnya, tugas membantu hampir tak pernah ditemukan dalam kenyataannya. Mereka melakukan semua pekerjaan: memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah dan memelihara kebun. Kendati tak membantu memecahkan persoalan, "filsafat bahasa" ini berhasil mengungkapkan salah satu sisi profesi pembantu rumah tangga yang buruk. Tugas yang dibebankan pada mereka terasa tak manusiawi.
Di Malaysia istilah amah tak sampai dimasalahkan. Tapi tanpa jalan berputar-putar, berbagai media massa menuding pula kenyataan, pekerjaan babu pada galibnya terlampau berat. Tulisan-tulisan mereka tegas berpihak, hingga pembantu rumah tangga hampir-hampir nampak tanpa cacat. Kalau ada citra buruk, buru-buru diperbaiki. Beberapa masa lalu, pernah diberitakan ada pembantu yang ngutil perhiasan majikannya seharga 20.000 ringgit, sekitar Rp 6 juta. Lewat pendapat beberapa pembantu, pers Malaysia berusaha memperbaiki citra ini dengan membuka permasalahan lain, yang buntutnya malah menuding para majikan. "Buat apa nyolong," kata Ah Ying, "mencuri cuma akan merusak reputasi, dan yang lebih jelek lagi, bisa-bisa berakibat sulit mencari pekerjaan."
Lau punya pendapat lain tentang ini. Pembantu yang satu ini menganggap para majikan seringkali terlampau membesar-besarkan kesalahan seorang pembantu. Bila seorang pembantu ketahuan mencuri, muncul anggapan semua pembantu tak bisa dipercaya. Amah Leong, 70 tahun, yang datang dari daratan Cina waktu berumur 14 tahun, mengisahkan pengalamannya dicurigai majikan. "Mereka sampai-sampai tak mau menyuruh saya belanja, takut saya nyatut. Kalaupun sampai terpaksa saya yang harus pergi berbelanja, saya harus mencatat semua harga barang yang saya beli. Sesampainya di rumah, saya harus segera mempertanggungjawabkannya," katanya di tengah keluh panjang.
Padahal, pembantu rumah tangga sangat dibutuhkan. Terutama bagi para wanita yang bekerja. Umpamanya Mary Lee. Wanita ini bekerja sebagai akuntan. Karena itu semua pekerjaan rumah tangga diserahkannya pada pembantu. Dua orang anaknya--yang satu enam tahun, yang lain satu tahun--diasuh Ah Kum, seorang amah berumur 46 tahun. Pembantunya yang satu ini, menginap. Mendapat 340 ringgit sebulan dan kamar yang cukup memadai. Di kamar pembantu itu ada tv dan kipas angin khusus. Malam hari, Ah Kum dibebaskan dari tugas mengasuh anak. Pembantu-pembantu keluarga Lee yang lain tidak menginap. Tukang cuci, misalnya, bekerja hanya setengah hari, dan mendapat 120 ringgit per bulannya. Mungkin karena faktor dibutuhkan ini, ditambah lagi banyaknya perlakuan buruk, kini di Malaysia pembantu sulit dicari. Mereka "pasang harga".
Hampir tak ada wanita muda yang mau jadi pembantu. Seperti Sarinah, mereka pun mencibir, pekerjaan itu tak bergengsi. Lalu, honorarium yang diajukan para amah cukup tinggi. Rata-rata 450 ringgit per bulan. Itu pun masih ditambah: kamar yang memadai, lengkap dengan tv dan AC. Juga para amah menolak bekerja sepanjang hari. Sulitnya mencari pembantu membuat beberapa biro penyalur pembantu menjadi penting kedudukannya. Biasanya biro-biro semacam ini berkumpul di sebuah daerah. Umpamanya Pasar Pudu di Kualalumpur. Daerah ini sangat terkenal dalam urusan menyalurkan tenaga kerja pembantu rumah tangga. Sampai-sampai orang-orang Singapura mencari pembantu di daerah ini.
Tentu saja yang menawarkan tenaga juga berdatangan ke sini--dari Ipoh, Kualakangsar, Teluk Anson, Batu Pahat, Penang dan Pulau Pangkor. Salah seorang perintis biro pembantu di Pudu, adalah Madam Choo Yap lan. Ia bekerja di bidang ini sudah hampir 30 tahun, sebelumnya ia guru sekolah. Awalnya, kebetulan saja ia bisa menyalurkan beberapa tenaga, karena pergaulannya yang cukup luas. Untuk kebaikannya itu, banyak majikan maupun pembantu datang padanya dengan berbagai hadiah. Lalu sang bekas guru kemudian berpikir untuk membangun sebuah bisnis di bidang penyaluran tenaga pembantu.
"Daripada mereka memberi hadiah, lebih baik mereka memberikan 10 persen dari gaji mereka di bulan-bulan pertama, pada saya," kata Madam Choo. "Tapi," katanya lagi, "sekarang yang membayar 10 persen itu majikannya. Para pembantu sama sekali tak dikenakan pemotongan gaji." Kini, rata-rata ada 50 sampai 60 orang calon amah menunggu majikan di biro Madam Choo. Selama menunggu itu disediakan tempat menginap, semacam kamar-kamar hotel. Sewanya hanya 2 ringgit semalam, atau 20 ringgit sebulan. Standar gaji menurut Madam Choo berkisar 300 ringgit per bulan, untuk Malaysia, dan bisa sampai 500 dollar untuk Singapura. Tapi jarang yang mau bekerja ke Singapura. Mereka merasa kurang aman. Tahun lalu hanya 12 orang yang mau bekerja ke Singapura. Madam Choo juga membenarkan, kedudukan pembantu masa kini-khususnya yang mendapat pekerjaan lewat bironya--jauh berbeda.
Selain senantiasa mendapat gaji yang rata-rata sama dengan pegawai atau buruh pabrik, mereka juga mendapat berbagai fasilitas yang memadai. Dan ini. "Selain diwawancarai, mereka pun mewawancarai calon majikan," kata madam calo pembantu itu. "Macam-macam yang mereka tanyakan. Apakah kamar mereka ada AC atau tv, juga berapa jam sehari mereka harus bekerja. Jadi pembatalan kontrak tidak ditentukan majikan saja, juga bisa dari para calon pembantu itu," katanya lagi.
Tapi pencari-pencari tenaga pembantu rupanya masih saja berikhtiar mencari jalan, bagaimana mendapat pembantu yang murah dan sekaligus setia. Dan jalan itu rupanya sudah muncul di Malaysia. New Straits Times memperkirakan ada sejumlah biro gelap yang menyalurkan tenaga gelap dari Indonesia. Nah! "Mereka yang mendapat tenaga gelap dari Indonesia, boleh merasa beruntung," tulis harian itu, "selain murah, pembantu-pembantu itu rata-rata giat dan penurut." Betapa tidak, faktor gelapnya bisa dipakai menekan. Ini sebuah lampu merah bagi kita. Perdagangan manusia belakangan ini naga-naganya meningkat. Setelah tersiar berita "ekspor bayi", kini kita harus pula mendengar, ada usaha yang sama busuknya: "ekspor babu".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo