Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia, Kurnia Lesani Adnan, mengaku belum pernah diajak berdiskusi soal kebijakan larangan mudik lebaran tahun ini. Baik dari Kementerian Perhubungan RI maupun stakeholder terkait. Sejumlah tuntutan perusahaan otobus terkait stimulus di tengah pandemi corona juga belum mendapat lampu hijau dari pemerintah.
"Kami sudah pernah kirim beberapa permintaan, termasuk relaksasi kredit. Tapi baru PP25 dari pajak dikasih keringanan 30 persen, sementara kami sudah tidak ada pemasukan," ujar Kurnia kepada Tempo, Selasa, 21 April 2020.
Dari sekitar 1,3 juta jumlah awak bus di Indonesia, kata Kurnia, 60 persennya ada di sektor Bus Antar Kota Antar Provinsi atau Bus AKAP. Jumlah itu termasuk, sopir dan kernet yang akan terdampak langsung oleh kebijakan larangan mudik.
"Kami bisa saja bersikap pragmatis dan oportunis sekaligus. Kalau memang gak ada orang yang mudik di situlah pragmatisnya. Tapi kalau ada yang mau melakukan perjalanan, ya, saat itu juga kami jadi oportunis," ujarnya.
Kurnia yang juga sebagai Wakil Ketua Bidang Angkutan Penumpang DPP Organiasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) mengaku bahwa Organda, sudah mengirim tuntutan ke sejumlah pihak. Mulai dari Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan, hingga Kementerian Dalam Negeri.
Untuk Kemenkeu, Organda meminta dalam isi suratnya yang diterima Tempo berupa pemberian fasilitas Pph 21, relaksasi pembebasan Pph 22 impor, pengurangan Pph pasal 25, dan relaksasi restitusi Ppn untuk dipercepat. Untuk Kementerian Dalam Mendagri, Organda menuntut adanya Pembebasan Pembayaran PKB dan Retribusi Daerah.
Sedangkan untuk Kementerian Perhubungan, Organda meminta adanya pembebasan atas kewajiban Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak di sektor perhubungan darat sesuai PP Nomor 15 tahun 2016, selama 12 bulan dimulai april 2020.
Selain itu, Organda juga meminta Pemerintah melalui Kemenhub untuk mengikuti kebijakan Land Transportasion Authority di Singapura untuk pengemudi taksi dan angkutan umum yang terdampak pandemi covid-19. Di mana ada paket stimulus untuk keberlangsungan hidup para pengemudi. Skemanya 60 persen ditangung pemerintah dan sisanya ditanggung korporasi.
Sebelumnya, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno, berharap Pemerintah dan BUMN bisa berlalu adil untuk semua moda transportasi dalam pemberian stimulus di tengah pandemi covid-19.
Dia menyoroti perlakuan spesial untuk moda angkutan ojek online yang mendapat program cashback dari Pemerintah, padahal UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kata dia, bukan termasuk angkutan umum.
"Profesi pengemudi ojek online (ojol) bukanlah satu-satunya profesi pengemudi angkutan umum yang mengalami penurunan pendapatan di masa pandemi Covid-19. Tapi perhatian pemerintah dan BUMN cukup berlebihan," ujar Djoko Rabu, 15 April 2020 lalu.
Idealnya kata Djoko, pemerintah dan BUMN dapat bertindak adil terhadap seluruh profesi pengemudi angkutan umum. Sebab, di tengah pandemi covid-19 ini nyaris semua sendi kehidupan tak terkecuali bidang ekonomi terkena imbasnya.
Seperti diberitakan sebelummya, PT Pertamina mengeluarkan kebijakan istimewa untuk ojek online. Kebijakan itu berupa pemberian cash back sebesar 50 persen untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) non subsidi. "BUMN harusnya berlaku adil, tidak memihak hanya kepada kelompok tertentu. Itu berpotensi menimbulkan kecemburuan pada pengusaha jasa angkutan lainnya,"ujarnya.
Kurnia juga menyoroti ketegasan dalam hal pengawasan di lapangan. Menurut dia, kendaraan non angkutan umum resmi bisa saja mengambil untung dari kondisi ini. Apalagi pengawasan untuk kendaraan biasa, yang ia tengarai berkedok mobil pribadi tidak ketat.
"Justru yang terjadi pada larangan mudik, orang beralih ke angkutan ilegal seperti MPV yang menjadi angkutan umum," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini