Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menghibur Roh Harimau

Di Pulau Tengah ada tradisi memanggil arwah harimau. Manusia dan harimau hidup berdampingan dengan damai.

19 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Yang bernama nenek moyang tingkih, yang jadi pemangku gunung rayo, penunjuk penjago rimbo gano, menyeru hulubalang tigo, padang sebatang, kayu yang jadi payo, buyung cepat datang, kami mau membayar bangun....”

INILAH mantra Ngagah Harimau. Sebuah upacara kematian untuk harimau. Di Pulau Tengah, yang letaknya di tepi Danau Kerinci, ada tradisi unik. Warga turun-temurun sangat menghormati harimau. Harimau bahkan diberi panggilan khusus: Inyiak, Ninek, atau Tuo. Artinya makhluk yang dituakan.

Pertalian batin antara harimau dan manusia di Pulau Tengah sudah berlangsung lama. Harimau dipercaya akan membantu menunjukkan jalan pulang jika ada penduduk kampung yang tersesat di rimba. Sejak dulu tidak ada orang Pulau Tengah yang memburu harimau. Bahkan, bila ada durian jatuh, harimau akan lebih dahulu dipersilakan mengambil bagiannya.

”Ngagah artinya menghibur roh harimau yang mati, agar harimau lain tidak mengganggu kami,” kata Harun Pasir, 67 tahun, seorang seniman Pulau Tengah. Harun ingat, upacara Ngagah Harimau terakhir dilakukan lima tahun lalu, saat ada harimau yang mati karena berkelahi dengan warga. Harimau itu memakan anjing, lalu pemilik anjing dengan tongkat kayu berkelahi dengan harimau, sesuatu yang berakhir dengan kematian harimau.

Harimau yang mati ditutup kain putih, ditandu ke Balai Adat. Di situ dibuat tempat yang tinggi untuk meletakkan harimau yang ditegakkan seolah-olah masih hidup. Terawak, alat bebunyian dari tempurung untuk menjemput roh harimau, dipukul. Terawak dilekatkan ke tanah. Diyakini harimau berkuping tanah, pendengarannya melalui tanah yang dipijaknya.

Kain putih penutup muka harimau dibuka, lalu di dekat harimau diletak-kan satu per satu benda untuk bayar bangun yang prinsipnya hilang belang diganti belang, hilang taring diganti taring, hilang ekor diganti ekor, hilang mata diganti mata. Dalam ritual itu taring diganti dengan keris, kuku diganti dengan sebilah pedang, ekor diganti dengan tombak, suaranya diganti dengan pukulan gong, warna matanya dengan benda keras yang berkilat seperti kelopak betung (pelepah bambu bagian dalam), belangnya diganti warna kain.

Harimau yang mati kemudian diarak ke kampung. Pada saat mengarak, semua warga desa berlomba memperagakan silat pisau dan silat pedang serta gerakan tarian yang mirip gerakan harimau. ”Hina rasanya bagi orang yang  tidak ikut mengarak harimau ke kampung,” kata Harun.

Di depan harimau, para pemuda lalu berebutan ngagah (membujuk arwah harimau) dengan memainkan pedang, silat dengan gerakan harimau, dan menari-nari. ”Saat itu banyak yang kesurupan. Ada yang memekik, meraung, dan mengaruk tanah seperti harimau. Bahkan orang yang tidak bisa bersilat pun ikut menari dengan gerakan silat harimau. Lalu banyak yang bergelimpangan tidak sadar,” kata Harun.

Setelah upacara selesai, harimau dikuburkan di pinggir kampung. Selama hidupnya, baru dua kali Harun mengalami ritual Ngagah Harimau. Ia khawatir, suatu saat ritual ini tidak ada lagi yang tahu. Jika dalam sepuluh sampai seratus tahun tidak ada harimau mati, upacara semacam ini bisa hilang. Kare-na itu sejak tahun 1970-an Harun membuat sanggar kecil untuk mengajarkan bagaimana ritual Ngagah Harimau dilakukan.

Dalam acara Festival Danau Kerinci 2005, Kampung Pulau Tengah menampilkan pertunjukan ritual Ngagah Harimau ini. Mereka mengarak boneka harimau ke lapangan. Ribuan orang menonton. Ketika ketua adat menyeru roh harimau, pemuda yang mengarak patung harimau kerasukan, lalu bersilat dan menarikan harimau tanpa sadar. Sebagian besar penonton kemudian ikut kerasukan, bahkan ada yang berkelahi.

”Suasana kacau-balau. Beberapa pawang bekerja keras menyadarkan orang-orang yang kesurupan. Polisi sampai melepaskan tembakan ke udara,” Harun mengenang. Sejak itu ritual Ngagah Harimau tidak lagi ditampilkan untuk pertunjukan di depan umum. Kini hanya ditampilkan untuk pertunjukan di Pulau Tengah.

”Kalau hanya ditonton kepala dusun, tidak ada yang kesurupan. Ditonton camat, ada satu-dua yang kemasukan. Ditonton bupati, ada lima atau delapan  yang kemasukan. Ditonton gubernur dan duta besar negara lain, bisa puluhan yang kemasukan. Makin tinggi raja yang datang, makin banyak yang kemasukan,” kata Harun serius. Silakan percaya atau tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus