Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Menyoal Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura

Pemerintah diangap terlalu menglorifikasi perjanjian ekstradisi. Seakan menjadi salah satu pencapaian yang langsung berlaku.

31 Januari 2022 | 22.05 WIB

Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa, 25 Januari 2022. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Perbesar
Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa, 25 Januari 2022. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menyatakan perjanjian ekstradisi dengan Singapura akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia untuk melarikan diri. Apalagi Indonesia telah memiliki perjanjian dengan negara mitra sekawasan, di antaranya Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,” ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada Rabu pekan lalu. Yasona meneken Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura, di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa, 25 Januari 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura akan diberlakukan bersamaan dengan perjanjian pertahanan (Defence Cooperation Agreement atau DCA) 2007 dan persetujuan tentang penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia - Singapura (realignment Flight Information Region atau FIR).

Yasonna menuturkan bagi Indonesia, perjanjian ekstradisi dapat menjangkau secara efektif pelaku kejahatan di masa lampau, serta mengimplemantasi Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Perjanjian ini diharapkan dapat mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi, narkotika, dan terorisme. Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya) selama 18 tahun ke belakang.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Selain masa rektroaktif, perjanjian ekstradisi ini juga menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.

"Hal ini untuk mencegah privilege yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya,” ujar Yasonna.

Ruang Lingkup Perjanjian

Adapun ruang lingkup Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura adalah kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.

Jenderal Administrasi Hukum Umum Cahyo Rahadian Muzhar, dalam Koran Tempo pada 29 Januari 2022, dari sebanyak 31 jenis tindak pidana, pelaku yang dapat diekstradisi adalah mereka yang melakukan tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotik, dan terorisme.

Selain itu, perjanjian tersebut bersifat adaptif. Artinya, berlaku terhadap jenis tindak pidana lain selama masih diatur dalam undang-undang ekstradisi kedua negara, baik yang berlaku sekarang atau yang akan datang.

Apabila pelaku kejahatan yang disasar ekstradisi berganti kewarganegaraan, maka hukum akan tetap berlaku. "Sebab, permintaan ekstradisi tidak dapat ditolak atas dasar kewarganegaraan apabila terkait dengan ketiga bentuk tindak pidana korupsi, penyuapan, terorisme," ucap Cahyo.

Sejumlah kalangan khawatir bahwa perjanjian ekstradisi yang diteken pemerintah ini menjadi barter dari perjanjian pertahanan (DCA) dan ruang kendali udara dengan Singapura. Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, menegaskan bahwa kedaulatan negara tidak akan pernah sepadan jika ditukar dengan kepentingan apapun, termasuk buronan Indonesia di Singapura.

“Idealnya kedaulatan negara tidak boleh dibarter dengan kepentingan apapun jika itu merugikan Indonesia,” kata Didik.

Dia mengatakan, pemberantasan korupsi adalah komitmen dunia, bukan hanya Singapura dan Indonesia. Dalam konteks perjanjian ekstradisi, Didik menilai idealnya RI dan Singapura saling bekerja sama dalam memberantas korupsi tanpa harus barter kepentingan lain.

Politikus Demokrat ini menyinggung perjanjian ekstradisi yang pernah gagal diratifikasi pada 2007. Ia mengatakan, saat itu ada pertimbangan yang cukup fundamental, sehingga DPR harus berhati-hati dalam membahasnya. “Jika isi perjanjian-perjanjian tersebut mengancam kedaulatan dan merugikan Indonesia, mestinya kita tahu pilihannya, kedaulatan dan keselamatan negara di atas segalanya,” kata dia.

Dianggap Mengglorifikasi

Anggota Komisi Hukum DPR lainnya, Arsul Sani mengatakan akan meninjau perjanjian ekstradisi yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan Singapura. Ia mengingatkan jangan sampai perjanjian ini lebih banyak menguntungkan Singapura.

"DPR akan melihatnya nanti, apakah perjanjian ekstradisi itu mengulang tidak, di-bundling dengan kata-kata perjanjian lain yang kita tahu di tahun 2007, kalau tidak salah zaman pemerintahan Pak SBY kan juga pernah dibuat perjanjian yang sama," kata Arsul.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana melihat pemerintah terlalu menglorifikasi perjanjian ekstradisi seakan menjadi salah satu pencapaian yang langsung berlaku.

Padahal setiap penandatangan perjanjian ekstradisi masih harus diikuti dengan proses pengesahan atau ratifikasi oleh DPR. Setelah itu dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi antara Indonesia dan Singapura, baru kemudian perjanjian ekstradisi berlaku.

"Glorifikasi sangat tidak berdasar jika Singapura masih mensyaratkan perjanjian ektradisi berlaku dikaitkan dengan berlakunya perjanjian pertahanan yang sangat berpihak pada kepentingan Singapura."

Pada 2007, kata dia, Presiden tidak mengirim surat Presiden ke DPR untuk pembahasan perjanjian ekstradisi karena publik tidak setuju dengan perjanjian pertahanan. Atas alasan tersebut perjanjian ekstradisi tidak pernah mendapat pembahasan, apalagi pengesahan dari DPR.

Terakhir,ujar Hikmahanto, glorifikasi sangat tidak berdasar karena belakangan Singapura sangat koperatif bila ada permintaan dari Indonesia terkait buron tertentu meski perjanjian ekstradisi belum efektif berlaku. "Perubahan sikap Singapura ini karena Sinagpura tidak ingin dipersepsi oleh publik Indonesia sebagai tempat pelarian pelaku kejahatan kerah putih," ujarnya

IMAM HAMDI | FRISKI RIANA | DEWI NURITA | EGI ADYATAMA

Imam Hamdi

Bergabung dengan Tempo sejak 2017, setelah dua tahun sebelumnya menjadi kontributor Tempo di Depok, Jawa Barat. Lulusan UPN Veteran Jakarta ini lama ditugaskan di Balai Kota DKI Jakarta dan mendalami isu-isu human interest.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus