Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Subur Miliuner dari Kekayaan Alam

Daftar orang terkaya Indonesia diisi pengusaha tambang, kelapa sawit, kayu, dan rokok. Indonesia mengalami deindustrialisasi.

10 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Struktur ekonomi di Indonesia masih bersifat tradisional.

  • Indonesia masuk kelompok 20 negara yang paling banyak memiliki miliuner.

  • Pandemi tak seketika meruntuhkan bisnis orang-orang superkaya.

JAKARTA – Kekayaan dari komoditas alam menjadi salah satu alasan masuknya Indonesia ke jajaran negara yang paling banyak memiliki miliuner. Kepala Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, mengatakan struktur ekonomi di Indonesia masih bersifat tradisional dan ditopang oleh hasil komoditas, terutama tambang dan perkebunan. “Ekspor kita didominasi komoditas alam,” katanya kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia masuk kelompok 20 negara yang paling banyak memiliki miliuner pada 2023 versi Forbes. Menurut majalah bisnis dan finansial asal Amerika Serikat tersebut, jumlah “crazy rich” Indonesia mencapai 29 orang, berkurang satu dibanding pada tahun lalu. Para empunya kekayaan jumbo asal Indonesia bergabung bersama 2.640 miliuner terkaya yang berasal dari 77 negara. Jumlah itu sudah mencakup orang kaya dari dua negara yang baru diikutkan Forbes untuk survei pada 2023, yakni Armenia dan Panama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Andry, dominasi kekayaan dari komoditas alam tampak pada profil miliuner yang merajai daftar anyar orang terkaya Indonesia versi Forbes. Posisi pertama diisi Low Tuck Kwong, pendiri PT Bayan Resources Tbk, yang merupakan jaringan perdagangan besar dan pertambangan batu bara, dengan kekayaan menyundul US$ 25,5 miliar.

Baca juga: Basa-basi Transisi Energi

Dua bersaudara pewaris bisnis rokok Djarum yang juga membangun PT Bank Central Asia Tbk, Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono, berada di posisi kedua dan ketiga. Masing-masing kekayaan mereka sebesar US$ 24,2 miliar dan US$ 23,1 miliar. Kekayaan duo Hartono tersebut jauh melampaui miliuner keempat, yakni Sri Prakash Lohia. Kekayaan pendiri raksasa petrokimia dan tekstil PT Indo-Rama Synthetics Tbk ini berkisar US$ 7,4 miliar. 

Michael Bambang Hartono. Dok. Djarum Foundation

Lalu di urutan kelima terdapat nama pemilik PT Barito Pacific Tbk, Prajogo Pangestu, dengan kekayaan sebesar US$ 5,3 miliar. Sumber kekayaan Prajogo adalah bisnis kayu, petrokimia setelah mengakuisisi PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, dan batu bara melalui PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk.

Kemudian ada Lim Hariyanto yang memiliki kekayaan sebesar US$ 4,9 miliar. Hariyanto adalah pemilik Harita Group, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan nikel dan bauksit, perkebunan kelapa sawit, ekspedisi, kayu, batu bara, hingga properti. Anak usaha Harita Group di bidang pertambangan nikel, yakni PT Trimegah Bangun Persada Tbk, baru masuk Bursa Efek Indonesia pada April lalu.

Baca juga: Kisruh Relokasi Warga di Pulau Obi

Andry mengatakan orang-orang terkaya di Tanah Air umumnya membina bisnis yang sudah berjalan hingga beberapa dekade. Tak jarang di antara mereka dekat atau bahkan masuk lingkaran elite politik. “Mereka mendapat manfaat ekonomi besar dari koneksi tersebut.” 

Kaya dari Bisnis Berteknologi Tinggi

Elon Musk. REUTERS/Jonathan Ernst

Karakter kekayaan miliuner Indonesia ini berbeda dengan negara lain. Amerika Serikat, sebagai contoh, cenderung memiliki orang kaya dari sektor yang disokong ilmu pengetahuan dan jasa, termasuk popularitas. Hak dan penguasaan terhadap jenis teknologi tertentu pun menjadikan berbagai figur asal Negeri Abang Sam sebagai pemegang harta terbesar. “Struktur ekonomi mereka sudah lebih maju dan umum. Jadi, pemain sektor itu yang berkuasa,” tuturnya kepada Tempo.

Melihat lagi catatan Forbes, Amerika Serikat masih menjadi negara yang diisi jumlah orang superkaya terbanyak, yakni sebanyak 735 orang. Jumlah miliuner di sana tak berubah dari daftar yang dibuat Forbes pada 2021, meskipun ada sekitar 50 orang yang turun peringkat dan beberapa orang lainnya yang meninggal. Total kekayaan taipan asal AS turun selama setahun terakhir, dari US$ 4,7 triliun menjadi US$ 4,5 triliun—salah satunya dipicu oleh kejatuhan industri teknologi dan perbankan.

Tak hanya di Indonesia, sejumlah orang terkaya di Amerika pun kerap dikaitkan dengan elite politik. Beberapa contohnya adalah kedekatan mantan Presiden AS, Donald Trump, dengan pebisnis teknologi, Elon Musk. “Orang-orang Silicon Valley juga dekat dengan salah satu partai di sana.”

Negara pemilik orang superkaya terbanyak kedua adalah Cina, dengan 495 miliuner. Jumlah itu belum termasuk pemegang status kewarganegaraan Hong Kong dan Makau. Adapun pengisi posisi ketiga adalah India, yang memiliki 169 miliuner pada tahun ini, naik dibanding pada tahun lalu yang masih 166 orang. 

Dihantui Deindustrialisasi

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menilai struktur ekonomi tradisional Indonesia belum banyak berkembang. Alih-alih menjadi negara maju, Indonesia dianggap terus mengalami deindustrialisasi. “Mereka yang kaya akan semakin kaya, sementara kelompok menengah-miskin akan sulit melakukan lompatan ke golongan kaya.”

Tanda-tanda deindustrialisasi itu tampak dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS, porsi industri pengolahan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia kian menurun. Pada triwulan I 2023, porsi industri pengolahan hanya 0,92 persen, turun dibanding pada triwulan I 2022 yang sebesar 1,08 persen dan triwulan IV 2022 yang sebesar 1,16 persen.

Menurut Piter, pandemi tak seketika meruntuhkan bisnis masyarakat golongan tajir. Berbeda dengan masyarakat menengah ke bawah, orang superkaya umumnya memiliki simpanan aset dan tunai yang bisa menyokong penyesuaian bisnis pada masa krisis. “Contohnya, mereka membangun bisnis lab kesehatan untuk tes Covid. Pandemi masih bisa dimanfaatkan untuk mencari untung.”

YOHANES PASKALIS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus