Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MIRA Agustina, 27 tahun, adalah saksi penting dalam sejarah hidup Umar al-Faruq. Tahun 1999 ia menikah dengan seseorang yang mengaku bernama Mahmud bin Ahmad Assegaf. Selanjutnya ia mengaku mengetahui semua kegiatan suaminya. Lalu, 2002 lalu, Umar al-Faruq—nama lain suaminya itu—diculik di Bogor, Jawa Barat. Dari Palang Merah Internasional, ia mendengar kabar suaminya ditahan di penjara AS di Bagram, Afganistan.
Kini suaminya dikabarkan kabur dari penjara dan bergabung dengan Taliban. Seperti ketika Faruq ditangkap dulu, kini Mira menghadapi ritual yang tak membuatnya nyaman: diinteli polisi.
Kepada wartawan Tempo Deddy Sinaga dan Deffan Purnama, Mira berkisah tentang suaminya. Ia juga mengizinkan fotografer Arif Fadillah memotret surat-surat Faruq kepadanya yang dikirimkan dari Penjara Bagram melalui bantuan Palang Merah Internasional.
Bagaimana Anda mengetahui Al-Faruq kabur?
Awal September, saya ditelepon orang dari Palang Merah Internasional. Mereka bilang Al-Faruq kabur pada 11 Juli dengan tiga temannya. Saya ke kantor PMI untuk bertemu mereka karena mereka bilang enggak enak bicara di telepon. Saya bersyukur kepada Tuhan karena mereka bisa kabur. Mustahil rasanya mereka bisa kabur. Penjara itu katanya dikelilingi dua tembok baja, empat pagar berduri. Di luar masih ada ranjau, lalu mereka masih ditaliin (dirantai) satu per satu. Kata mama saya, siluman ‘kali. Mungkin itu kekuatan Tuhan.
Anda sempat berkomunikasi melalui e-mail dengan Al-Faruq?
Enggak, saya enggak bisa buka e-mail. Kalaupun saya buat e-mail, polisi bisa memasukkan e-mail yang enggak jelas buat saya.
Kalau surat?
Suratnya terakhir tanggal 1 Juni 2005, tapi saya terima Agustus melalui Palang Merah Internasional.
Surat itu ditulis tangan?
Ya, tulisan tangan
Anda yakin itu surat suami Anda?
Surat pertama sampai keempat, saya masih yakin. Tapi yang kelima dan keenam sudah ngaco isinya.
Maksudnya?
Biasanya dia menitip salam untuk keluarga, menanyakan kabar anak-anak. Tapi yang terakhir enggak. Dia juga enggak bertanya kondisi dan keluarga. Di surat yang terakhir, dia cuma bilang ”saya baik-baik saja, tolong anak-anak disuruh belajar yang baik”. Cuma sedikit isinya dan tulisannya rada lain.
Maksud Anda, itu bukan tulisan Al-Faruq?
Tetap tulisan tangan dia.
Anda membalas surat itu?
Saya balas 2-3 kali. Surat terakhir saya kirim Agustus, tapi mungkin enggak sampai.
Selama itu, bagaimana Anda menghidupi anak-anak?
Saya berjualan bubur kacang hijau. Hasilnya bisa untuk ongkos anak-anak dan dua adik saya sekolah. Ada juga bantuan dari keluarga ibu dan dari Pak Eggy Sudjana (pengacara yang banyak membantu keuangan keluarga Faruq—Red).
Anda sudah menghubungi Departemen Luar Negeri?
Saya belum melakukan apa pun. Baru besok saya mau bertemu Pak Eggy.
Sejak kaburnya Faruq, bagaimana situasi di sini?
Tadi ada orang yang foto-foto rumah ini tanpa minta izin. Di dekat rumah malah ada mahasiswa mengontrak. Saya bingung, mahasiswa kok mengontrak di sini. Universitas di sini paling dekat kan Universitas Juanda dan Pakuan, sekitar satu jam perjalanan. Mereka bilang sedang cari kerja, tapi saya lihat handphone-nya mahal-mahal dan bawa motor Honda Tiger dan Yamaha RX King. Hebat. Saya sih berprasangka baik saja, barangkali mereka polisi yang mencoba melindungi saya supaya tidak diculik seperti suami saya.
Mereka pernah bicara dengan Anda?
Enggak. Mereka cari informasinya di luar. Saya tahu dari SMS beberapa teman. Mereka bilang ada orang aneh.
Anda masih ikut majelis taklim atau pengajian?
Dari dulu saya enggak pernah ikut. Paling-paling, kalau ada ustad datang, saya nongolin muka aja. Orang menikah, ya, saya datang.
AS menuduh suami Anda Al-Qaidah, yang lain mengatakan dia justru intel CIA?
Saya dengar semuanya dari satu pihak. Sekarang dia katanya kabur ke Taliban. Bagaimana CIA bisa masuk Taliban? Siapa yang menangkap dia sampai saat ini pun saya tidak tahu. Saya terima kabarnya bahwa dia ada di Bagram. Saya kira dia di Guantanamo.
Anda mengetahui semua kegiatan Faruq?
Insya Allah 75 persen kegiatan dia saya tahu. Kegiatannya berkisar di rumah, pergi ke Jakarta, ke Ambon, ke Makassar. Di Ambon dan Makassar, dia cari kayu gaharu dan mutiara.
Anda pernah bertemu Ustad Abu Bakar Ba’asyir?
Saya berani sumpah enggak kenal dengan Abu Bakar Ba’asyir. Dengar mungkin, karena saya sekolah pesantren di Jawa Tengah.
Anda kenal dengan Seyam Reda, tokoh yang bikin pelatihan di Poso?
Enggak.
Ada rekaman yang menyebutkan Faruq melatih militer di sebuah kamp pelatihan?
Saya enggak tahu.
Seperti apa Faruq yang Anda kenal?
Saya ketemu dia pada 1999. Dia bilang dia pedagang keturunan Timur Tengah. Hampir semua kehidupan dia, saya tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo