Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kondisi kapal riset Baruna Jaya di Ambon dan Jakarta memprihatinkan.
Pemeliharaan kapal diduga bermasalah sejak BRIN mengalihkan pengelolaan ke swasta.
Tudingan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dibalas dengan data.
TIGA pria tampak bersantai mengobrol di atas geladak Baruna Jaya III, kapal riset milik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang bersandar di Pelabuhan Ferry Poka, Ambon, Maluku. Di tengah-tengah tugas jaga, Rabu, 25 Januari lalu, mereka mengamati belasan bocah yang tengah asyik berenang. Anak-anak di Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, itu melompat ke air dari geladak sebuah kapal cepat yang rusak, tepat di pinggir Baruna Jaya III.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hei, jangan naik di situ,” kata seorang penjaga kepada para bocah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para penjaga itu enggan identitasnya disebutkan. Mereka juga ogah bicara banyak soal nasib Baruna Jaya III yang sedang mereka jaga. Seorang di antara mereka hanya menyebutkan bahwa kapal itu sedang menunggu masa lelang untuk diserahkan ke pengelola baru. “Lebih baik tanyakan ke BRIN,” kata pria itu.
Hasim, warga Desa Poka, menceritakan kapal Baruna Jaya III sudah lama tak beroperasi. Kapal tersebut teronggok di pelabuhan sejak Desember 2022. Di kapal itu juga tak ada pekerja, dari anak buah kapal hingga mualim. “Tapi kadang ada orang yang datang untuk mengecek situasi saja,” kata Hasim.
Merujuk pada situs web MarineTraffic, Baruna Jaya III bersandar di Pelabuhan Wayame, Ambon, pada 29 Desember 2022. Kapal itu bertolak terakhir kali dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, dengan kecepatan rata-rata 5,8 knot, sembilan hari sebelumnya.
Rabu lalu, Baruna Jaya III tampak tak terurus. Anjungan kapalnya gelap tanpa penerangan. Dari pemantauan luar, cat pada dinding kapal terkelupas. Beberapa bagian lainnya telah dimangsa karat.
Kapal Baruna Jaya III yang mangkrak di Pelabuhan Khusus LIPI, Ambon, 25 Januari 2023. TEMPO/Rere Khairiyah
Seorang peneliti BRIN pada Kawasan Kerja Bersama (KKB) Ambon tak mengetahui bagaimana Baruna Jaya III dikelola. Yang ia tahu, kapal itu dulu dikelola oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang kini sudah dilebur ke dalam BRIN. “BRIN memulangkan seluruh anak buah kapal sejak akhir 2021,” kata dia.
Di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, nasib kapal riset Baruna Jaya I, II, IV, dan VIII tak kalah memprihatinkan. Seperti Baruna Jaya III, kapal riset Baruna Jaya I, II, dan IV dulunya dikelola oleh BPPT melalui Balai Teknologi Survei Kelautan. Adapun Baruna Jaya VIII merupakan kapal riset milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Seluruhnya kini berada di bawah kendali Direktorat Pengelolaan Armada Kapal Riset (PAKR) Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN.
Badan kapal-kapal itu tak lagi mulus. Catnya mengelupas. Besi-besinya pun berkarat. Kondisi Baruna Jaya II lebih mengenaskan. Diapit Baruna Jaya I, IV, dan VIII, Baruna Jaya II terlihat reyot. Pagar pembatas di anjungannya rusak.
Seorang penjaga kapal menceritakan kapal-kapal itu selalu bertumbukan tatkala cuaca buruk datang. Awal Januari lalu, misalnya, gelombang tinggi di pesisir utara Jakarta membuat kapal yang dijajarkan berimpitan itu beradu. Sejak akhir tahun lalu, kata dia, mesin kapal juga tak pernah dipanaskan, seperti yang dulu biasa dilakukan. “Sumber arus listrik untuk penerangan kapal sekarang pun diambil dari dermaga,” kata penjaga yang enggan disebut namanya itu. “Seluruh ruang panel kapal dikunci. Kami hanya diberi tugas menjaga dan membersihkan kapal.”
Kapal riset Baruna Jaya II, IV, I , dan VIII yang mangkrak di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jakarta Utara, 29 Januari 2023. TEMPO/Andi Adam Faturahman
Pengelolaan Kapal Riset BRIN Dinilai Amburadul
Keberadaan kapal-kapal riset eks-BPPT dan LIPI kembali menarik perhatian setelah BRIN sebagai pengelola baru membuka lagi tender pengadaan jasa ship management armada kapal riset 2023-2025 pada Rabu, 25 Januari lalu. Ini merupakan tender ulang setelah lelang awal pada 29 Desember 2022 dinyatakan gagal.
Dalam tender awal, situs web Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) BRIN mencatat pengadaan dengan pagu anggaran senilai Rp 35,28 miliar itu diikuti oleh 14 peserta. Namun hanya tiga peserta yang mengajukan penawaran harga, yakni PT Samudra Gemilang Bahari, PT Pelayaran Indonesia Huahui Internasional, dan PT Pal Marine Service. Adapun PT Sinarmas LDA Maritime, yang memenangi tender serupa pada tahun anggaran 2022, tak mengajukan harga penawaran. "Tidak ada peserta yang lulus evaluasi penawaran," begitu tertulis pada bagian alasan pembatalan tender.
Hingga kemarin, tender ulang jasa ship management armada kapal riset itu masih berstatus "pengumumam pascakualifikasi". Data peserta masih dirahasiakan.
Pengelolaan lantas dialihkan terpusat di bawah Direktorat Pengelolaan Armada Kapal Riset Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi. Tidak hanya Baruna Jaya III, Baruna Jaya I, II, dan IV juga dikelola direktorat tersebut. Pun terhadap Baruna Jaya VIII yang semula menjadi kapal riset LIPI.
Setahun terakhir, praktis Baruna Jaya I, III, dan VIII berada di bawah pengelolaan PT Sinarmas LDA Maritime (SLM). Perusahaan patungan Grup Sinar Mas dan Louis Dreyfus Armateurs, perusahaan jasa manajemen kapal asal Prancis, tersebut memenangi tender awal pada Maret 2022 dengan kontrak senilai Rp 19,1 miliar.
Pengalihan pengelolaan kapal riset ke swasta ini sempat bikin geger pada awal transisi peleburan BPPT ke BRIN tahun lalu. Puluhan anak buah kapal yang telah belasan tahun mengawaki kapal riset itu mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) lantaran pengakhiran kerja sepihak oleh BRIN.
Kapal Riset Baruna Jaya II, IV, I, dan VIII yang mangkrak di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jakarta Utara, 29 Januari 2023. TEMPO/Andi Adam Faturahman
Yang hingga kini bermasalah, seorang mantan teknisi kapal riset era BPPT mengatakan, kapal-kapal itu justru terbengkalai. “Padahal di dalam kapal-kapal itu banyak peralatan canggih yang semestinya membutuhkan pemeliharaan berkala sesuai dengan standar,” kata dia.
Dalam urusan pengoperasian kapal, dia menjelaskan, setidaknya ada tiga indikator untuk menilai Baruna Jaya laik melaut. Pertama, armada Baruna Jaya harus mengacu pada beberapa peraturan pemeliharaan kapal, seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran serta standar yang diterapkan International Maritime Organization (IMO).
Kedua, pengoperasian Baruna Jaya harus merujuk pada aturan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), badan usaha yang menerbitkan sertifikat laik jalan. Ketiga, pada urusan perawatan, Baruna Jaya mesti mengacu pada buku manual yang diterbitkan oleh perusahaan kapal. Ketika semua syarat terpenuhi, kapal diberi sertifikat laik operasi.
Dia menceritakan, sepanjang 2009-2021, kapal-kapal Baruna Jaya rutin memperbarui sertifikat tersebut, kecuali Baruna Jaya II yang sempat tidak beroperasi selama beberapa tahun karena kerusakan pada bagian gearbox. Namun saat ini beberapa kapal berpotensi kehilangan sertifikat laik laut. “Baru-baru ini kami mendapat e-mail dari Biro Klasifikasi Indonesia yang menyatakan sertifikat Baruna Jaya IV sedang ditangguhkan,” kata peneliti BRIN eks-BPPT tersebut.
BKI dikabarkan akan menangguhkan izin Baruna Jaya IV karena kapal tersebut tidak melakukan docking sesuai dengan jadwal pada Agustus 2022. Jika dalam kurun waktu enam bulan tidak diperbaiki, sertifikat yang dimiliki Baruna Jaya IV bakal dicabut pada Februari mendatang. Kondisi miris juga terjadi pada kapal-kapal Baruna Jaya lainnya yang sertifikatnya terancam dicabut.
Mantan Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT, Djoko Nugroho, tak bisa banyak berkomentar ihwal kondisi armada kapal riset yang dulu dikelolanya. Sejak BPPT dilebur ke dalam BRIN, Balai Teknologi Survei Kelautan juga ditiadakan. “Kapal-kapal itu di tangan Direktorat Pengelolaan Armada Kapal Riset,” kata Djoko ketika dihubungi Tempo, Kamis, 26 Januari lalu.
Menurut Djoko, saat armada kapal itu masih di bawah pengelolaan Balai Teknologi Survei Kelautan, BPPT menyiapkan tiga tim anak buah kapal yang bisa beroperasi secara bersamaan. Sebagian besar di antara mereka adalah non-pegawai negeri yang bekerja belasan tahun pada masing-masing kapal. “Karena spesifikasi kapal riset itu tak bisa disamakan dengan kapal biasa,” kata dia.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Tudingan Kepala BRIN terhadap Pengelola Awal
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Laksana Tri Handoko, membenarkan lembaganya tengah menggelar lelang operator kapal riset Baruna Jaya. Seluruh kapal yang diwariskan BPPT dan LIPI itu, kata dia, telah berusia sekitar 30 tahun dengan kondisi tak layak karena lemahnya pemeliharaan.
Dengan mekanisme pengelolaan oleh mitra ini, Laksana berdalih, BRIN tidak perlu memiliki anak buah kapal sendiri. BRIN tidak dapat mempekerjakan ABK lantaran sesuai dengan regulasi tidak bisa memberikan penghasilan sesuai dengan standar industri. Persoalan ini memicu efek berantai, termasuk kapal tidak dapat diasuransikan.
Di sisi lain, menurut dia, pengelolaan oleh swasta memberikan jaminan kepada BRIN ihwal pemeliharaan sesuai dengan standar industri. Dia mengklaim kapal Baruna Jaya III yang tengah bersandar di dermaga BRIN Ambon tetap dijaga oleh sivitas di Kawasan Sains BRIN. Kapal itu, kata dia, tetap terkoneksi dengan listrik dari darat. "Sehingga, meski mesin tidak dinyalakan, tak menjadi masalah," kata dia.
Sebaliknya, Laksana justru menuding pengelola sebelumnya hanya menjadikan Baruna Jaya II dan IV sebagai gudang. "Rata-rata hari layar Baruna Jaya I-IV kurang dari 20 hari dalam setahun, padahal kami harus tetap membayar biaya sandar dan biaya lainnya," kata Laksana.
Saat dimintai konfirmasi tentang tudingan Laksana, Djoko Nugroho hanya tertawa. Dia memaparkan data yang menunjukkan armada kapal riset Baruna Jaya I-IV sepanjang 2016-2021 beroperasi secara kumulatif sebanyak 1.193 hari layar.
Djoko mengingatkan, kapal riset Baruna Jaya IV merupakan kapal yang berhasil menemukan black box pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021. Adapun Baruna Jaya I, yang paling terakhir kali berlayar di bawah bendera BPPT pada akhir 2021, merupakan kapal yang membantu tugas penempatan Ina-Buoy, perangkat terapung peringatan dini tsunami. “Silakan dinilai sendiri,” kata Djoko.
AVIT HIDAYAT | ANDI ADAM FATURAHMAN | RERE KHAIRIYAH (AMBON)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo