Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTEMU dengan puluhan tokoh di Istana Merdeka pada Kamis, 26 September lalu, Presiden Joko Widodo membuka persamuhan tanpa basa-basi. Kepada tetamu, ia menyampaikan keinginan mendengarkan masukan tentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebelum menyilakan tamunya berbicara, Jokowi menyatakan kembali sikapnya mengenai amendemen Undang-Undang KPK, yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada 17 September lalu. Presiden merujuk pada pernyataannya ke publik sebelum revisi diketuk. Jokowi tak setuju penyadapan harus seizin pihak luar dan berkeberatan bila penyidik direkrut dari polisi dan jaksa saja. Jokowi juga menolak KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan serta menginginkan pengelolaan laporan harta pejabat tetap diurus KPK.
Bivitri Susanti, pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, yang hadir dalam pertemuan itu, langsung merespons pernyataan sahibulbait. Pesan Presiden itu, kata Bivitri, tak sepenuhnya diakomodasi dalam revisi Undang-Undang KPK. “Masyarakat sipil sudah mensimulasikan pasal per pasal, namun keinginan Bapak tak terpenuhi di dalam naskah revisi,” kata Bivitri pada Kamis, 3 Oktober lalu, menirukan ucapannya kepada Jokowi.
Ringkasnya, dalam pertemuan itu, Bivitri menjelaskan sejumlah pasal bermasalah. Ia menyebut wewenang dewan pengawas yang terlalu luas. Lalu soal status pemimpin KPK yang bukan lagi penyidik dan penuntut umum, yang akan menimbulkan masalah dalam penanganan perkara. Atas sejumlah pendapat itu, Jokowi hanya mendengarkan dan sesekali menulis di buku catatannya.
Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan mempertimbangkan penerbitan Perpu KPK, di Jakarta, 26 September 2019. TEMPO/Hilman Faturahman W
Menutup penjelasannya, doktor hukum tata negara itu menyarankan Presiden tak ragu mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk mengoreksi Undang-Undang KPK yang baru. “Kami juga meyakinkan Pak Jokowi bahwa situasi kegentingan yang memaksa sebagai syarat terbitnya perpu sudah terpenuhi,” ujar Bivitri.
Tamu yang lain, Mahfud Md., memaparkan tiga opsi menyikapi revisi tersebut. Pertama, legislative review, yakni pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kembali dari awal sebuah undang-undang setelah peraturan itu berlaku. Kedua, judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai mantan hakim konstitusi, Mahfud mengatakan alternatif kedua sulit dikabulkan Mahkamah karena substansi revisi Undang-Undang KPK tak bertabrakan dengan konstitusi.
Penerbitan Perpu KPK adalah opsi terakhir yang ditawarkan Mahfud. Menurut dia, jika opsi ketiga ini diambil, isinya bukan membatalkan revisi undang-undang, melainkan menunda pemberlakuannya selama satu-dua tahun. “Penundaan itu untuk memberikan kesempatan memperbaiki substansi, seperti kehendak Presiden yang ingin memperkuat KPK,” ujar Mahfud. Salah satu pasal yang perlu diperbaiki, kata Mahfud, adalah soal status komisioner KPK sebagai penyidik dan penuntut umum yang dicabut dalam revisi.
“Skema itu disarankan agar kasus yang dihentikan di KPK tak diperkarakan lagi oleh kepolisian dan kejaksaan di lain waktu.”
Menanggapi saran tamunya, Jokowi menyampaikan kekhawatirannya. Ia waswas Perpu KPK ditolak DPR ketika dibawa ke Senayan. “Saya kan tidak punya fraksi di DPR,” ujar Jokowi. Menimpali kerisauan Presiden, para tokoh berkelakar siap menjadi fraksi kesepuluh, di luar sembilan fraksi dari partai politik yang ada di DPR saat ini. “Kami siap mendukung Presiden tanpa pamrih,” ujar Mochtar Pabottingi, mantan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang juga hadir di Istana.
Seusai pertemuan dengan para tokoh, Jokowi menyampaikan kepada publik bahwa ia mempertimbangkan penerbitan Perpu KPK. “Kami akan segera menghitung dan memutuskan,” kata Jokowi. Tiga hari sebelumnya atau 23 September 2019, Presiden menyatakan Perpu KPK tak ada dalam opsinya.
Sebenarnya, Jokowi telah melunak sejak dua hari sebelum pertemuan dengan Mahfud dan kawan-kawan. Pada puncak demonstrasi mahasiswa menentang revisi Undang-Undang KPK dan rancangan undang-undang lain yang bermasalah, ia menerima sejumlah mantan pemimpin KPK di Istana. Kepada tamunya, Jokowi menyebutkan ada beberapa pasal dalam revisi Undang-Undang KPK yang tak sesu-ai dengan keinginannya.
Salah satu pasal yang dipersoalkan Jokowi adalah aturan soal penyadapan, yang wajib mendapat izin tertulis dari dewan pengawas sebelum dilakukan. Padahal, kata Jokowi kepada tamunya, yang dia maksud adalah penyadapan harus dilaporkan kepada dewan pengawas setelah selesai dilakukan alias post-audit.
Para tamu kaget mendengar penjelasan Jokowi. “Bila hal itu menjadi gagasan Bapak sejak awal, kami setuju,” ujar salah seorang dari mereka. Sumber yang hadir dalam pertemuan itu menjelaskan kepada Jokowi bahwa KPK rutin melaksanakan audit penyadapan sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan terhadap Informasi.
Mereka kemudian menyarankan prosedur meminta izin dewan pengawas dalam penyadapan dicabut. Adapun keberadaan dewan pengawas tak dipersoalkan sepanjang tugasnya hanya memastikan komisi antikorupsi bekerja akuntabel.
Ihwal penghentian kasus juga dibicarakan. Salah seorang tamu mengatakan tenggat dua tahun menangani perkara seperti dalam undang-undang yang baru itu terlalu singkat. Banyak kasus rumit, seperti korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik, yang membutuhkan waktu panjang untuk investigasinya. Sebagai jalan tengah, bekas penegak hukum ini menyarankan Perpu KPK tetap mengadopsi aturan penghentian perkara, tapi harus melalui penuntutan bebas di pengadilan. “Skema itu disarankan agar kasus yang dihentikan di KPK tak diperkarakan lagi oleh kepolisian dan kejaksaan di lain waktu,” ujar sumber itu.
Para tamu juga menyarankan status aparatur sipil negara hanya berlaku bagi pegawai administratif. Adapun penyidik dan penyelidik disarankan tak menjadi aparatur sipil negara karena dikhawatirkan akan mempengaruhi independensi mereka.
Menurut mantan penegak hukum itu, Jokowi lebih banyak mendengarkan dan mencatat usul tetamu. Presiden sempat bertanya apakah saran untuk mengoreksi revisi Undang-Undang KPK itu bisa dimuat dalam peraturan pemerintah. Para tamu menjawab bahwa peraturan pemerintah hanya bisa berisi aturan yang bersifat minor, seperti status pegawai KPK. “Kami mencoba mengirim sinyal bahwa pasal-pasal krusial seperti penyadapan harus diatur dengan perpu,” kata sumber itu.
Di akhir pertemuan, para tamu menawarkan tiga opsi keputusan untuk Presiden. Pertama, membatalkan revisi Undang-Undang KPK dan kembali ke Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Kedua, menerbitkan Perpu KPK dengan sejumlah pembenahan pada pasal-pasal krusial. Terakhir, menunda pemberlakuan undang-undang hasil revisi selagi masyarakat sipil mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Saran para tokoh ditampung Istana. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan menyiapkan rancangan perpu yang dimaksud. “Kami antisipasi keputusan Presiden,” katanya, Jumat, 27 September lalu. Jokowi juga dikabarkan meminta sejumlah orang menyiapkan rancangan. Salah satu rancangan perpu yang dibaca Tempo menyatakan Undang-Undang KPK yang baru dicabut dan dikembalikan ke undang-undang yang lama dengan sejumlah perubahan. Misalnya soal penghentian kasus yang mesti dilakukan dengan cara menuntut bebas terdakwa di pengadilan.
Tapi peluang keluarnya Perpu KPK meredup setelah Jokowi bertemu dengan ketua umum dan sekretaris jenderal partai pendukungnya di Istana Bogor pada 30 September lalu. Menurut Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa Hasanuddin Wahid, partainya meminta Presiden menunggu proses uji materi terhadap revisi Undang-Undang KPK yang sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Meski revisi itu belum sah menjadi undang-undang, sejumlah mahasiswa telah mengajukan permohonan uji materi.
Menurut Hasanuddin, perbaikan dalam payung hukum komisi antikorupsi nantinya bisa mengacu pada putusan Mahkamah. “Kami minta pemerintah setia saja pada jalur konstitusi,” kata Hasanuddin.
NasDem menyodorkan tiga pilihan untuk Presiden, yakni legislative review, judicial review, dan perpu. Menurut Sekretaris Jenderal NasDem Johnny G. Plate, dari ketiga opsi tersebut, jalur uji materi di Mahkamah Konstitusi paling memungkinkan karena persidangan sedang berjalan. Sebagaimana PKB, NasDem menyarankan Jokowi tak buru-buru menerbitkan perpu selagi Mahkamah bersidang.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum NasDem Surya Paloh menyebutkan Presiden berpotensi dianggap keliru karena mengeluarkan Perpu KPK di tengah proses yang berlangsung di Mahkamah. “Kalau Presiden kita paksa keluarkan perpu, salah-salah Presiden bisa di-impeach karena hal itu,” ujar Surya. Bivitri Susanti mengatakan Presiden tak bisa dimakzulkan hanya karena menerbitkan perpu yang menjadi kewenangannya.
Sidang perdana uji materi Undang-Undang KPK di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 30 September 2019. ANTARA/Akbar Nugroho
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani, yang juga hadir dalam pertemuan itu, menyebutkan partainya mendorong Presiden menempuh legislative review, alih-alih mengeluarkan Perpu KPK. Menurut Arsul, pemerintah bisa menjadi inisiator perbaikan atas revisi Undang-Undang KPK dalam masa sidang DPR mendatang. Pemerintah tinggal mengoreksi dan merumuskan ulang sejumlah pasal yang dianggap bermasalah.
Menurut Arsul, para tamu juga mengingatkan Jokowi mengenai potensi kegaduhan apabila perpu benar-benar keluar. Derasnya penolakan partai pendukung pemerintah terhadap Perpu KPK bisa membuat situasi kian rumit. Publik pun bakal menangkap kesan bahwa Presiden sedang bermusuhan dengan DPR. “Kami sampaikan kepada Presiden bahwa kondisi itu tak baik bagi stabilitas pemerintahan,” ujar Arsul.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuang-an, pengusung utama Jokowi, sejak awal menentang keras perpu. Ketua PDI Perjuangan Bambang Wuryanto menyatakan partai banteng tak setuju Presiden menerbitkan Perpu KPK karena tak ada keadaan genting yang memaksa serta tak terjadi kekosongan hukum yang membuat Presiden harus menerbitkan peraturan itu. “Jalan mengubah undang-undang itu cuma lewat Mahkamah Konstitusi,” tutur Bambang.
Ketua Umum Megawati Soekarnoputri terus memantau perkembangan. Ia memanggil bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly, ke Bali begitu mendengar kabar draf Perpu KPK sedang disiapkan pemerintah. Bertemu di sebuah restoran Jepang, keduanya mendiskusikan peluang Jokowi mengeluarkan perpu.
Dimintai konfirmasi soal pertemuan tersebut, Yasonna mengatakan ia memang sedang menghadiri sebuah acara di Bali, lalu diminta menghadap Megawati. “Saya menjelaskan perkembangan pembahasan undang-undang di DPR,” ujar Yasonna. “Sikap partai kami tak berubah soal revisi itu. Sama seperti yang disampaikan oleh Pak Jokowi.”
RAYMUNDUS RIKANG, STEFANUS PRAMONO, DEVY ERNIS, FRISKI RIANA
Revisi dan Isu yang Bikin Jeri
Di hadapan Presiden Joko Widodo, Hendrajoni mengeluh tak leluasa mengambil kebijakan karena khawatir ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Bupati Pesisir Selatan di Sumatera Barat itu, hal serupa disampaikan kepala daerah lain kepada Presiden ketika mereka diundang ke Istana Bogor pada Kamis, 5 Juli 2018. “Karena banyak OTT (operasi tangkap tangan). Ada ketakutan,” ujar Hendrajoni pada Kamis, 4 Oktober lalu.
Dalam pertemuan berbeda, sejumlah gubernur menyampaikan hal yang sama ketika bertemu dengan Jokowi di Istana Bogor tahun lalu. Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola, yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan mereka ragu-ragu mengambil keputusan karena takut dipermasalahkan KPK di kemudian hari. “Enggak berani karena takut dikit-dikit salah,” tutur Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia itu.
Kerisauan kepala daerah tersebut disampaikan Jokowi kepada tamunya pada Agustus lalu. Menurut Jokowi, gencarnya operasi tangkap tangan oleh KPK membuat kepala daerah takut mengambil keputusan sehingga pembangunan di daerah tersebut tersendat. Karena itu, dia ingin KPK lebih berfokus pada pencegahan ketimbang penindakan.
Menurut seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari partai pemerintah, salah satu alasan Jokowi menyetujui revisi Undang-Undang KPK adalah komisi antisuap terlalu agresif sehingga investasi seret. Sebelum meralat pernyataannya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan hal serupa. “Lembaga KPK itu bisa menghambat upaya investasi. Ini yang tak dipahami masyarakat,” ujar Moeldoko pada Senin, 23 September lalu.
Belakangan, menurut Moeldoko, revisi Undang-Undang KPK itu dibuat untuk memberikan kepastian hukum. “Maksudnya, UU KPK yang baru memberikan beberapa landasan kepastian hukum, termasuk kepada investor,” katanya. Dalam undang-undang yang baru, ada mekanisme untuk menghentikan kasus lewat penerbitan surat perintah penghentian penyidikan alias SP3. Jika seseorang sudah menjadi tersangka tapi tak cukup bukti, statusnya bisa dicabut.
Beberapa waktu lalu, narasumber di lingkungan Istana mendengar kabar bahwa KPK sedang membidik seorang pejabat di sana. Isu itu membuat Istana resah. Namun Komisi menyanggah sedang mengincar Istana dan menyadap para pejabatnya. “Kalau ada informasi itu, saya dan semua komisioner KPK bisa memastikan bahwa KPK tidak menyadap Istana,” kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif. Komisi antikorupsi juga tak sedang menyelidiki kasus di sana.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan hal serupa. “Itu fitnah. KPK tak pernah menyadap Presiden, Setneg, atau Setkab. Persetujuan penyadapan itu lewat lima pemimpin,” tutur Agus.
Kekhawatiran bahwa penyadapan oleh KPK sembrono disampaikan Jokowi kepada tamunya, mantan penegak hukum, yang menemuinya beberapa waktu lalu. Ini yang menjadi alasan lain Jokowi menyetujui amendemen Undang-Undang KPK. Dalam konferensi pers di Istana pada 13 September lalu, Jokowi menyatakan izin penyadapan dari dewan pengawas—seperti dalam undang-undang yang baru—dibutuhkan untuk mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang. “Dewan pengawas memang diperlukan karena semua lembaga dalam prinsip checks and balances,” ujarnya.
Kepada Jokowi, sang tamu mengatakan, jika khawatir penyadapan oleh KPK serampangan, Presiden sebenarnya bisa memerintahkan Menteri Komunikasi dan Informatika bersama penyedia layanan mengaudit penyadapan oleh KPK. Ini sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan terhadap Informasi. Kewenangan dewan pengawas yang terlalu luas justru berpotensi mencampuri penegakan hukum.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Adita Irawati tak mengetahui soal isu yang beredar di lingkungan Istana bahwa KPK menyadap Istana. Ia juga tak mendengar Presiden Jokowi mengeluhkan penyadapan oleh KPK. “Sepengetahuan saya tidak pernah,” ujar Adita.
Adapun ihwal salah satu alasan revisi adalah adanya keluhan dari kepala daerah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan belum mengetahuinya. Ia meminta hal tersebut ditanyakan ke Dewan Perwakilan Rakyat, yang menjadi inisiator revisi. “Tanya DPR saja. Masak, tanya aku?” katanya.
DEVY ERNIS, ROOSENO AJI NUGROHO, HUSSEIN ABRI, RAYMUNDUS RIKANG, FRISKI RIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo