Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dari Nelayan sampai Pekerja Bangunan

Banyak orang Indonesia bekerja sebagai nelayan, pekerja bangunan, dan pelayan restoran di Okinawa. Serasa di kampung sendiri.

13 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Banyak orang Indonesia bekerja di Okinawa.

  • Pertukaran kebudayaan lewat pekerjaan bahkan pernikahan.

  • Nelayan menjadi pekerjaan paling banyak orang Indonesia di Okinawa.

SUDAH dua tahun terakhir tangkapan ikan Yoji Gushiken tak memuaskan. Penghasilan nelayan Ishigaki, pulau paling selatan di Jepang, ini berkurang sejak tak lagi melaut ke perairan Senkaku. "Terlalu berbahaya memancing ke sana," kata nelayan 60 tahun ini pada awal Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak kapal-kapal pemerintah Cina masuk ke perairan ini pada 2012, secara berangsur-angsur para nelayan mengurangi kegiatan memancing ke sekitar perairan yang berbatasan dengan Laut Cina Timur yang masuk wilayah Tiongkok itu. Menurut Gushiken, kapal patroli pemerintah berukuran besar memenuhi perairan ini. Belakangan, kapal patroli Jepang juga masuk untuk menghalau mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejar-kejaran antarkapal patroli tak terhindarkan. Kementerian Pertahanan Jepang mencatat ada 36 kali insiden bentrok kapal patroli Cina dan Jepang selama 2016. Satu kali bentrok ada sekitar 100 kapal yang memenuhi laut Senkaku. Petugas patroli yang mengemudikan kapal berbobot 10 ribu ton itu berhadap-hadapan bahkan saling tabrak pada November tahun lalu.

Pemerintah Jepang mengklaim laut tersebut masuk wilayahnya. Sebaliknya, pemerintah Cina juga menyebut Senkaku masuk wilayah laut Cina dan di peta resmi mereka menamakan perairan itu Diaoyu Dao. Konflik yang tak pernah selesai sejak 1940 ini kini membara lagi karena Jepang melaporkannya ke Amerika Serikat pada 10 Februari lalu dalam pertemuan antara Perdana Menteri Shinzo Abe dan Presiden Donald Trump di Washington (baca "Bom Waktu di Laut Senkaku" di Tempo edisi 20-26 Februari 2017).

Konflik yang ditandai saling kejar kapal patroli itu menciptakan gemuruh ombak yang bisa membanting kapal-kapal kecil nelayan seperti kapal Gushiken. Ia pernah terjepit di antara pengejaran itu dan kapal kecil tersebut nyaris karam. Akhirnya, daripada jadi korban tak keruan, Gushiken mengalihkan alat pancing ke perairan yang lebih dangkal. "Kami hanya mendapatkan tuna," katanya.

Gushiken membawa dua anak buahnya memancing di perairan 30 meter. "Tuna pun cuma dapat 60 ekor selama sepekan memancing," ujar Endrik Fathoni, nelayan asal Rembang, Jawa Tengah, yang sudah tiga tahun menjadi anak buah Gushiken. Sebelum konflik memanas, kata pemuda 23 tahun ini, sekali melaut mereka mendapat 200 ikan pelbagai jenis.

Tuna tak terlalu mahal di pasar. Satu kilogram cuma 30 yen. Satu ekor tuna, kata Endrik, umumnya berbobot sekitar 30 kilogram. "Bos saya sampai bilang, 'Wah, bagaimana membayar gaji kalian kalau melaut sepi begini?'," katanya. Setiap bulan, Endrik mendapat gaji 80 ribu yen atau sekitar Rp 8 juta.

Di Ishigaki, nelayan pada umumnya berasal dari Indonesia. Mereka datang ke pulau di Pasifik ini lewat perusahaan penyalur tenaga kerja di Indonesia. Endrik, misalnya, setelah lulus dari Sekolah Menengah Kelautan Rembang dikirim ke Ishigaki karena perusahaan penyalurnya punya kontrak dengan perusahaan ikan milik Gushiken.

Di bawah Endrik, tiga adik kelasnya menyusul. Salah satunya Jejen Jenal Abdullah, yang baru satu tahun menjadi nelayan di Ishigaki. Pemuda 20 tahun asal Sumedang, Jawa Barat, ini lulus dari SMTK Mundu Cirebon dan bergabung dengan perusahaan penyalur tenaga kerja. Sama dengan Endrik, Jejen agak jarang melaut karena tangkapannya selalu sedikit.

Ia melaut tiga hari dalam sepekan. Selama tiga hari itu, ia tinggal di kapal menunggu alat pancing dengan 1.000 kail tersebut bergetar dimakan ikan di Laut Okinawa yang dingin. "Di kapal tidak ada sinyal, dan kami memasak sendiri," ujarnya. Setelah bekal habis, mereka pulang dan menjual ikan ke pasar Ishigaki.

Jika tak melaut, Jejen beristirahat di kontainer dekat pasar yang dijadikan kamar tidur para nelayan. Bosnya memberi ia sepeda untuk bepergian. "Ishigaki ini kecil, ke mana-mana bisa naik sepeda," katanya. Jika dihitung, gaji Rp 8 juta itu habis setengahnya untuk makan dan keperluan sehari-hari.

Meski lancar berbahasa Jepang, Jejen atau Endrik hanya bergaul dengan nelayan asal Indonesia. "Tak banyak juga nelayan Indonesia. Di sini kami hanya berempat," ucap Endrik. "Kalau di Okinawa lebih banyak."

OKINAWA berjarak satu jam naik pesawat. Ini pulau utama Provinsi Okinawa. Ishigaki masuk provinsi ini. Di Ibu Kota Naha, ada banyak orang Indonesia yang bekerja di pelbagai bidang: nelayan, penjaga restoran, tukang bangunan, dan lain-lain. "Karyawan yang lewat perusahaan saya saja sekitar 250 orang," kata Budi Firmansyah, manajer di Ken Churashima Jigyo Kuodo, perusahaan penyalur tenaga kerja khusus dari Indonesia.

Budi sudah 15 tahun tinggal di Okinawa. Ia beristri orang asli sana yang pernah dua setengah tahun tinggal di Bali sebagai instruktur menyelam. Anaknya dua dan diberi nama belakang yang menggabungkan Firmansyah dan marga istrinya.

Ken Churashima adalah perusahaan yang baru berdiri tiga tahun lalu. Sebelumnya, Budi juga nelayan seperti Endrik dan Jejen. Laki-laki 36 tahun asal Kuningan, Jawa Barat, lulusan sekolah menengah kelautan di Cirebon ini dipercaya mengelola perusahaan penyalur tenaga kerja yang bekerja sama dengan banyak perusahaan sejenis di Indonesia.

Sebagai orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Okinawa, Budi sangat diandalkan. Segala urusan pekerja Indonesia menjadi bagiannya. Ada saja yang berbuat onar dan kriminal. Misalnya seorang pekerja yang merampok seorang perempuan di Naha. Karena banyak kamera pengintai di sekujur kota, polisi dengan mudah membekuknya.

Budi menemaninya selama pemeriksaan oleh polisi hingga masuk penjara. Atau pekerja lain yang menyetir mobil pacarnya, perempuan Okinawa, seraya mabuk. Tak punya surat izin mengemudi dan mulut menyembur bau alkohol sehabis pesta, pekerja itu juga berurusan dengan polisi. Polisi mendapatkan nama Budi karena disebut dalam pemeriksaan. Setelah Budi memberi jaminan, pemuda itu ditangguhkan penahanannya.

Menurut Budi, orang Indonesia sebenarnya rajin bekerja dan ulet. Hanya, mereka sering membawa perilaku di Indonesia yang bandel ke Okinawa karena merasa betah. Tak seperti kota-kota di Jepang daratan, Okinawa relatif hangat dan orang-orangnya bersosialisasi seperti di Indonesia.

Kepada pekerja yang baru tiba di Okinawa, Budi mengajarkan adab dan bahasa setempat. Soalnya, ia yang menjadi andalan dan tempat mengadu para pemilik perusahaan jika para pekerja itu punya masalah. "Dari kriminal sampai urusan kehamilan," katanya, terbahak.

Sekali waktu ada nelayan Indonesia yang datang ke Budi dengan kebingungan. Pacarnya hamil. Ia tak punya ongkos untuk persalinan. Di Jepang, meski dianjurkan punya anak dan ada santunan sosial, agak ribet mengurus segala persalinannya. Apalagi jika penghasilan ayah dan ibunya tak cukup.

Pemerintah Jepang akan menanggung hidup anak itu 80 ribu yen sebulan jika rumah sakit menyatakan bahwa ia akan dibesarkan oleh orang tua tunggal. Budi menyarankan persalinan jalan terus dan pasangan ini tak perlu tinggal bersama sampai pemuda Indonesia itu punya pekerjaan yang lebih menjanjikan untuk hidup sekeluarga. "Ada-ada saja masalahnya," ujar Budi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus