Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
BELUM juga setengah jam berada di dalam pesawat Italian Airways pada Senin, 2 September 2024, saya empat kali bolak-balik ke toilet. Bukan karena embusan angin dari penyejuk udara pesawat, melainkan karena saya grogi banget. Sepanjang hidup, baru kali ini saya mengikuti kunjungan Paus dan akan bertemu langsung dengan Paus Fransiskus, pemimpin 1,2 miliar umat Katolik sedunia.
Saat itu akhirnya tiba. Setengah jam setelah pesawat lepas landas dari Roma menuju Jakarta, Paus Fransiskus keluar dari kelas bisnis untuk menemui 80 wartawan yang berada di bagian tengah dan belakang. Tanpa tongkat di tangannya, ia menyusuri lorong pesawat dari depan hingga ke belakang. Kamera yang digunakan jurnalis televisi maupun telepon seluler wartawan terus menyoroti tindak tanduknya.
Fransiskus, yang mengenakan jubah putih, menyampaikan ucapan selamat datang dalam bahasa Italia. Jorge Mario Bergoglio—nama asli paus asal Argentina itu—juga mengucapkan terima kasih karena para wartawan dari berbagai negara ikut mendukung perjalanan apostolik atau perjalanan kerasulannya. Lalu beliau mulai menyalami satu per satu jurnalis.
Mulut saya tak berhenti komat-kamit. Saya sudah menghafal kalimat dan pertanyaan yang akan saya sampaikan kepada Paus Fransiskus. Satu di antaranya bagaimana ia menilai kondisi demokrasi di Indonesia. Dalam Kongres Gereja Katolik di Roma, awal Juli 2024, Paus Fransiskus menyoroti kondisi demokrasi di dunia yang tak baik-baik saja.
Malam sebelumnya, saya sudah menyiapkan kalimat pembuka jika jadi bersemuka dengan Paus. “Viva il Papa”, yang berarti panjang umur Paus. Namun semua kalimat yang sudah saya rancang dengan sebaik-baiknya tiba-tiba lenyap tak berbekas saat Fransiskus berdiri di depan saya dan menggamit tangan saya. Blank!
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo