Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Eko Maryadi mengatakan pembukaan posko PKBI secara simbolik merupakan bentuk keteguhan PKBI untuk tetap bertahan di kantornya yang telah diambil alih oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). “Jadi, ini adalah simbol bahwa kami masih mau bertahan di sini dan sekaligus juga memberikan informasi dan layanan, terutama surat menyurat kan tetap datang ke sini,” ujar Eko saat ditemui Tempo di depan kantor PKBI yang sudah disegel oleh Kemenkes, Rabu, 17 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko mengatakan PKBI tidak rela kantornya diambil alih begitu saja oleh Kemenkes. Ia merasa Kemenkes mengambil alih kantor PKBI secara cuma-cuma tanpa memberikan ganti rugi. Ia menilai pengambilalihan lahan kantor dan training center PKBI secara paksa oleh Kemenkes mengabaikan kemandirian yang sudah dilakukan PKBI selama 55 tahun berdiri menjadi Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami tidak rela. Kami sudah 55 tahun membangun gedung pakai uang sendiri. Kami beroperasi selama ini, bayar listrik, bayar pajak, bayar air, segala macamnya,” ujar Eko. PKBI merasa Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala DKI Jakarta No.Ad.7/2/34/70 menjadi dasar LSM itu mempertahankan kantornya di Jalan Hang Jebat III, Jakarta Selatan.
Kemenkes berdalih mengambil alih kantor PKBI berdasarkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 374 Tahun 1999 yang dimilikinya. Eko mengatakan pada 1996, PKBI sudah pernah mengajukan SHP kantor PKBI tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun SHP yang diajukan PKBI tersebut tidak pernah dikeluarkan.
Belakangan PKBI baru tahu pada 2017 bahwa SHP tersebut keluar atas nama Kemenkes. PKBI mengetahui karena pada 2017, Kemenkes sudah mencoba mengambil alih paksa kantor tersebut.
Sejak mengetahui SHP dimiliki oleh Kemenkes, PKBI melakukan gugatan secara perdata SHP Nomor 374 Tahun 1999 tersebut ke pengadilan negeri. Namun gugatan tersebut ditolak. Kemudian PKBI mengajukan banding terhadap putusan pengadilan negeri karena menilai adanya kekhilafan hakim saat memberikan putusan. PKBI menilai hakim menggunakan peraturan yang berlaku saat ini untuk menjadi dasar pertimbangan hukum terhadap peristiwa masa lalu. Namun upaya banding tersebut ditolak.
Tak berhenti di situ, PKBI juga mengajukan kasasi ke Mahkaham Agung (MA). Namun kasasi tersebut kembali ditolak. Eko menilai penolakan tersebut karena pengadilan hanya memeriksa syarat formal.
“Analoginya, ada orang terlibat kecelakaan, yang punya SIM pasti dimenangin walaupun dia bersalah. Dan yang tidak punya SIM, pasti dipersoalkan,” ujar Eko.
Maulani Mulianingsih