Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PLN masih belum memberi kepastian apakah ada pembatalan denda atau keringanan seperti yang diharapkan seorang pelanggannya di Cengkareng, Jakarta Barat. Hingga Selasa, 31 Oktober 2023, PLN hanya memberi intruksi kepadanya untuk menunggu perihal denda sebesar Rp 33 juta tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Barusan saya follow-up, pihak PLN bilang bahwa Jumat (nanti) kami diundang bertemu Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK)” kata SL, warga pelanggan itu, lewat pesan yang dikirimnya kepada TEMPO, Selasa 31 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, PLN tak menjelaskan lebih lanjut sehubungan dengan detail waktu dan lokasi pertemuan. Meski begitu dia berharap akan ada kelanjutan pasti nanti. “Kepada PLN dan DJK agar ada kelanjutan atas ajuan keberatan kembali dari kami,” kata dia.
Sebelumnya, SL dituduh melakukan pelanggaran kWh meter karena ditemukan kelainan antara tahun produksi pada 2016 dengan segel yang terpasang menunjuk tahun 2008. Selain itu, ditemukan baut tutup yang tidak lengkap. Ditemukan juga bekas solder ulang yang tidak sesuai dengan pabrikan.
Vonis adanya otak-atik kWh meter yang mempengaruhi pengukuran energi milik PLN dan kena denda sebesar Rp 33 juta diberikan Agustus lalu. Berdasarkan surat pengakuan utang yang diterima SL, pihaknya harus membayar angsuran selama 12 bulan. Mulai dari Agustus 2023 hingga Agustus 2024 di mana ia harus membayar sebesar Rp 1.922.527 per bulannya.
Ada lagi biaya Tagihan Susulan (TS) P2TL sebesar Rp 9.693.219. Kemudian, dilanjut pada angsuran uang jaminan langganan dari September 2023 hingga Agustus 2024. Tiap bulannya, SL disuruh mengangsur sebesar Rp 12.833. Belum dengan biaya material, biaya segel, serta biaya pajak penerangan jalan.
Seperti telah diberitakan, denda PLN Rp 33 juta adalah yang kedua yang pernah diterima SL dan keluarganya. Pada 2016 lalu, mereka didenda sebesar Rp 17 juta atas tuduhan yang sama, cacat fisik kWh Meter yang mereka mengaku tak tahu sebabnya.
Denda terbaru terbit justru setelah SL dan keluarganya berusaha menghindari tuduhan yang menyebabkan denda pertama. Mereka mengganti kWh Meter model piringan ke digital dengan meminta bantuan petugas PLN yang biasa berkeliling di lingkungan perumahannya tak lama setelah membayar denda yang pertama.
Sejak itu hingga tujuh tahun berjalan, jumlah tagihan tak berkurang setiap bulannya dan dibayarkan sesuai pemakaian. "Kalau misalnya pun katakan, yang bersalah adalah oknum, saya rasa tidak adil kalau misalnya pelanggan yang harus menanggung beban,” ujar SL dalam keterangan sebelumnya.
Pilihan Editor: Kaki Bocah di Bekasi Diamputasi, Korban Perundungan di Sekolah?