Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak-anak muda yang tengah kongko menikmati malam di halaman Studio Airin, Jalan Sholeh Iskandar, Bogor, itu mengaku sebagai punkers. Tapi kami tak melihat rambut Mohawk ala suku Indian, celana ketat, sepatu bot, dan aneka aksesori, seperti rantai, peniti, silet, serta benda tajam lainnya, pada diri mereka. Mereka bahkan bisa dikatakan necis. Cukuran mereka bersih, pakaiannya cukup wajar. Padahal nama komunitas tempat mereka bergabung cukup sangar: Raincity Hardcore Punk. "Kami memiliki ideologi sendiri," kata Bobby Kusuma, salah satu dari mereka, Jumat dua pekan lalu.
Menurut Bobby, yang juga Asisten Manajer Divisi Pengembangan Bisnis PT Wijaya Karya Tbk, dia dan teman-temannya yang merupakan bagian dari komunitas Raincity Hardcore Punk memilih menjadi straightedge-er. Ini sebutan untuk anak-anak punk yang menjadikan straight edge-gaya hidup tanpa alkohol dan obat terlarang-sebagai ideologinya. Paham ini adalah subkultur tandingan dari anak-anak punk yang kerap dicap dekat dengan minuman keras dan narkoba. Mereka juga tidak merokok.
Straight edge diambil dari judul lagu band hardcore awal 1980-an asal Washington, Amerika Serikat, Minor Threat. Saat itu sang vokalis, Ian Thomas Garner MacKaye, mengkritik pedas punker yang doyan mengisap kokain lewat syair-syair lagunya. Salah satunya berbunyi begini: "I'm a person just like you, but I've got better things to do than sit around and smoke dope."
Gerakan straight edge ala MacKaye kemudian mendunia. Pada pertengahan 1980-an, straight edge berkembang menjadi isu vegetarianisme dan hak binatang, yang diusung oleh dua band punk Gorilla Biscuits dan Youth of Today. Saat itu Ray Cappo, vokalis Youth of Today, mengajak pengikut straight edge tidak makan daging lewat lirik lagu-lagunya. Perkembangan isu vegetarianisme kian tajam pada 1990-an dan memunculkan gerakan straight edge militan, yang dikenal dengan nama hardline.
Menurut vokalis band punk Take One Step, Ricky Joney, pada 1990-an nilai-nilai straight edge berpengaruh terhadap pemusik dan pencinta hardcore punk di Bogor. Tapi saat itu belum ada dari mereka yang mendeklarasikan diri sebagai straightedge-er. Para penganutnya baru sebatas kumpul bareng di depan Rumah Sakit Salak di Jalan Jenderal Sudirman dan di samping Matahari Department Store Bogor, sambil mendiskusikan musik.
Ricky menyatakan, dari diskusi dan bertukar fanzine-semacam majalah dari fans musik tertentu-banyak dari mereka yang kemudian terilhami paham itu. Yang dulunya suka mabuk, merokok, dan dekat dengan narkoba, berubah total menjadi seorang straightedge-er.
Pada sekitar tahun 2000, mereka akhirnya berkomitmen mendirikan straightedge-er Bogor. Selayaknya paham punk yang anarkistik, tidak ada pemimpin dan hierarki di dalam organisasi ini. Saat itu ada belasan orang yang ikut mendeklarasikannya. "Saya ikut straightedge-er dan memutuskan menjadi vegetarian," kata Ricky, 28 tahun, yang juga berprofesi sebagai barista.
Untuk mempertajam pesan, beberapa dari mereka membentuk band. Sampai saat ini sudah ada tiga band hardcore punk di Bogor yang mengusung gaya hidup straight edge. Selain Take One Step, ada grup musik Tepi Lurus dan Goodwill. Saat manggung, biasanya mereka memasang spanduk bertulisan "No smoking inside the venue". "Tidak ada penonton merokok. Kalaupun ada pasti diusir," ujar Bobby (drummer Take One Step), yang bersama grupnya akan tur ke Singapura dan Malaysia tahun ini.
Ciri lain dari band ini adalah logo X. Menurut Bobby, logo X merupakan simbol yang paling dikenal dari straight edge. Tanda itu biasanya terdapat di punggung kedua tangan. Tapi bisa juga ditampilkan pada bagian tubuh lainnya. Beberapa penganut straight edge di Bogor memakai simbol itu dalam pakaian, topi, atau pin.
Sejarah logo X berawal dari penampilan Teen Idles, band milik MacKaye sebelum Minor Threat, di U.S. West Coast Tour pada 1980. Personel Teen Idles, yang kala itu masih di bawah umur, ditolak masuk ke klub Mabuhay Gardens di San Francisco. Sebagai kompromi, manajemen menandai tiap kedua tangan personel band dengan logo hitam besar "X", sebagai peringatan kepada semua anggota staf klub agar tidak memberikan alkohol kepada mereka. Dalam perkembangannya, logo X diasosiasikan dengan gaya hidup straight edge.
Bobby menjelaskan, sebetulnya ada simbol lain yang mewakili seorang straightedge-er. Simbol itu bisa dilihat dari cara mereka berpakaian. Biasanya mereka hanya memakai kaus, celana pendek, dan sepatu bermerek Vans, tanpa embel-embel atribut punk lain. Filosofinya, kaus adalah media yang paling mudah dibuat, dicari, dan dimengerti. Sepatu Vans dan celana pendek adalah simbol perlawanan anak muda terhadap formalitas generasi tua.
Sangat menarik, tentu saja. Komunitas punk yang juga cukup unik adalah Punk Muslim di Pulogadung, Jakarta Timur. Komunitas yang berdiri pada 2007 ini adalah rintisan dari Badan Anak Jalanan Indonesia (Bajai) dan Persaudaraan Anak Jalanan Indonesia (Panji), yang sudah berdiri sebelumnya. Isinya adalah kumpulan anak punk jalanan (street punk) yang biasa mengamen, malak, mabuk, dan tidur di Terminal Pulogadung. Mereka memilih jalan punk karena impitan ekonomi.
Malam Jumat akhir bulan lalu, Tempo berkunjung ke markas komunitas ini di Jalan Swadaya, Kampung Warung Jengkol, Cakung, Jakarta Timur. Malam itu mereka tengah menggelar pengajian, yang diikuti delapan orang. Mereka tampak tampil beda dari jemaah pengajian umumnya. Mereka memakai celana jins dan kaus lusuh, tapi mereka tetap menutup aurat. Bahkan ada yang memakai sarung dan kopiah, meski badan penuh tato dan tindikan serta rambut model skin.
Ahmad Zaki, yang mengisi pengajian, menuturkan mereka menggelar pengajian rutin tiap malam Selasa dan malam Jumat di rumah kontrakan itu. Rumah kontrakan tersebut berada di lingkungan permukiman padat penduduk, yang hampir semua model rumah di samping kanan-kirinya sama. Barang-barang di dalam tempat mengaji itu cuma karpet dan meja panjang yang di atasnya terdapat buku-buku islami.
Sebenarnya Punk Muslim adalah nama sebuah kelompok musik yang dibentuk Budi Khaironi (almarhum), yang juga Ketua Panji dan Bajai. Budi, yang menjadi vokalis Punk Muslim, sempat mondok di sebuah pesantren. Ia kemudian membentuk Nasyid Underground, cikal-bakal dari Punk Muslim, yang menelurkan satu album berjudul Soul Revolution. Budi dan teman-temannya tidak membawakan musik punk yang menyuarakan kebebasan ekstrem, melainkan lebih kepada siar Islam.
Setelah Budi meninggal karena kecelakaan motor, estafet dakwah diserahkan kepada Zaki. Ia mendeklarasikan lagi Punk Muslim pada 2009. Di bawah kepemimpinannya, anggota aktif Punk Muslim bertambah hingga mencapai 50 orang, termasuk 20 orang di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia kemudian membentuk Punk Muslim Army pada awal tahun ini. Tim itu dibentuk untuk garda depan kegiatan sosial Punk Muslim jika terjadi bencana.
Selain rutin mengadakan pengajian dan berkesenian, Zaki melatih anak-anak punk di komunitas berbisnis. Mereka kini membuka warung yang menjual beragam makanan dan minuman ringan, yang diberi nama Warpunk. Juga kios yang menjual pulsa bernama Punkcell. "Kami menanamkan prinsip muda kaya raya, tua bahagia, dan mati masuk surga," katanya.
Dalam kegiatannya, Zaki menambahkan, semua ongkos dibiayai mereka sendiri secara kolektif. Ia membantah anggapan bahwa komunitasnya dibiayai pihak tertentu untuk tujuan tertentu juga. "Punk Muslim itu kaya. Dari mengamen saja, satu orang bisa mendapat Rp 200 ribu per hari. Kerjanya dari subuh sampai sore di terminal," ujarnya. Itu belum ditambah dari keuntungan berbisnis warung dan pulsa. Ia mengatakan kemandirian ini bagian dari semangat "do it yourself" di dalam punk.
Heru Triyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo