Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ritual-ritual Kuno Penolak Wabah

JAUH sebelum pandemi Covid-19 mengoyak bumi, berbagai daerah di Nusantara sudah beberapa kali berhadapan dengan pagebluk yang memakan korban jiwa. Kondisi itu memunculkan beragam kearifan lokal yang bertaut erat dengan tradisi untuk mencegah ataupun melawan wabah. Ritual itu tak hanya berupa perapalan mantra dan doa, tapi juga tari-tarian, syair, serta upacara tradisional yang sebagian di antaranya masih dilestarikan sampai sekarang. Di Bali, misalnya, dikenal tari sakral sanghyang yang memadukan gerak tari dan trans, juga kidung, yang dilakukan untuk mengenyahkan bala dan memohon perlindungan dewata.

Ada pula metode penyembuhan dan ramuan tradisional yang dipercaya berkhasiat mengobati penyakit dari masa ke masa. Bermacam ritual itu termaktub dalam buku Menolak Wabah yang dirilis Penerbit Ombak bekerja sama dengan Borobudur Writers & Cultural Festival Society, akhir tahun lalu. Buku yang terbagi menjadi dua jilid itu memuat puluhan karya tulis yang menggali kearifan lokal penolak wabah, dari relief, manuskrip, sejarah rempah, hingga ritual budaya.

20 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA bocah perempuan itu menari dengan padu pada suatu petang di sebuah pura di Karangasem, Bali. Kedua mata mereka terpejam, larut dalam kidung yang dinyanyikan belasan perempuan paruh baya yang duduk di belakang. Cengkok suara para penyanyi itu membuat syair terdengar liris. Belasan menit kemudian, kedua penari mungil itu limbung. Tubuh mereka rebah. Dua penyanyi lantas membopong dan memangku satu-satu bocah yang sedang dalam keadaan trans itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak lama berselang, datang seorang tokoh adat membawa cawan berisi air yang sudah ia bubuhi dengan doa-doa. Air itu lalu dicipratkan ke wajah kedua penari, membangunkan mereka dari kondisi trans. Aksi itu bagian dari ritual sanghyang, tari sakral yang hingga kini masih langgeng di Bali. “Tarian ini masih rutin dipentaskan karena dipercaya dapat mengusir anasir-anasir jahat, termasuk wabah penyakit,” kata seniman dan budayawan I Made Bandem saat dihubungi, Rabu, 17 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bandem menjelaskan, sanghyang adalah ritual kuno yang sakral dan tergolong tari wali atau upacara. Biasanya tari ini diperagakan di tempat sakral, seperti pura, pada waktu-waktu yang dikeramatkan. Penari sanghyang umumnya dua perempuan yang belum dewasa dikelilingi sepuluh penembang dan ratusan penari kecak. Dua penari yang terpilih biasanya putri pemuka adat, bisa juga orang yang namanya muncul melalui medium trans. Sebelum menari, para penari menjalani ritual penyucian diri yang bertujuan menarik roh baik ke tubuh mereka.

Tari sanghyang, yang berakar dari kehidupan pra-Hindu, terdiri atas 20 jenis, di antaranya dedari, bojog, deling, jaran, janger, dan penyalin, yang dibedakan berdasarkan gerakan dan laku ritual. Penari sanghyang bojog di Desa Pakraman Bugbug, Kabupaten Karangasem, misalnya, bertingkah seperti kera saat dalam kondisi trans. Kostum yang dikenakan penari juga dirancang menyerupai hewan itu.

Sampul buku Menolak Wabah (Suara-Suara dari Manuskrip, Relief, Khazanah Rempah dan Ritual Nusantara

Lain halnya dengan penari sanghyang deling, yang saat berlenggak-lenggok membawa deling atau boneka dari daun lontar yang terpacak pada sepotong bambu. Adapun penari sanghyang jaran mengendarai kuda-kudaan dari pelepah kelapa. Saat kerawuhan, penari sanghyang jaran yang memejamkan mata biasanya menginjak bara api dari batok kelapa yang terhampar di dekatnya. Kerawuhan atau kesurupan merupakan salah satu elemen tari sanghyang. “Unsur trance ini menjadi medium antara manusia dan kekuatan dewata dalam mengusir malapetaka atau pandemi. Tak jarang setelah trance si penari bisa mengungkap tanaman obat yang bisa menyembuhkan penyakit,” ujar Bandem.

Bandem menyebut ritual tari itu sebagai bagian dari upaya meruwat bumi untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Akhir tahun lalu, di Pura Besakih, Bali, digelar ritual ruwatan bumi dengan memanjatkan doa. Tradisi yang melibatkan 118 pendeta itu berlangsung secara daring akibat pandemi Covid-19. “Saya ikut serta, walau hanya lewat aplikasi Zoom,” tuturnya.

•••

SANGHYANG hanyalah salah satu ritual kuno yang bisa kita jumpai dalam dua jilid buku Menolak Wabah. Buku ini dirilis akhir tahun lalu oleh Penerbit Ombak bekerja sama dengan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) Society. Setebal hampir 2.000 halaman, buku Menolak Wabah berisi puluhan esai yang dikirim untuk pergelaran tahunan BWCF pada 19-29 November 2020. Menilik materi karya tulis di dalamnya, Menolak Wabah ibarat kitab kekayaan tradisi Nusantara dalam melawan malapetaka.

Buku itu menarik lantaran negeri ini punya sejarah panjang dengan pagebluk, sejak zaman sebelum Masehi hingga sekarang saat pandemi Covid masih mendera. Ritual, baik yang terangkum dalam manuskrip, relief, atau tari maupun berupa tanaman obat, menjadi bagian dari siasat dan mitigasi masyarakat tradisional dalam bertahan hidup dan menolak bala. Buku ini juga menjadi pencatat atas wabah yang pernah terjadi di Nusantara, baik yang tertulis dalam kitab-kitab kuno maupun sebatas bercokol dalam sejarah lisan.

Misalnya dalam karya tulis Profesor Agus Aris Munandar dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang berjudul “Pancagati: Tinjauan Budaya Perihal Sakit dan Penyakit dalam Uraian Karya Sastra Sunda Kuno”. Dalam halaman 42 buku Menolak Wabah jilid I, Agus menjelaskan naskah kuno Babad Pajajaran. Dalam naskah itu tercantum soal wabah yang melesak ke tengah warga Kerajaan Mendang Agung Galuh atau Bojong Galuh.

Halaman dari Babad Pajajaran. library.lontar.org

Tak hanya mencatat ihwal wabah yang mencabut nyawa banyak warga, Babad Pajajaran juga memuat anjuran dari seorang pendeta agar terhindar dari penyakit, antara lain dengan menyemburkan kunyahan sirih pinang serta menanam sirih. Sedangkan dalam naskah Serat Dewabuda termaktub soal penyakit yang dapat menyebar melalui udara. Penyakit itu bisa menghinggapi manusia melalui keringat, ludah, liur, dan sebagainya. Bila disandingkan dengan konteks pada masa sekarang, isi naskah tersebut menarik karena virus corona juga menular melalui droplet.

Dalam tulisannya, Agus juga menguraikan upaya mitigasi di Kerajaan Sunda pada masa lampau. Salah satunya mengenai kebersihan lingkungan, yang disebut naskah-naskah Sunda sebagai sumber kesejahteraan dunia. Anjuran itu kemudian melekat dalam keseharian warga menjadi aturan tabu atau pamali.

Hal berbeda didapati di Banten pada abad ke-17 dan ke-18, seperti dicatat dokter berkebangsaan Denmark, J.P. Cortemunde, yang menghadap Sultan Ageng Tirtayasa pada 1673. Walau tak menemukan riwayat wabah di sana, ia mendapat temuan menarik tentang bangunan klenteng yang berlokasi sekitar 50 meter dari Masjid Agung Banten. Seabad setelah kunjungan Cortemunde, Banten dipimpin Sultan Abdul Mafakir Muhammad Aliudin. Klenteng bernama Betek Ie, yang berarti sejuta kebajikan, itu dipindahkan ke Desa Pamarican setelah pihak klenteng dihadiahi sepetak lahan oleh Sultan.

Adegan Layonsari didatangi Arwah Jayaprana dalam pementasan drama klasik Jayaprana-Layonsari oleh Sanggar Kampung Seni, Banyuning Singaraja-Bali, di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), November 2001. Dok.TEMPO/Bodi CH

Ternyata tanah itu diberikan sebagai bentuk terima kasih Istana atas jasa orang Cina di sana yang turut melakukan ritual keagamaan saat terjadi wabah penyakit pada 1772-1773. Orang Cina di Banten waktu itu menggelar ritual tolak bala dengan mengarak patung Dewi Kwan Im berkeliling kampung. Setelah upaya spiritual itu dilakukan, wabah yang menewaskan banyak penduduk tersebut lenyap.

Selain berasal dari peninggalan bangunan bersejarah, catatan tentang wabah ditemukan dalam manuskrip kuno. Di Bali, terdapat naskah Jayaprana dan Layonsari dalam lontar yang diperkirakan ditulis pada 1723. Lontar itu menjadi koleksi Gedong Kirtya dengan kode nomor IV/202/3 milik I Dewa Nyoman Sukahet dari Tabanan. Dalam kisah Jayaprana dan Layonsari disebutkan Kerajaan Kalianget terkena gerubug atau wabah yang menewaskan banyak orang, termasuk keluarga I Nyoman Jayaprana.

Singkat cerita, Jayaprana yang sebatang kara kemudian dibawa dan dibesarkan di puri oleh Raja Kalianget. Saat dewasa, Jayaprana menikahi Ni Nyoman Layonsari, perempuan yang juga ditaksir oleh Raja. Demi mendapatkan Layonsari, Raja membuat tipu daya yang akhirnya menewaskan Jayaprana. Mengetahui suaminya tiada, Layonsari memilih bunuh diri sebagai tanda kesetiaannya. Sampai saat ini, Pura Anyar di Kalianget dipercaya masyarakat sebagai pura Jayaprana dan Layonsari. Namun, menurut peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, dalam Penyakit dan Pengobatan pada Masyarakat Jawa Kuno (Abad VIII-XV), data tekstual lain, baik pada prasasti maupun naskah, tidak memuat informasi mengenai adanya wabah.

Pendekatan spiritual tak bisa dilepaskan dari mitigasi wabah di Nusantara. Filolog naskah lontar Bali dan Jawa Kuno, Sugi Lanus, mengatakan protokol penanganan wabah sudah dikenal sejak zaman dulu. Ketika terjadi wabah, petugas pemerintah mengundang mpu, bendesa, balian usada, dan pandita menghadiri rapat terbatas. Mereka merumuskan pararem atau pacingkreman sebagai protokol penanganan wabah. Isinya berupa pembatasan upacara, pengobatan, karantina, penguburan, dan upacara penyucian. “Itu tertulis dalam lontar jenis usada dan widi sastra,” ucap Sugi saat dihubungi, Kamis, 18 Februari lalu.

Lontar usada yang memuat protokol karantina dan pengendalian wabah antara lain Anda Kacacar, Usada Gede, Usada Ila, dan Usada Cukil Daki. Adapun ihwal penanganan wabah termaktub dalam widi sastra Swamandala dan Roga Sanghara Gumi. Desa Bugbug di Karangasem, misalnya, memiliki lontar Anda Kacacar. “Di situ disebutkan pembatasan untuk tidak menyelenggarakan salwirning walikrama atau perayaan pura,” ujar Sugi.

Untuk karantina dan isolasi penderita penyakit pada masa lalu, disiapkan pondok sederhana di pantai atau lokasi lain yang jauh dari permukiman. Penderita penyakit menular juga dipersilakan mengungsi dulu jauh dari desa, berpisah dari keluarganya, sampai sembuh. “Cerita lisan tentang karantina di masa lalu sama dengan isi lontar ini. Penderita dikucilkan dulu karena, jika tidak, dewa dikhawatirkan tidak mau mendatangi desa tersebut,” kata Sugi.

Masyarakat adat Lewotala, suku Lamaholot, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, juga melestarikan kearifan lokal terkait dengan wabah dari nenek moyangnya. Ritual itu disebut toben nara, yang dihelat khusus untuk menyingkirkan pagebluk. Masyarakat adat berinisiatif menggelar toben nara pada 28 Maret 2020 untuk melawan pandemi Covid-19, setelah ritual serupa diadakan pada 1959 dan 1912 karena terjadi wabah kolera. Toben berarti bangun, sementara nara bermakna sekutu.

Dalam esainya di buku Menolak Wabah yang berjudul “Toben Nara, Ritus Perlindungan dan Pemulihan Masyarakat Adat Lewotala Suku Lamaholot Flores Timur NTT”, Silvester Petara Hurit menyebutkan dampak ritual tersebut terasa pada 1959 dan 1912. Sebab, ketika itu masyarakat setempat terlindungi dari wabah mematikan. Pun setelah ritual dilakukan pada Maret 2020, belum ada warga di sana yang teridentifikasi positif Covid-19.

Silvester mengatakan toben nara dilakukan di sebuah tempat keramat di tengah kampung yang disebut nara ono. Di tempat itu, terdapat satu batu keramat yang disebut-sebut dapat menghubungkan dewa pelindung kampung yang berdiam di langit. Menurut Silvester, dalam situasi genting dan sulit atau kepanikan besar seperti di tengah wabah saat ini, warga—kaum prianya—mengadakan ritual toben nara di nara ono. Pelaku utamanya tetua di sana, dari Klen Koten, Kelen, dan Hurit. Tetua Klen Hurit memegang peran penting karena ialah yang mendaraskan mantra.

Sebelum ritual berlangsung, warga diberi tahu dulu karena biasanya dilakukan karantina desa selama empat hari tiga malam. Toben nara dimulai dengan membunuh seekor ayam dan babi sebagai hewan kurban. Ayam dikirim ke Koto Nama Kari Sao di langit, sementara babi dipersembahkan kepada roh gaib penjaga kampung. Selanjutnya, sejumlah tahap ritus dilakukan, termasuk pendarasan mantra yang dilanjutkan dengan pembunuhan hewan kurban. Rangkaian ini ditutup dengan acara makan bersama daging kurban yang dimasak para pria di area ritual.

Ritual nyapet suku Dayak Benawan di Kalimantan juga mensyaratkan masyarakat setempat menjalani karantina, tak boleh keluar-masuk kampung, selama tiga hari tiga malam. Nyapet adalah bentuk berserah diri sebagai respons atas sikap cemas dan takut, sebagaimana ditulis mahasiswa doktoral Universitas Padjadjaran, Nikodemus Niko, dalam “Ritual Nyapet pada Suku Dayak Benawan sebagai Respons terhadap Wabah”. Dalam nyapet, warga kampung menjalankan pantangan serta harus mengkondisikan suasana hening dan tenang. Ritual ini juga dilengkapi sesajen dan terbagi menjadi dua ritus, yakni yang dipraktikkan secara individual dan komunal.

Dua orang umat Hindu Bali yang kerasukan saat mementaskan tarian Sanghyang Jaran di Pura Dalem Kedewatan, Sanur, Bali, Mei 2017. TEMPO/Johannes P. Christo

Ritual adat penolak bala warisan nenek moyang juga masih digelar masyarakat adat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan sebutan upacara metulak. “Namun dalam praktiknya kini ada akulturasi budaya yang islami,” tutur Farida Jaeka dari Universitas Qamarul Huda Badaruddin, Lombok Tengah, NTB. Dalam esai “Ritual Tolak Bala’ dalam Penanggulangan Edeh (Campak) pada Masyarakat Sasak Lombok” di buku Menolak Wabah, Farida dan Lalu Sulaiman menyebutkan metulak pada masa pra-Islam dilakukan dengan membaca mantra. Adapun saat ini upacara itu diisi dengan kegiatan barzanji atau pembacaan syair pujian kepada Nabi Muhammad SAW.

Menurut Farida, dulu, sebelum wabah edeh atau campak merebak, biasanya dukun atau balian sudah mendapat wangsit alias bisikan lewat mimpi. Berdasarkan wangsit itu, ia bermusyawarah dengan tokoh adat dan masyarakat untuk bergotong-royong mempersiapkan ritual tolak balaq. Setelah itu, mereka memasang sawiq atau tanda dari janur yang dibuat melingkar. Sawiq itu juga dilindungi oleh mantra dari balian. “Biasanya, setelah sawiq dipasang, masyarakat lebih tenang karena merasa kampung mereka sudah terlindungi.”

ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus