Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menunggu Festival Istiqlal (Lagi)

Sebagai masjid negara, Masjid Istiqlal juga memiliki visi menjadi pusat kebudayaan Islam dan ruang toleransi. Pernah digelar Festival Istiqlal yang menampilkan beragam bentuk kesenian. Festival itu dihadiri jutaan orang.

22 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK kurang dari 7 juta orang menghadiri Festival Istiqlal pertama, tiga dekade silam. Pergelaran ini tercatat sebagai festival seni rupa modern bernapaskan Islam pertama di Indonesia. Jurnal Arts & Islamic World menyebut festival yang berlangsung sepanjang 15 Oktober-15 November 1991 itu sebagai pameran yang menunjukkan semangat Islam dalam beragam bentuk tradisi Indonesia. Jurnal ini juga menyatakan bahwa jumlah pengunjung festival tersebut memecahkan rekor semua festival yang pernah digelar di negeri ini. Pengunjung datang dari negara-negara Asia Tenggara hingga Cina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat tahun berikutnya, festival itu kembali digelar. Dikomandoi Menteri Keuangan saat itu, Mar’ie Muhammad, Festival Istiqlal bahkan menjadi lebih besar. Jumlah pengunjungnya tercatat sebanyak 11 juta. Karya seni yang dipamerkan makin beragam tema dan mediumnya. Dua rangkaian Festival Istiqlal ini pun menjadi kajian sejumlah peneliti sejarah dan seni rupa karena merupakan titik penting dalam perkembangan seni rupa Islam kita. Hingga kini, belum ada perhelatan serupa yang dapat menandingi dampak kedua festival tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu yang mengkaji Festival Istiqlal secara dalam adalah Zaenudin Ramli lewat tesis masternya untuk program Seni Rupa di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 2007, yang berjudul “Identifikasi pada Pameran Seni Rupa Modern Indonesia Bernafaskan Islam Festival Istiqlal I 1991 & II 1995”. Dalam simpulannya, peneliti menulis festival itu telah memberikan kesadaran sejarah yang merefleksikan bahwa modernitas dan kebaruan tidaklah dilarang dalam Islam, justru dibutuhkan untuk perubahan yang lebih baik. “Siapa yang bisa menduga bahwa bentuk kesenian seperti instalasi dan performance art pun kemudian muncul dalam bentuk ekspresi seni Islam,” tulisnya.

Pameran lukisan di Festival Istiqlal, Jakarta, 1991. Dok.TEMPO/Rully Kesuma

Ide Festival Istiqlal telah dicetuskan sejak 15 tahun sebelumnya, bahkan sebelum masjid itu selesai dibangun. Penggagasnya antara lain Kepala Rumah Tangga Istana Presiden yang kemudian menjadi Menteri Pariwisata era Soeharto, Joop Ave, dan seniman kaligrafi A.D. Pirous. Awalnya festival ini dimaksudkan sebagai perayaan tanda rampungnya Masjid Istiqlal. Namun baru pada 1991 ide ini dapat terwujud, menghabiskan anggaran sekitar Rp 4 miliar. Pelaksananya dikenal dengan sebutan tim 7 Bandung, diketuai oleh Pirous.

Pergelaran pertama diisi dengan kegiatan seperti penulisan mushaf Quran; seni membaca Quran; forum ilmiah; pameran seni rupa; pertunjukan musik, tari, dan teater; pemutaran film; pameran kuliner; hingga pameran arsitektur. Salah satu film yang masuk senarai putar adalah Tjoet Nja’ Dhien, yang dirilis tiga tahun sebelumnya dan meraih Piala Citra untuk film terbaik 1988. Adapun pameran seni rupa juga tak terbatas pada bentuk karya yang identik dengan Islam, seperti kaligrafi.

Sebanyak 140 seniman yang turut serta dalam pameran itu mengusung gaya berbeda. Mereka juga berasal dari berbagai “mazhab”, seperti dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Institut Kesenian Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, serta universitas lain dari Surabaya, Padang, hingga Rotterdam (Belanda) dan Paris (Prancis). Para seniman itu di antaranya A.D. Pirous, Erna Pirous, Srihadi Soedarsono, Farida Srihadi, Popo Iskandar, Widayat, dan Sunaryo.

Artikel berjudul “Seni Lukis Modern Bernafaskan Islam di Bandung 1970-2000an yang dimuat oleh Jurnal Panggung edisi pertama 2020 menjelaskan bahwa seni lukis bernapaskan Islam yang muncul dalam festival ini dikelompokkan menjadi tiga kecenderungan tematik. Lukisan kaligrafi Arab tentu menjadi bentuk paling umum. Namun, selain itu, ada kategori representasional yang berarti lukisan yang menampakkan wujud nyata alam dan makhluk hidup di dalamnya. Misalnya lukisan Barli Sasmitawinata pada festival 1991 berjudul Membaca Alqur’an. Lukisan cat minyak berukuran 145 x 125 sentimeter itu memperlihatkan tiga sosok perempuan berkerudung putih duduk bersisian sambil membaca Quran atau memegang tasbih. Barli kembali menampilkan sosok perempuan berbusana muslim putih dalam lukisannya yang dipamerkan di Festival Istiqlal II. Lukisan itu diberi judul Wukuf di Arafah.

Kategori terakhir adalah non-representasional berupa lukisan bergaya lebih abstrak dan simbolis. Contohnya lukisan akrilik Ikan-ikan karya Acep Zamzam Noor yang menampakkan bidang bertumpukan yang dapat dibayangkan sebagai tubuh ikan. Ada juga lukisan berjudul Allah Yang Maha Mengetahui buatan Srihadi berupa tiga garis sejajar di bawah sebuah cahaya bundar.

Keberagaman karya tersebut menunjukkan bahwa festival ini membuka ruang untuk bentuk-bentuk ekspresi kesenian yang dalam Islam cukup diperdebatkan, misalnya tentang penggambaran makhluk bernyawa dalam lukisan. Muncul pula karya-karya trimatra seperti patung ukiran bernuansa etnik oleh Sulbi, seniman Jepara, Jawa Tengah. Seperti diketahui, karya patung juga menjadi salah satu topik perdebatan jika membicarakan bentuk kesenian yang diperkenankan dalam Islam.

Festival kedua makin kaya dengan kehadiran lebih banyak seni performatif dari seniman seperti Tisna Sanjaya dan W. Christiawan. Tampil pula sastrawan seperti W.S. Rendra, Putu Wijaya, dan Taufiq Ismail. Perhelatan kedua ini tak hanya diisi seniman Indonesia. Panitia turut mengundang seniman Malaysia, Pakistan, Libanon, Palestina, Mesir, Bangladesh, Sudan, dan sebagainya untuk memamerkan karya. Total 167 seniman berpartisipasi. Makin banyak pula karya yang telah melampaui bentuk kaligrafi dan tema abstrak untuk menyampaikan gagasan keislaman pembuatnya.

Pada jilid kedua muncul karya-karya yang menggunakan pendekatan meniru obyek atau mimetik, lukisan tapi dengan teknis fotografi. Gaya lukisan yang mendekati realitas itu kerap dianggap bukan gagasan seni Islam, melainkan berakar dari tradisi Barat. Lagi-lagi ini menunjukkan makin luasnya kreasi perupa-perupa Islam akan berbagai prinsip estetika kesenian.

Pengunjung melihat foto dokumentasi yang dipamerkan dalam Festival Istiqlal di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ferbruari 2017. TEMPO/Fajar Januarta

Menurut Zaenudin dalam penelitiannya, ide besar Festival Istiqlal dapat diramalkan sedari gagasan awal pembangunan masjid tersebut, tatkala Presiden Sukarno justru memilih Friedrich Silaban, seorang arsitek Protestan asal Sumatera Utara, untuk merancang tempat ibadah umat Islam. Pilihan ini dipandang sebagai upaya untuk menjadikan masjid ini tak terbatas sebagai representasi ruang publik umat Islam, tapi juga menjadi ruang bagi solidaritas dan inklusivitas di tengah keberagaman kelompok di Indonesia.

Artikel Seni Lukis Modern Bernafaskan Islam… di Jurnal Panggung menempatkan Festival Istiqlal sebagai salah satu pencapaian tertinggi dari perkembangan seni Islam Indonesia. Bahkan, hingga kini, belum ada festival tandingan yang dapat menghadirkan kesenian Islam dengan begitu beragam.

Kegiatan terbaru yang mencoba untuk mendekati semangat ini adalah pergelaran Merayakan Milad Istiqlal pada Februari 2017. Skalanya tentu belum menyamai festival pada 1990-an. Dalam perayaan ulang tahun itu, Istiqlal membuat pameran sejarah yang sekadar memamerkan berbagai koleksi arsip arsitektur, mushaf, kaligrafi, dan dokumentasi kegiatan masjid.

Perayaan ini juga dimaksudkan sebagai pemanasan untuk menghidupkan kembali Festival Istiqlal ketiga. Rencana itu tak kunjung terwujud. Kendati demikian, dalam milad itu, sejumlah petinggi yang hadir, seperti Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, mendorong Istiqlal untuk tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tapi kembali menjadi pusat kebudayaan Islam.

Ketika dihubungi pada Kamis, 20 Mei lalu, Lukman menegaskan bahwa tradisi Festival Istiqlal perlu diteruskan. Apalagi, dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional 2021-2024, strategi kebudayaan menjadi salah satu strategi utama dalam moderasi beragama. “Maka masjid, baik Istiqlal maupun masjid lain, harus mampu mengartikulasikan nilai-nilai kebajikan dalam agama dengan program kebudayaan melalui platform apa pun,” kata Lukman.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus