Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Semangat Lama dalam Rancangan Baru

Naskah RUU KUHP baru tetap berisi pasal-pasal penjerat pers. Sebagian berasal dari UU Subversif yang sudah tak berlaku.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VONIS itu telah jatuh, awal September lalu. Karim Paputungan, mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka, dijatuhi hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan sepuluh bulan oleh majelishakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pemuatan karikatur dengan tokohKetua DPR Akbar Tandjung di korannya, menurut pengadilan, terbuktimengandung unsur penghinaan.

Majelis hakim mendasarkan putusannya pada Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP), tidak pada Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.Jerat KUHP pulalah yang dipakai beberapa tahun lalu untuk memidana PemimpinRedaksi Majalah Matra N. Riantiarno.

Gong pengekangan kebebasan pers ini kembali ditabuh minggu lalu lewatperintah sita jaminan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur atasrumah Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad, juga atas kantorKoran Tempo—yang ternyata salah alamat.Lagi-lagi landasan hukumnya tetap sama, yakni KUHP. Maka, ketika muncul kabarbahwa Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menyelesaikannaskah Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang baru, mata insan perssontak terbetot.

Kalangan pers berharap pasal-pasal semodel ini tak lagi nangkringdalam rancangan KUHP baru. Namun kenyataannya tidak demikian.Mempelajari naskah RUU KUHP ini, bekas Ketua Dewan Pers, AtmakusumahAstraatmadja, kaget bukan kepalang. Soalnya, sementara dalam KUHP yang berlakusekarang terdapat 35 pasal yang bisa digunakan untuk menjerat kebebasanmenyatakan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers, dalam naskahRUU KUHP baru ia menemukan 41 pasal sejenis (lihat tabel). Sedangkan ke-35pasal lama juga tidak hilang.

Yang membuat Atmakusumah kian terkejut, ada beberapa pasalpemberangus kebebasan pers yang diwariskan dari UU No. 11 PNPS Tahun 1963 tentangSubversi. Ia menunjuk pasal 265 dan 266: memiliki barang yang memuat hasilrekaman pembicaraan, mempergunakan kesempatan untuk merekam gambar,memiliki gambar tersebut, serta menyiarkannya. "Padahal kegiatan jurnalistiksekarang amat erat dengan kegiatan investigatif seperti ini," ujar Atmakusumah.

Tak hanya itu, pasal-pasal klasik yang biasa digunakan untukmenghantam pers, yakni haatzaai artikelen, tetapbercokol. Ini bisa dilihat dalam pasal 247 hingga 249. Menurut DirekturEksekutif Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Kemerdekaan Pers, Hinca Panjaitan,hadirnya puluhan pasal yang bertalian dengan kebebasan pers dalam naskahRUU KUHP merupakan kemunduran berlebihan. "Sama dengan menulis ulangproduk warisan Belanda," katanya.

Hadirnya pasal-pasal ini, menurut salah seorang tim perumus, IndriyantoSeno Adji, memang tidak ditujukan khusus bagi kalangan pers. Menurut dia,naskah RUU diupayakan bersifat umum. Toh, ia mengakui bahwa pasal-pasal inimemang "bisa menjadi kendala bagi pers."Keruan saja rancangan baru KUHP ini menuai berbagai kritik, terutama darikalangan pers.

Menurut Hinca, upaya pembatasan kebebasan pers untuk menyampaikaninformasi kepada publik bertentangan dengan amendemen keempat UUD1945, khususnya tentang hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.Sebaliknya, Barda Nawawi Arif, anggota tim perumus yang lain, menyebutpembatasan buat pers merupakan sesuatu yang wajar. "Kenapa pers tidak maudibatasi, sementara orang biasa harusdibatasi?" ujar Ketua Program PascasarjanaIlmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, itu.

Pernyataan ini kontan ditepis Atmakusumah. Menurut dia, pers tidakpernah minta diistimewakan. Tapi pers juga tidak bisa diperlakukan sama denganindustri lain. "Pers itu terkait dengan kebebasan manusia untuk berpikir danmengemukakan sikap. Dan sepanjang sejarah hal ini diperlukan untukkemajuan umat manusia," katanya. "Pers tidaksekadar menjual kertas dan tinta," Atmakusumah menambahkan.

Kendati begitu, menurut anggota perumus yang lain, Muladi, pers bukanlahmalaikat yang bisa lepas dari kesalahannya begitu saja. "Kalau berbuatkesalahan, harus berani bertanggung jawab di depan pengadilan," kata bekas MenteriKehakiman ini. Hal ini tak disanggah Hinca dan Atmakusumah. Yang kemudianjadi persoalan: apakah penanganan perkara yang terkait dengan pers harusmenggunakan pasal-pasal dalam KUHP, sementara di negeri ini sudah lahir UU Pers?

Andi Samsan Nganro, hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,menyebut bahwa mengadili seorang penyandang tugas profesi seperti wartawan,dokter, ataupun advokat berbeda dengan perkara biasa. Khusus untuk pers,"Pengadilan harus berani menggunakan UUPers," katanya. Di luar negeri, Atmakusumah memberikan contoh, apa yangdikatakan Andi Samsan sudah lama dilakukan.

Yang terjadi di Kosta Rika dan El Salvador, misalnya. Atas lobiPerhimpunan Pers Amerika Latin, pengadilan di duanegara itu sepakat tidak menggunakan pasal-pasal pidana bagi kalangan pers.Cile dan Brasil tengah bersiap melakukan hal yangsama, menjelang tutup tahun ini.

Direktur Jenderal Perundang-undangan Departemen Kehakiman danHak Asasi Manusia, Abdul Gani Abdullah, menawarkan alternatif lain. Iamengemukakan pendapat untuk menarik pasal-pasal ini menjadi undang-undangterpisah atau dimasukkan ke dalam UU Pers. "TentuUU Persnya harus direvisi lebih dulu, baru pasal pidananyadimasukkan," kata Abdul Gani. Atmakusumah tampaknya kurang setuju denganpendapat ini. Menurut dia, dengan cara begitu, semangat hukuman pidana bagikalangan pers tetap ada dan tak mengalami perubahan sama sekali.

Atmakusumah kemudian berpendapat bahwa delik pidana bagi insan persini harus diubah menjadi sanksi perdata berupa denda. Lebih bagus kalau bisadimasukkan menjadi KUH Perdata. Kalaupun dipaksakan tetap dalamKUHP, sanksinya harus diubah menjadi denda. Denda ini pun merupakan dendayang wajar dan proporsional. "Jangan sampai denda yang dijatuhkan mematikanperusahaan pers bersangkutan," kata Atmakusumah.

Alternatif lain tengah diperjuangkan Hinca. Ia berharap UU Pers menjadilex spesialis terhadap KUHP. Artinya, kalau ada perkara menyangkut pers dipengadilan yang bisa dibelit dengan KUHP,yang diutamakan adalahpenggunaan UU Pers, ketimbang KUHP. Untuk itu ia mengusulkan ditambahkannya satupasal dalam aturan peralihan di naskah RUU KUHP buat mengaturpersoalan ini. "Ini bukan perkara mudah, tapikami tetap mengupayakannya," kata Hinca.

Apa pun jadinya nanti, Ketua Mahkamah Konstitusi, JimlyAsshiddiqie, mengharapkan pemerintah berhati-hati dan meminta masukan dari berbagaikalangan sebelum benar-benar menetapkannya.

Agus Hidayat, Mahdi Muhammad (Tempo NewsRoom), Hudallah (Semarang), Muannas (Makasar)


Sebagian dari 41 pasal non demokratis

Pasal 193
Menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme secaralisan, tulisan, atau media apa pun.

Pasal 194
Menyatakan mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengancara lisan, tulisan, atau media apa pun.

Pasal 208
Perbuatan yang menyebabkan surat, peta bumi, rencana,gambar, barang yang bersifat rahasia negaramenjadi diketahui orang lain sebagian atau seluruhnya.

Pasal 209
Melihat atau mempelajari surat, peta bumi,rencana, gambar, atau barang yang bersifat rahasia negara.

Pasal 211
Memasuki proyek pertahanan keamanan negara, instalasimiliter, membawa alat pemotret dalam lokasitersebut, memiliki hasil potret, gambar, atauuraian proyek.

Pasal 212
Tanpa wewenang membuat, mengumpulkan, mempunyai,menyimpan, menyembunyikan, atau mengangkut potret, gambar lukis, ataugambar tangan, pengukuran, pelukisan, keterangan, atau petunjuk lainyang berkaitan dengan kepentingan negara.

Pasal 226
Menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisanatau gambar berisi penghinaan presiden atau wakil presiden.

Pasal 248

  1. Menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisanatau gambar, memperdengarkan rekaman penghinaan terhadappemerintahan yang sah.

  2. Jika perbuatan dilakukan karena menjalankanprofesinya, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hakuntuk menjalankan profesinya tersebut.

Pasal 270
Menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohongyang mengakibatkan keonaran masyarakat.

Pasal 271
Menyiarkan berita yang tidak pasti, berita yang berlebihan, atauberita yang tidak lengkap yang dapat mengakibatkan timbulnyakeonaran masyarakat.

Pasal 339
Menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan ataugambar yang menghina kekuasaan umum atau lembaga negara.

Pasal 447
Menyerang kehormatan atau nama baik orang laindengan menuduhkan sesuatu yang dilakukan dengan tulisan ataugambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan ditempat umum.

Pasal 456
Menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang berisi penghinaan terhadap orang yang telah mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus