KEMELUT alat angkutan umum tengah melanda kota Semarang. Hingga
kota yang belum 3 bulan terakhir ini jumlah penduduk dan luasnya
membengkak itu (TEMPO, 19 Juni 1976), jadi kewalahan. Walikota
Hadiyanto yang baru saja menikmati bulan madunya setelah lama
mendudaf dihadapkan pada kerepotan yang lumayan memusingkan.
Sementara dimekarkan, buruburu ia menetapkan arah perkembangan
kota sebagai "pusat pengembangan industri, kota perdagangan dan
transportasi". Bisa dimaklumi, bila ia memulai sasaran itu dari
bidang transportasi. Sebab luas kota yang semula cuma 100' Km2
lalu jadi 340 Km2 itu menuntut pemenuhan akan kebutuhan
tersebut. Lantas dibangunlah sebuah terminal induk. Lumayan
megahnya berbiaya Rp 94.700.000, meskipun sebenarnya cuma
memugar stasiun lama Jurnatan milik PJKA itu. Kini lebih 100 bis
dan rupa-rupa kendaraan bermotor berhimpit-himpitan di sana.
Tak berarti kemelut alat angkutan umum dan keruwetan lalulintas
mereda. Sebab di jalan-jalan seantero kota suasana semrawut dan
simpang-siur kendaraan bermotor makin menjadi-jadi. Terutama
kendaraan umum yang sibuk mengeduk penumpang. Karena ketika
meninggalkan terminal belum penuh. Maka tak peduli ada larangan
Walikota berhenti seenaknya di luar terminal. "Kami mematuhi jam
berangkat dari terminal. Tapi kalau bis masih kosong, tak
bolehkah kami menghampiri penumpang yang menghadang di tepi
jalan?", tukas seorang pengemudi bis. Lagipula calon-calon
penumpang tampaknya segan masuk ke terminal, karena mesti
membayar Rp 10. Dan mereka menggerutu bahwa Pemda sekarang makin
pelit dan komersil. "Masuk terminal bayar, kencing bayar,
apalagi mandi", begitu gerutu rata-rata warga Semarang.
Saling Serobot
Sebelum peresmian terminal di awal Juli lalu, Walikota Kolonel
Hadiyanto sempat diberondong kericuhan perkara pick-up Daihatsu
dan Bemo. Yang sebabnya, apalagi kalau bukan perkara rebutan
penumpang, saling serobot kawasan masing-masing dan
pelanggaran-pelanggaran ketentuan Walikota. Belum lama
sebetulnya pick-up Daihatsu merajalela di jalan-jalan Semarang.
Tapi dengan jumlah 150 buah dan melalui izin Walikota 2 Juni
lewat SK-nya kendaraan bercat merah yang dijuluki colt tengu
(sejenis kutu yang gatal) cepat sekali menyaingi sekitar 500 -
600 bemo yang sudah lama beroperasi -- yang kebanyakan sudah
tua, buatan 1961. Meskipun ada ketentuan antara lain menyebut
bahwa Daihatsu yang bertulisan Kodya Dati II Semarang dan
mengesankan milik Kodya padahal kabarnya perseorangan dan
pejabat -- cuma boleh beroperasi terbatas. Yaitu di
trayek-trayek yang belum dijalani bemo. Penumpang maksimum 7
orang (sama dengan jumlah penumpang bemo ) tanpa kernet.
Toh, sang Daihatsu masih bebas keluyuran. Atau melayani carter
ke mana saja. Hingga pernah terjadi perkelahian memperebutkan
penumpang antara supir bemo dan Daihatsu. "Sebetulnya Daihatsu
harus berangkat dari terminal dengan penuh, lantas tak boleh
menggaet penumpang di tengah perjalanan dalam kota. Itu bagian
bemo, tutur seorang pengemudi bemo. Dan meski sudah ada
pertemuan dan kesepakatan mesti menertibkan diri masing-masing,
23 Juli lalu, kemelut tetap beerlangsung. Pertemuan itu
diadakan oleh para pengusaha, pengemudi bemo dan Daihatsu,
pimpinan Organda. DLLAJR, Kepala Terminal, Ketua FBSI Cabang
Semarang, yang tak diragukan amay berkepentingan. Apalagi Mayor
Suprapto yang mewakili walikota, berkata lantang: " Yang tidak
mematuhi aturan akan ditndak tegas." Begitukah?