Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu sempit dan aneka aturan yang membatasi tak membuat tim kampanye para kandidat presiden kehilangan akal. Ada seribu satu cara yang bisa ditempuh untuk menyiasatinya. Lihat saja apa yang dikatakan Ketua Forum Betawi Rempug (FBR), Ahmad Fadloli El Muhir, tentang pengumpulan massa yang digelarnya di lapangan Monumen Nasional, Kamis pekan lalu. Ribuan orang yang diangkutnya dengan aneka kendaraan carteran itu menamakan diri Aliansi Rakyat Pendukung Mega-Hasyim. "Ayo sama-sama kita berikan dukungan," Fadloli berseru dalam orasinya.
Bukankah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang para kandidat melakukan pengerahan massa dalam kampanye putaran kedua ini? Memang. Tapi, menurut Fadloli, ini bukan kampanye. Selain FBR yang mengaku mewakili masyarakat Betawi, aliansi ini juga menyatakan diri datang dari Banten, Madura, Sulawesi, Maluku, Aceh, Gorontalo, dan Papua. Sebagian lagi datang dengan atribut beragam partai. Megawati, yang hadir bersama Hasyim, pun mengatakan dirinya datang dan bicara sebagai Presiden RI.
Apakah Anda bingung? Jangankan Anda, bahkan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) mengaku bingung betapa sumirnya aturan yang disusun KPU dalam soal kampanye. Akibatnya, "Kegiatan yang secara akal sehat masuk kategori kampanye tidak dapat diproses karena ketiadaan aturan," kata anggota Panwaslu, Rozy Munir.
Yang dikatakan Rozy pun sebenarnya bukan soal baru. Hanya, kian mendekati masa pemilu, cara-cara culas ini tampak benar makin vulger dipertontonkan. Tak hanya oleh pasangan Mega-Hasyim. Di hari yang sama di gedung Istora Senayan, 3.000-an orang berkumpul mengatasnamakan forum "Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia untuk Semua". Mereka tak lain adalah massa yang digalang Andi Mallarangeng untuk menyampaikan dukungan kepada pasangan calon presiden dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Yudhoyono pun tampil berpidato di hadapan massa yang mengaku mewakili aspirasi 13 elemen masyarakat seperti guru, dokter, buruh, pedagang, penyandang cacat, dan petani yang berasal dari Aceh hingga Papua. Cara-cara penyampaian aspirasi dan dukungan itu mengingatkan kita pada acara "kelompencapir" (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) yang dulu populer di zaman Soeharto. Hampir semua wakil yang tampil ke panggung membacakan dukungan sembari memekikkan "Hidup SBY". Namun, Andi menolak acaranya yang diramaikan artis Ibu Kota itu disebut kampanye.
Tak cukup dengan aksi-aksi model ini, malam harinya seruan-seruan masih berlanjut. Kali ini melalui media televisi. Stasiun Metro TV memilih menyiarkan ulang hampir dua jam acara di Istora. Sedangkan puji-pujian untuk Mega-Hasyim dilantunkan melalui grup-grup musik yang dihimpun TVRI melalui acara Kontes Musik Jalanan. Total acara itu berdurasi 47 menit, belum termasuk selingan iklan.
Apakah ini semua "acara pesanan"? Katanya bukan. Pemimpin Redaksi Metro TV, Don Bosco Selamun, mengatakan pemutaran acara itu merupakan permintaan pemirsa. Ia membantah jika dikatakan menyiarkan acara itu sebagai bentuk kampanye, apalagi tanda dukungan buat Yudhoyono-Kalla. Juga bukan karena bos mereka, Surya Paloh, tampak hadir bersama Yudhoyono. Apalagi hanya karena salah satu penyiar mereka turut tampil sebagai pembawa acara. "Semua demi pemirsa," tuturnya.
Direktur Utama TVRI , Yasirwan Uyun, juga membantah jika dikatakan acaranya merupakan pesanan tim sukses Mega-Hasyim. "Itu acara pengganti, karena yang sebelumnya kelewat mahal," katanya. Acara yang digantikan itu tadinya bertajuk Dansa Yuk Dansa, yang dipandu Ebet Kadarusman. "Tidak ada rekayasa," ujarnya mengenai syair beberapa pemusik jalanan yang berisi seruan dukungan untuk Mega-Hasyim.
Memang tak banyak yang bisa dilakukan Rozy Munir dan kawan-kawan. Menurut Rozy, tiap tim kandidat berpengalaman setelah melalui pemilu putaran sebelumnya. "Mereka makin canggih. Akibatnya, Panwaslu kesulitan menindaklanjuti dugaan pelanggaran," ujarnya. Sedangkan Didik Supriyanto, kolega Rozy Munir, menyebutkan masalahnya ada pada tidak jelasnya definisi tentang aturan kampanye.
Meski begitu, lembaga ini tetap mencatat setidaknya ada 13 pelanggaran administratif dan pidana selama masa tiga hari penajaman visi-misi pasangan calon presiden. "Dari substansi materi, pelanggaran yang mengkampanyekan kandidat Megawati-Hasyim ada 9. Sedangkan pasangan SBY-Kalla 4 pelanggaran," katanya. Tentu saja catatan ini tak memasukkan model-model penggalangan melalui birokrasi yang marak dilakukan di berbagai instansi dan daerah.
Misalnya seperti yang dilakukan Menteri Kehutanan M. Prakosa dalam kunjungan kerjanya di Madiun, Jumat pekan lalu. "Semoga berkat dukungan kita semua, presiden kita diberi kekuatan untuk memimpin kembali bangsa ini. Ibu Megawati pasti akan mampu membawa ke arah kejayaan," kata Pak Menteri dalam sambutannya di pendopo kabupaten. Lalu, dia pun mengatakan, "Siapa bilang itu kampanye?"
Y. Tomi Aryanto, Purwanto, Yura Syahrul, Rochman Taufiq (Madiun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo