Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tambang batu bara ilegal menjamur selama masa pandemi Covid-19.
Perusahaan batu bara resmi diduga ikut menadah hasil tambang ilegal.
Komisi Energi DPR berencana membentuk panitia kerja tambang liar.
JAKARTA - Praktik penambangan batu bara tanpa izin semakin subur selama masa pandemi Covid-19. Terbatasnya ruang gerak aparat untuk melakukan pengawasan serta kenaikan harga batu bara menyuburkan kegiatan ilegal tersebut. Sejak akhir tahun lalu, harga batu bara internasional terus naik dari US$ 80 per ton menjadi US$ 171 per ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, mencatat aktivitas penambangan ilegal meningkat di berbagai daerah, seperti di Samarinda dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. "Di Kutai Kartanegara saja, kami mengidentifikasi lebih dari 100 tambang ilegal. Sebanyak 50 di antaranya sudah kami validasi," ujarnya kepada Tempo, kemarin. Laporan serupa banyak ditemukan di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan; Sawah Lunto, Sumatera Barat; Muara Enim, Sumatera Selatan; serta Bungo, Jambi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Melky, hasil tambang ilegal ini dalam beberapa kasus ditadah oleh perusahaan pemegang izin resmi penambangan batu bara. Entitas tersebut tidak perlu membayar pungutan ke negara atas batu bara yang mereka dapatkan tersebut, sehingga bisa memperoleh untung lebih besar. Motif lainnya adalah pembelian batu bara ilegal karena perusahaan tidak bisa memenuhi kewajiban suplai kebutuhan domestik seperti ke pembangkit listrik.
Dalam kasus lain, Jatam menemukan sejumlah perusahaan dirugikan lantaran penambang ilegal. Sebab, para penambang justru merambah kawasan konsesi perusahaan berizin.
Dinamisator Jatam Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, menyatakan hasil tambang ilegal ini juga bisa dikirim langsung ke negara tetangga. "Banyak dari mereka yang mengantongi dokumen palsu," kata dia. Celakanya, pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik tersebut masih lemah sehingga aktivitas penambangan ilegal terus berlanjut.
Rupang menyatakan Jatam sudah melaporkan 21 titik tambang ilegal ke berbagai pihak, mulai dari kepolisian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, termasuk tentunya pemerintah daerah, sejak Februari 2020 hingga saat ini. Namun tak ada tindak lanjut atas laporan tersebut.
Dia mencontohkan temuan tambang ilegal di hutan produksi di Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang belum ada tindak lanjutnya setelah dilaporkan ke Kepolisian Daerah Kalimantan Timur dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup. "Alasan Kementerian Lingkungan Hidup belum bisa ke lapangan karena pandemi," ujarnya.
Dinas Lingkungan Hidup Banjar dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Selatan mendatangi lokasi tambang batu bara ilegal di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Dok. DLH Kalsel
Rupang menilai, perlu ada perintah langsung dari kepala negara untuk menyelesaikan isu ini hingga tuntas. Sebab, dia menduga pelaku penambangan ilegal adalah sosok yang juga berkuasa, mengingat rendahnya penegakan hukum meski kasusnya marak. Dalam beberapa kasus penindakan, hukuman hanya dijatuhkan pada penambang. Padahal, untuk melakukan kegiatan tambang, dibutuhkan modal yang sangat besar. Salah satunya untuk menyewa alat berat. Rupang menyatakan harga satu set peralatan tersebut berkisar Rp 200-400 juta. "Apakah penambang di lapangan itu mampu menyediakan dana sebesar itu?"
Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Eddy Soeparno, membenarkan maraknya penambangan tanpa izin di seluruh Indonesia. Namun tak semuanya batu bara. Tambang batu bara ilegal masih kalah jumlahnya dibanding tambang emas.
Eddy menyatakan hingga kini belum ada jumlah persis penambang yang ia kantongi. Merujuk pada data yang disampaikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dia menyebutkan terdapat sekitar 2.700 penambang tidak berizin di seluruh Indonesia. "Sementara yang kami pegang dari Kementerian Lingkungan Hidup ada sekitar 8.000," ujarnya.
Komisi Energi berupaya menyelesaikan isu tersebut dengan membentuk panitia kerja yang nantinya akan melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi, Bareskrim Polri, pemerintah daerah, dan perusahaan tambang untuk mencari solusi penambangan ilegal batu bara. "Jangan sampai negara kehilangan pendapatan yang sangat dibutuhkan sekarang karena tidak ada penegakan hukum." Kerusakan lingkungan juga menjadi pemicu pembentukan panitia kerja tersebut.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo