Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perjamuan Hutan untuk Korporasi Tambang

Revisi RTRW Kalimantan Timur disinyalir ditunggangi kepentingan ratusan korporasi tambang. Diiringi seabrek kejanggalan.

17 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Revisi RTRW Kalimantan Timur diiringi usulan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan seluas 11 kali wilayah DKI Jakarta. Sebagian di antaranya adalah hutan lindung di Desa Nyaribungan, Kecamatan Laham, yang dikepung tambang Grup Adaro.

  • Rencana perubahan kawasan hutan tak hanya berada di area kerja Grup Adaro. Ratusan perusahaan lain ditengarai akan menangguk untung dari usulan pelepasan ataupun penurunan fungsi kawasan hutan di Benua Etam.

  • Banyak kejanggalan yang tersisa dalam rencana perubahan kawasan hutan seiring dengan revisi RTRW Kalimantan Timur. Angka usulan pemerintah daerah berbeda dengan yang tercatat di dokumen Tim Terpadu KLHK.

FRANS Maru, Sekretaris Camat Laham, Kabupaten Mahakam Ulu, belum pernah mendengar rencana perubahan fungsi kawasan hutan lindung di sekitar Desa Nyaribungan. Yang dia tahu, sekitar Februari lalu, sebuah pertemuan virtual digelar di kantor kecamatan untuk membicarakan rencana penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PT Pari Coal, anak perusahaan PT Adaro Energi Indonesia Tbk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saat itu perwakilan warga dari Desa Nyaribungan, Danum Paroi, Long Gelawang, dan Muara Ratah dikumpulkan karena pertemuan virtual dilakukan di kantor kecamatan," kata Frans saat ditemui di kediamannya, akhir Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Frans tidak mengingat detail pertemuan itu, termasuk perwakilan PT Pari Coal yang kala itu berbicara di seberang layar komputer jinjing. Dia hanya ingat tak ada peserta rapat yang menyatakan keberatan atas rencana penambangan Pari Coal. Perusahaan, kata dia, juga berjanji akan membuka lapangan kerja bagi warga setempat. Sedangkan warga desa berharap Pari Coal juga mengupayakan pembangunan jalan akses dari kampung menuju jalan poros provinsi. "Kami (Kecamatan Laham) hanya minta agar aktivitas penambangan tidak menggunakan air baku dari Sungai Nyaribungan," kata Frans.

Desa Nyaribungan berjarak 60 kilometer ke arah barat daya Desa Laham, pusat Kecamatan Laham yang berada sekitar 210 kilometer di sisi barat laut Kota Samarinda. Namun, untuk menuju Nyaribungan, diperlukan waktu hampir enam jam mengendarai sepeda motor dari pusat kecamatan.

Ketika tim kolaborasi Koran Tempo dan Betahita.id pergi ke desa itu pada akhir Juli lalu, Sungai Ratah sedang mengering sehingga tak memungkinkan dilalui ketinting, perahu kayu bermesin motor luar. Biasanya, meski bakal memakan waktu tempuh lebih lama, masyarakat setempat lebih memilih melawan arus anak Sungai Mahakam tersebut karena jalan penghubung menuju Nyaribungan berupa tanah liat tak beraspal. Begitu pula sebaliknya.

Nyaribungan kini menjadi sorotan para pegiat lingkungan setelah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Timur 2023-2042 disahkan pada akhir Maret lalu. Pasalnya, revisi RTRW itu diiringi dengan rencana pemerintah mengubah fungsi kawasan hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa menjadi hutan produksi. Wana ini melingkar di sisi utara, barat, dan selatan wilayah Desa Nyaribungan, Long Gelawang, Desa Muara Ratah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. 

Desa Nyaribungan, Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, 30 Juli 2023. Betahita.id/Aryo Bhawono

Dokumen acuan Tim Penilaian Terpadu, yang dibentuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengevaluasi rencana tersebut, mencatat luas kawasan hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa yang diusulkan untuk diturunkan fungsinya menjadi hutan produksi mencapai 100.417 hektare—sekitar 1,5 kali luas wilayah DKI Jakarta. Permasalahannya, sekitar 56.329 hektare di antara area hutan lindung yang diusulkan untuk disulap menjadi hutan produksi tersebut telah lama diduduki izin usaha pertambangan (IUP) PT Pari Coal, PT Ratah Coal, PT Maruwai Coal, dan PT Lahai Coal. Empat perusahaan tambang batu bara lain itu berada di bawah bendera Grup Adaro, kelompok usaha milik Garibaldi Thohir, kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir.

Sejauh ini, baru Maruwai Coal dan Lahai Coal yang telah berproduksi. Sebagian besar konsesi dua perusahaan tersebut memang di kawasan hutan produksi terbatas yang berada di wilayah Kabupaten Murung Raya. Sedangkan Pari Coal dan Ratah Coal masih berstatus eksplorasi. Sebagian besar area perizinan dua korporasi ini berada di kawasan hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa. 

Inilah yang membuat Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen, menaruh kecurigaan pada rencana perubahan fungsi kawasan hutan lindung di sekitar Nyaribungan. Dia menduga usulan penurunan fungsi kawasan hutan lindung yang dilatarbelakangi revisi RTRW Provinsi Kalimantan Timur itu untuk mengakomodasi rencana investasi Grup Adaro. Status hutan lindung, kata dia, akan menyulitkan rencana ekspansi penambangan di wilayah tersebut. Operasi tambang di kawasan hutan lindung hanya diperbolehkan dengan cara penambangan bawah tanah (underground mining). Dengan berubah menjadi hutan produksi, perusahaan tambang bisa menggunakan metode penambangan permukaan atau tambang terbuka (open pit).

Dia menilai perubahan fungsi kawasan hutan akan membuat Nyaribungan, Long Gelawang, dan Muara Ratah lebih berkilau di mata investor tambang. Penambangan terbuka tak hanya memungkinkan perseroan mengoptimalkan produksi batu bara di wilayah tersebut, tapi juga menekan biaya operasional. Biaya tambang underground pada umumnya 1,5-2,5 kali lebih mahal dibanding open pit. Metode penambangan bawah tanah tak bisa diterapkan sembarangan karena harus mempertimbangkan formasi batuan dan tingkat kerawanan bencana di lokasi tambang.

"Jadi, usulan mengubah fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi di Mahakam Ulu ini tentu akan menarik minat investasi," kata Fathur. "Tapi penambangan terbuka itu jelas bakal merusak fungsi pokok kawasan lindung selama ini."

Made with Flourish

Ratusan Korporasi Juga Menangguk Untung 

Hutan lindung di sekitar Desa Nyaribungan bukan satu-satunya yang akan diubah seiring dengan revisi RTRW Kalimantan Timur. Dokumen bertajuk "Buku Lokus Perubahan Kawasan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Rangka Review RTRW Provinsi Kalimantan Timur" mencatat luas kawasan hutan yang akan diubah fungsi ataupun peruntukannya mencapai 736.261 hektare, tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Benua Etam. Buku inilah yang menjadi acuan bagi Tim Penilaian Terpadu memulai proses verifikasi lapangan sejak Mei lalu sebagai bahan rekomendasi kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Seperti halnya yang terjadi pada kawasan hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa, sebagian besar kawasan hutan yang diusulkan untuk diubah fungsi dan peruntukannya tersebut beririsan dengan konsesi ratusan perusahaan. Tak ubahnya empat anak perusahaan di Nyaribungan yang terhubung dengan Grup Adaro, ratusan perusahaan itu ditengarai terafiliasi dengan para pemain besar di ketiga sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. 

Juru kampanye Yayasan Auriga Nusantara, Hilman Afif, punya kecurigaan yang sama dengan Fathur Roziqin Fen. Ia menilai adanya rencana perubahan kawasan hutan di lokasi yang beririsan dengan konsesi-konsesi perusahaan tersebut merupakan indikasi bahwa revisi RTRW Provinsi Kalimantan Timur sarat kepentingan perusahaan.  

Yang lebih bikin Hilman khawatir adalah hasil analisis data tutupan lahan Kementerian Kehutanan 2021 menunjukkan bahwa lebih separuh dari total kawasan hutan yang akan diubah fungsi dan peruntukannya dalam revisi RTRW ini merupakan hutan alam, yakni seluas 408.229 hektare. Hutan alam seluas 258.432 hektare di antaranya berada di dalam konsesi perusahaan pertambangan dan kehutanan. "Motif ekonomi apa pun yang melatarbelakangi usulan tersebut jelas telah mengancam hutan alam yang semestinya dipertahankan," kata Hilman.

Ditemui di sela pelantikan pengurus Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Kalimantan Timur, Senin, 7 Agustus lalu, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor tak mempersoalkan jika rencana perubahan kawasan hutan dalam rangka revisi RTRW Kalimantan Timur dianggap hanya menguntungkan korporasi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai NasDem Kalimantan Timur itu berdalih bahwa perusahaan-perusahaan yang mendapat keuntungan dari perubahan kawasan hutan sedang membantu kepentingan negara melalui manfaat ekonomi. "Ya, bisa saja keuntungan. Kalau keuntungan sesuai dengan peraturan, ya, tidak apa-apa," kata Isran seraya mengutarakan harapan agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar segera mengabulkan usulan tersebut. 

Tim kolaborasi Koran Tempo dan Betahita.id telah menyampaikan permohonan wawancara kepada Menteri Siti Nurbaya Bakar sejak 8 Juli lalu. Dia menugasi Ruandha A. Sugardiman yang kala itu menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) untuk menjawab. Lewat jawaban tertulis, Ruandha mengatakan rencana perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan tidak dilakukan dalam rangka menghapus kawasan hutan di Kalimantan Timur. Usulan perubahan kawasan itu, kata dia, merupakan upaya harmonisasi dengan RTRW Provinsi Kalimantan Timur.

Menurut dia, Tim Terpadu telah menyusun metodologi penelitian dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan kelembagaan. Tim Terpadu juga akan melaksanakan uji konsistensi yang melibatkan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemegang perizinan berusaha. "Perubahan nanti ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu," demikian ditulis Ruandha.

Misteri Beda Angka Usulan

RTRW Provinsi Kalimantan Timur 2023-2042 telah disahkan pada akhir Maret lalu. Namun Ketua Panitia Khusus (Pansus) RTRW DPRD Kalimantan Timur, Baharuddin Demmu, malah bingung terhadap rencana perubahan kawasan hutan yang tengah diverifikasi oleh Tim Penelitian Terpadu bentukan Kementerian Kehutanan. 

Pangkal masalahnya, luas rencana perubahan kawasan hutan di buku acuan Tim Penelitian Terpadu mencapai 736.261 hektare. Padahal usulan terakhir dalam hasil pembahasan revisi RTRW Provinsi Kalimantan Timur hanya 640.864 hektare. Demmu enggan berandai-andai dari mana selisih usulan sekitar 95 ribu hektare itu berasal. "Bisa jadi penambahan lokus itu berasal dari lokus-lokus tak jelas, yang sebelumnya sudah kami coret," kata dia.  

Proses pembahasan revisi RTRW Kalimantan Timur memang panjang. Sebelum bertemu dengan Menteri Siti Nurbaya di Manggala Wanabhakti pada akhir Februari lalu, Gubernur Isran Noor telah tiga kali melayangkan usulan perubahan kawasan hutan di wilayahnya. Angka 640.864 hektare merupakan luasan revisi terakhir yang dikirim Isran pada 9 November 2022.

Seiring dengan itu, proses revisi RTRW juga telah digelar. Menurut Demmu, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur awalnya mengajukan kawasan hutan seluas 741.028 ribu. Belakangan, merujuk pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Kalimantan Timur, Pansus mencoret usulan perubahan kawasan hutan yang dianggap bermasalah seluas 115.971 hektare. "Karena lokus dan identifikasinya tidak jelas," kata dia. Demmu tak tahu mengapa angka usulan perubahan kawasan hutan di Tim Penilai Terpadu belakangan kembali melonjak. 

Anggota Tim KLHS RTRW Kalimantan Timur, Yohanes Budi Sulistiadi, juga melihat ada kejanggalan pada perbedaan angka usulan versi pemerintah provinsi dan Tim Penilai Terpadu. Menurut dia, timnya telah bekerja untuk memverifikasi usulan dari pemerintah kabupaten/kota se-Kalimantan Timur. Luasnya juga hanya 570.183 hektare, berbeda jauh dibanding usulan di Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang mencapai 640.864 hektare. "Lalu sekarang perubahan usulannya menjadi 736 ribu hektare. Bisa jadi (usulan) diselundupkan, entah oleh siapa," kata Budi. Yang jelas, menurut dia, ketika melakukan verifikasi hingga November tahun lalu, Tim KLHS memang menemukan seabrek persoalan, termasuk sebagian besar kawasan hutan yang diusulkan untuk diubah fungsi atau peruntukannya berada di konsesi perusahaan pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. 

Sungai Ratah di Desa Long Gelawang, Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, menjadi jalur utama transportasi masyarakat, Juli 2023. Betahita.id/Aryo Bhawono

Hutan lindung di sekitar Desa Nyaribungan, yang juga beririsan dengan konsesi Grup Adaro, lagi-lagi menjadi pusat dari persoalan ini. Dokumen KLHS Provinsi Kalimantan Timur sebetulnya juga mengkaji usulan perubahan fungsi hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa. Namun luasnya hanya sekitar 20 ribu hektare, berlokasi di sisi selatan Desa Long Gelawang. Tim KLHS dalam kesimpulannya merekomendasikan agar status kawasan hutan lindung itu dipertahankan. Namun belakangan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Kalimantan Timur 2023-2042 tetap mengusulkan area kawasan hutan lindung di Desa Long Gelawang itu menjadi zona tunda untuk rencana perubahan kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi.

Kejanggalannya tak berhenti di situ. Lampiran peta rencana pola ruang dalam perda tersebut juga dengan terang menunjukkan bahwa hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa yang diusulkan berubah fungsi menjadi hutan produksi hanya yang berada di sisi selatan Desa Long Gelawang, dengan luasan tak berubah sekitar 20 ribu hektare. Sebagian besar hutan di sisi Desa Nyaribungan dan Desa Muara Ratah tetap berstatus kawasan hutan lindung. Tapi dokumen Tim Penelitian Terpadu mencatat data yang berbeda. Kawasan hutan tersebut justru termasuk yang direncanakan untuk diturunkan fungsinya menjadi hutan produksi seluas lebih-kurang 80 ribu hektare—sehingga total usulan di sekitar Desa Nyaribungan mencapai 100 ribu hektare.

Ketua Tim Terpadu, Enggar Apriyanto, tak merespons pertanyaan tim kolaborasi Koran Tempo dan Betahita.id ihwal permasalahan di seputar revisi RTRW Kalimantan Timur ini. Adapun anggota Tim Terpadu, Bahruni, enggan berbicara banyak ihwal proses penilaian yang tengah berlangsung. Dia hanya mengatakan bahwa Tim Terpadu akan melaporkan hasil penelitian kepada pemberi mandat, yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. "Informasi lengkapnya seharusnya dari KLHK. Sebab, saya sebagai anggota Tim Terpadu selama proses ini terikat batasan kewenangan, belum bisa mendahului pemberi mandat," ujarnya.

Manajemen PT Adaro Energy Indonesia Tbk juga tak mengabulkan permohonan wawancara. Jawaban lewat pesan WhatsApp yang dikirim oleh Head of Corporate Communication Division Adaro, Febrianti Nadira, juga tak menjawab semua pertanyaan tim. Dia hanya menegaskan bahwa Grup Adaro senantiasa patuh dan menaati peraturan yang ditetapkan, termasuk soal revisi RTRW. "Revisi tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan dari pemerintah," kata Nadira pada Senin, 14 Agustus lalu. Dia juga memastikan Adaro senantiasa memperhatikan kaidah dan peraturan pelestarian lingkungan dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan. 

Di tengah gelapnya rencana perubahan kawasan hutan seiring dengan revisi RTRW Kalimantan Timur, hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa juga tak tahu apa-apa. Akhir Juli lalu, dari jalan akses Desa Nyaribungan, tim bisa melihat rimbunan meranti, keruing, pepohonan lain menjulang belasan meter, memayungi sempurna hamparan kawasan lindung itu. Entah berapa lama lagi mereka akan bertahan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Tim Laporan Khusus Koran Tempo

Penanggung jawab: Jajang Jamaludin | Kepala proyek: Agoeng Wijaya | Koordinator kolaborasi: Avit Hidayat | Penulis & penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Avit Hidayat, Andi Adam Faturrahman (Tempo), Fachri Hamzah (Padang), Harry Siswoyo (Bengkulu), Sapri Maulana (Samarinda), Aryo Bhawono, Raden Aryo W. (Betahita.id) | Editor: Yandhrie Arvian, Agoeng Wijaya, Rusman Paraqbueq, Suseno, Reza Maulana | Analis spasial: Adhitya Adhyaksa, Andhika Younastya (Auriga) | Bahasa: Suhud, Tasha Agrippina, Sekar Septiandari, Ogi Raditya | Periset Foto: Ijar Karim, Bintari Rahmanita

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus