Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Silang Pendapat Penyiksaan Penyebab Kematian Afif Maulana, Ini Kata Polda Sumbar, LBH Medan, dan Komnas HAM

Kapolda Sumbar Irjen Suharyono membantah adanya penyiksaan oleh anggotanya dalam kasus kematian Afif Maulana. Ini kata LBH Padang dan Komnas HAM.

2 Juli 2024 | 19.01 WIB

Kuasa hukum Keluarga korban penyiksaan berujung kematian anak berstatus pelajar SMP (AM, 13) Direktur LBH Padang, Indira Suryani bersama YLBHI, KontraS, dan organisasi masyarakat sipil (tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Kepolisian lainnya) saat menyampaikan update temuan dan proses advokasi kasus terkait di Gedung YLBHI Jakarta, Selasa 2 Juli 2024. LBH Padang memiliki banyak temuan, termasuk saksi-saksi yang sampai saat sekarang tidak/belum diperiksa oleh kepolisian. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Kuasa hukum Keluarga korban penyiksaan berujung kematian anak berstatus pelajar SMP (AM, 13) Direktur LBH Padang, Indira Suryani bersama YLBHI, KontraS, dan organisasi masyarakat sipil (tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Kepolisian lainnya) saat menyampaikan update temuan dan proses advokasi kasus terkait di Gedung YLBHI Jakarta, Selasa 2 Juli 2024. LBH Padang memiliki banyak temuan, termasuk saksi-saksi yang sampai saat sekarang tidak/belum diperiksa oleh kepolisian. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kapolda Sumatera Barat, Inspektur Jenderal Suharyono, membantah adanya penyiksaan oleh anggotanya dalam kasus kematian bocah berusia 13 tahun, Afif Maulana atau AM. Pihaknya menyebut hanya ada “pelanggaran prosedur” yang dilakukan oleh anggotanya, tetapi tak berhubungan dengan kematian Afif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

“Tidak ada penyiksaan, hanya pelanggaran prosedur,” kata Kapolda Sumbar Irjen Suharyono, saat konferensi pers di Mapolda Sumatera Barat, Ahad kemarin, 30 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Afif ditemukan tak bernyawa di bawah Jembatan Kuranji pada Ahad siang, 9 Juni 2024. Investigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menyebutkan Afif diduga tewas setelah tertangkap oleh sejumlah anggota polisi yang hendak menggagalkan aksi tawuran.

LBH Padang juga menyatakan menerima laporan dari sejumlah korban lainnya yang mengalami penyiksaan dari anggota polisi. Korban, menurut hasil investigasi itu, mengaku mengalami penyiksaan seperti disundut rokok, dipukul, hingga disetrum.

Berdasarkan foto yang didapatkan Tempo, terdapat 15 titik sulutan rokok di salah satu tubuh korban. Sementara di tubuh korban lainnya terdapat bekas luka seperti pecutan sepanjang 20 sentimeter.

Tapi Suharyono membantah adanya penyiksaan yang dilakukan Anggota Sabhara Polda Sumatera Barat. Dia menyatakan hal itu hanya pelanggaran prosedur. Menurutnya, tindakan anggotanya tersebut belum masuk kategori penyiksaan.

“Saya sudah tanya kepada anggota yang diperiksa, berapa kali dan apa yang mereka lakukan. Mereka menjawab satu kali memukul dan ada yang menjawab menendang. Semuanya sudah tanyai dan anggota kami menjawab dengan jujur,” kata Suharyono.

Pengertian penyiksaan

Bantahan Polda Sumbar soal adanya penyiksaan dalam kasus kematian Afif menimbulkan ambigu. Pihaknya menyebut anggotanya telah mengakui melakukan tindakan pemukulan dan penendangan dalam melakukan pemeriksaan. Kendati demikian, perlakuan itu alih-alih disebut penyiksaan tetapi sebagai “pelanggaran prosedur”.

Lantas apa sebenarnya makna penyiksaan?

Menurut KBBI, penyiksaan diartikan sebagai tindakan menyiksa. Adapun menyiksa adalah menghukum dengan menyengsarakan (menyakiti, menganiaya, dan sebagainya). Penyiksaan juga dimaknai sebagai tindakan yang menimbulkan rasa sakit yang parah pada seseorang sebagai hukuman karena menyembunyikan informasi rahasia tertentu.

Menurut Wakil Ketua Eksternal Komnas Ham Amiruddin, penyiksaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang menimbulkan rasa sakit, baik penderitaan jasmani atau rohani untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dan dilakukan pejabat publik. Hal itu disampaikannya dalam Pelatihan Penguatan Penegakan Hukum melalui Pendidikan Hukum Berkelanjutan bagi Organisasi Advokat.

“Penyiksaan terjadi mulai saat penangkapan, pemeriksaan, penahanan, hingga selama menjalankan hukuman,” kata Amir pada Selasa, 2 November 2021 lalu, dilansir dari Komnasham.go.id

Di Indonesia, konsep mengenai penyiksaan sesuai Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Regulasi tersebut merupakan ratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment Punishment (UNCAT).

Kendati sudah ada regulasi larangan penyiksaan, menurut Amir, perbuatan ini masih lazim terjadi dan kerap digunakan lembaga penegak hukum kepada tersangka suatu perkara demi mengungkap informasi. Amir menegaskan bahwa tindakan penyiksaan bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia. Pengakuan dan jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan telah diatur pada Pasal 28G Ayat 2.

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain,” kata Amir.

Dinukil dari Jdih.banyuwangikab.go.id, penyiksaan dalam hukum Indonesia masuk kategori tindak pidana penganiayaan. Tindak pidana penganiayaan merupakan perlakuan sewenang-wenang dalam rangka menyiksa atau menindas orang lain. Penganiayaan yang mendatangkan rasa sakit atau luka pada badan atau anggota badan orang lain merupakan tindakan melawan hukum.

Suatu penyiksaan dapat dikategorikan penganiayaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 90 KUHP apabila korban:

1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.

2. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.

3. Kehilangan salah satu pancaindera.

4. Mendapat cacat berat.

5. Menderita sakit lumpuh.

6. Terganggu daya pikir selama empat minggu atau lebih.

7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Selanjutnya: 6 jenis bentuk tindak pidana penganiayaan

Adapun Tindak pidana penganiayaan dapat terjadi secara sengaja dan terkadang karena kesalahan. Penganiayaan yang disengaja mengindikasikan kesengajaan yang dilakukan oleh pelaku dengan sikap permusuhan. Ada enam jenis-jenis bentuk tindak pidana penganiayaan, yaitu:

1. Penganiayaan biasa

Penganiayaan biasa tertuang dalam Pasal 351 KUHP, yaitu hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. Dalam penganiayaan biasa terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu:

• Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian. Pelaku dihukum dengan hukuman penjara 2 tahun 8 bulan atau denda empat ribu lima ratus rupiah.

• Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Pelaku dihukum dengan hukuman penjara paling lama 5 tahun.

• Penganiayaan mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara dan paling lama 7 tahun.

• Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

2. Penganiayaan ringan

Penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP. Adapun penganiayaan ringan berupa bukan penganiayaan berencana, bukan penganiayaan yang dilakukan terhadap keluarga, pegawai yang bertugas, memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa, serta tidak menimbulkan penyakit maupun halangan untuk menjalankan pekerjaan, dan pencaharian.

Penganiayaan ringan diancam maksimum hukuman penjara 3 bulan atau denda tiga ratus ribu rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan Pasal 356 KUHP, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan.

3. Penganiayaan berencana

Ada tiga macam penganiayaan berencana yang tertuang dalam Pasal 353 KUHP:

• Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum penjara paling lama 4 tahun.

• Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum penjara paling lama 4 tahun.

• Penganiayaan berencana yang berakibat kematian yang dapat dihukum penjara paling lama 9 tahun.

4. Penganiayaan berat

Berdasarkan Pasal 354 KUHP, penganiayaan berat adalah perbuatan yang dengan sengaja membuat orang lain terluka berat. Diancam pidana penjara paling lama 8 tahun. Jika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

5. Penganiayaan berat berencana

Penganiayaan berat berencana tertuang dalam gabungan Pasal 354 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan berat dan Pasal 353 ayat 2 KUHP tentang penganiayaan berencana. Dalam pidana ini harus memenuhi unsur penganiayaan berat maupun penganiayaan berencana.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | FACHRI HAMZAH | AMELIA RAHIMA SARI

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus