Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Yang, seorang warga Beijing, akhirnya berani muncul di tempat umum pada satu siang di Taman Danau Shichahai, Senin, 2 Januari 2023. Pencabutan peraturan ketat Covid-19 di China pada bulan lalu memungkinkannya bermain kereta luncur di danau beku yang ada di ibu kota tersebut, walau ada risiko penyebaran yang tak terkendali. "Setelah berakhirnya penguncian ini, kami tidak perlu lagi memindai kode kesehatan dan juga tidak perlu memeriksa kode perjalanan. Jadi kami bebas sekarang," katanya.
Baca: Media Pemerintah China: Kasus Covid Relatif Ringan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
China mencabut kebijakan nol-Covid usai gelombang protes besar-besaran yang membuat jabatan Xi Jinping sebagai presiden terancam. Akibatnya gelombang infeksi telah meletus secara nasional sejak kebijakan nol-Covid dicabut, sistem kesehatan semakin merapuh, dan memicu kekhawatiran internasional yang mendorong beberapa negara untuk memberlakukan pembatasan pada pelancong dari China.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pekan lalu, perusahaan data kesehatan yang berbasis di Inggris, Airfinity, memperkirakan sekitar 9.000 orang mungkin meninggal setiap hari akibat Covid-19 di China. Mereka menyebut, kematian kumulatif di China sejak 1 Desember bisa mencapai 100.000, dengan infeksi mencapai 18,6 juta. Airfinity memperkirakan infeksi Covid di China mencapai puncak pertamanya pada 13 Januari, satu pekan jelang Imlek, dengan 3,7 juta infeksi setiap hari.
China hanya melaporkan 15 kematian akibat COVID-19 sejak mulai melonggarkan pembatasan pada 7 Desember, tak lama setelah itu mempersempit kriteria pencatatan kematian akibat virus tersebut. China hanya menghitung kematian pasien Covid yang disebabkan oleh pneumonia dan gagal napas sebagai terkait Covid. Penderita yang punya komorbid, dianggap meninggal karena penyakitnya meski dia terpapar virus corona.
Perbedaan data ini membuat WHO meminta China agar lebih terbuka. WHO mendesak pejabat China berbagi data sehingga negara lain dapat merespons secara efektif. Peningkatan infeksi di China telah memicu kekhawatiran di seluruh dunia dan pertanyaan tentang pelaporan datanya. Angka resmi yang diklaim pemerintah China tentang kasus Covid-19 dan kematian rendah sementara rumah sakit dan kamar mayat kewalahan.
Virus Diprediksi Telah Bermutasi
China telah diperingatkan akan menghadapi berbagai gelombang infeksi virus corona karena varian Omicron bermutasi menjadi lebih baik dalam menyebarkan dan menghindari kekebalan. Ahli virologi Shan-Lu Liu dari The Ohio State University di Amerika Serikat mengatakan bahwa ketika perlindungan vaksin berkurang, tingkat infeksi ulang akan meningkat. “China kemungkinan akan mengikuti tren, dan mengulangi gelombang infeksi seperti yang terlihat di bagian lain dunia,” kata Liu dikutip CNA.
Para ilmuwan masih mencoba memahami dasar-dasar mengapa beberapa orang yang sembuh dari Covid-19 bisa terinfeksi lagi. Namun Liu mencatat, Omicron yang merupakan varian dominan di seluruh dunia selama lebih dari setahun, memiliki tingkat infeksi ulang tertinggi.
Namun adanya varian Covid baru, diragukan oleh Direktur Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan, Chris Murray. Ia menekankan kemungkinan ada miliaran infeksi omicron di seluruh dunia tahun ini, tetapi tidak ada varian baru yang muncul, dan hanya subvarian omicron.
“Itulah mengapa saya akan menempatkan risiko yang cukup rendah bahwa ada varian baru yang berbahaya di China,” kata Murray, dilansir CNBC. Dia mencatat bahwa beberapa karakteristik yang sangat khusus yang akan diperlukan untuk varian baru muncul dan menggantikan omicron.
Ahli virologi Universitas Hong Kong Jin Dong-yan mengatakan pada podcast independen bulan lalu bahwa orang tidak perlu takut dengan risiko varian baru yang lebih mematikan di China. "Banyak tempat di seluruh dunia telah mengalami (infeksi skala besar) tetapi varian yang lebih mematikan atau patogen tidak muncul setelahnya," kata Jin.
"Saya tidak mengatakan bahwa munculnya strain (yang lebih mematikan) sama sekali tidak mungkin, tetapi kemungkinannya sangat kecil."
China Menilai Barat Berlebihan
Media pemerintah China menilai sorotan Barat terhadap keparahan kasus Covid-19 yang disebut terlalu dibesar-besarkan. Dalam sebuah artikel pada hari Selasa, People's Daily, surat kabar resmi Partai Komunis China, mengutip beberapa pakar China yang mengatakan penyakit yang disebabkan oleh virus corona itu relatif ringan bagi kebanyakan orang.
"Penyakit parah dan kritis mencapai 3 hingga 4 persen dari pasien yang terinfeksi saat ini dirawat di rumah sakit yang ditunjuk di Beijing," kata Tong Zhaohui, Wakil Presiden Rumah Sakit Chaoyang Beijing kepada surat kabar itu.
Kang Yan, kepala Rumah Sakit Tianfu di China Barat, mengatakan bahwa dalam tiga minggu terakhir, 46 pasien yang sakit kritis telah dirawat di unit perawatan intensif, terhitung sekitar 1 persen dari infeksi bergejala. Lebih dari 80 persen dari mereka yang tinggal di provinsi Sichuan barat daya telah terinfeksi, kata otoritas kesehatan setempat.
Simak: Rumah Duka di Shanghai Kewalahan, Kremasi Dua Jasad Sekaligus?
CHANNEL NEWS ASIA | CNBC | REUTERS