Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Strategi Gojek dan Grab Hadapi Pandemi

Gojek dan Grab disebut mentransformasikan model bisnis mereka saat pandemi. Apa saja strategi mereka?

12 November 2020 | 17.30 WIB

Strategi Gojek dan Grab Hadapi Pandemi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pandemi yang berjalan hampir sembilan bulan masih menggerogoti pendapatan para pengemudi transportasi online baik Gojek maupun Grab. Berdasarkan catatan Gabungan Aksi Roda Dua alias Garda, penghasilan para pengemudi ojek online turun sampai 60-70 persen di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan sekitar 40-50 persen di masa PSBB transisi.

Ketua Presidium Nasional Gabungan Aksi Roda Dua Igun Wicaksono mengatakan kondisi tersebut terjadi akibat anjloknya permintaan layanan transportasi selama masa PSBB. "Saat PSBB kan kami tidak bisa membawa penumpang," ujar dia kepada Tempo, Kamis, 12 November 2020.

Setelah PSBB dikendorkan pun, ujar Igun, situasi tidak lantas kembali ke sedia kala. Pasalnya, tidak semua aktivitas kembali normal. Misalnya saja, sekolah dan perkuliahan yang masih dilakukan secara daring. Belum lagi, para karyawan yang memilih naik kendaraan pribadi.

Akibatnya, kata dia, permintaan layanan ojek online pun hanya naik sekitar 20-30 persen saja. Igun merasakan adanya kenaikan dari permintaan layanan pesan antar makanan maupun belanjaan yang mencapai 50 persen dari situasi normal. Akan tetapi, secara kumulatif penghasilan para driver tetap ambles ketimbang masa normal.

Untuk mendapat penghasilan lebih, para pengemudi pun, menurut Igun, harus menambah jam kerjanya setiap hari. Apabila biasanya pengemudi bisa mencapai target dengan hanya 'narik' sepuluh jam, kini mereka mesti menambah waktu beredarnya hingga menjadi 12 jam. "Tapi ini tetap enggak menutup penghasilan normal, karena jauh banget."

Seperti halnya Igun, penasihat komunitas Grab Melipir 3, Adi Sumanta, merasakan pendapatan dari ngojek online turun hampir 40 persen ketimbang situasi normal. Ia mengatakan penerimaan itu tetap turun meskipun permintaan layanan pesan makanan meningkat.

"Tapi komisi food order lebih kecil dan waktu yang dihabiskan lebih banyak karena perlu mengantre juga dalam memesan orderan," ujar Adi. Belum lagi, ia mengatakan para pengemudi kerap tekor karena mendapat pesanan makanan fiktif. "Jadi pendapatan jelas terasa berbeda walau pesanan makanan lebih banyak."

Pukulan pada pesanan layanan transportasi daring diamini oleh Co-CEO Gojek, Kevin Aluwi. Berdasarkan data yang dihimpun perusahaannya, Kevin mengatakan pendapatan para mitra cukup terdampak akibat pandemi. "Pendapatan mitra driver ada penurunan karena volume transportasi cukup terpukul, jadi ada dampak negatifnya di masa pandemi ini," ujar dia.

Namun demikian, ia menuturkan konsumsi masyarakat untuk layanan makanan dan belanja meningkat dibanding situasi normal. Bahkan, perseroan mencatat kenaikan nilai transaksi kotor layanan grocery mencapai 500 persen pada 2020. Ekosistem merchant GoFood juga tercatat tumbuh 80 persen di tengah pandemi. Saat ini, layanan tersebut telah menggandeng 900 ribu mitra dari sebelumnya 500 ribu di 2019.

"Orang yang baru memulai usaha mencari mulai solusi berbasis online. Kami memberi solusi lengkap dan inklusif untuk UMKM di masa sekarang," ujar Kevin.

Ia menilai situasi pandemi yang mendorong masyarakat untuk berbelanja online ketimbang offline menjadi peluang baik bagi ekosistem bisnis perseroan.

Sebelumnya, Gojek Indonesia telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 430 karyawan dan menutup 2 layanan non-inti, yakni GoLife (GoMassage dan GoClean) dan GoFood Festival akibat pandemi Covid-19.

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo mengatakan situasi pada 2020 cukup menantang untuk perusahaan dan ekosistem bisnisnya. Untuk itu, perseroan tetap berfokus berinvestasi pada inovasi, otomatisasi, dan sumber daya manusia.

Yang teranyar, ia mengatakan Gojek telah menyatukan aplikasi perusahaannya untuk layanan di empat negara, yaitu Indonesia, Singapura, Vietnam, dan Thailand. Dengan strategi itu, Andre yakin perusahaan bisa memberikan layanan lebih cepat dan bisa menjangkau pasar internasional lebih luas lagi.

Andre mengklaim strategi tersebut membuat layanan inti perseroan mencetak laba operasional di luar biaya kantor pusat pada 2020. Selain itu, nilai transaksi kotor perseroan naik 10 persen atau mencapai sekitar Rp 170 triliun pada 2020.

Selain Gojek, perusahaan teknologi lainnya, Grab, juga sempat mengalami pukulan akibat pandemi Covid-19. Juni lalu, perusahaan yang bermarkas di Singapura dan Indonesia ini memberhentikan 360 karyawannya. Perseroan juga menutup sejumlah bisnis non-esensial. Grab fokus pada layanan ride-hailing, pengiriman, pembayaran, dan layanan keuangan untuk mengatasi situasi tersebut.

Dilansir dari Reuters, Presiden Grab Ming Maa, mengumumkan bahwa bisnis perusahaannya mulai pulih pada kuartal III 2020. "Pemulihan bisnis kami terus berlanjut, dengan pendapatan grup pada kuartal III naik lebih dari 95 persen dibandingkan posisi sebelum adanya Covid-19," ujar dia, Kamis, 22 Oktober 2020.

Sebagai langkah strategis, Grab meresmikan Tech Center di Indonesia yang juga akan menjadi pusat inovasi kawasan Asia Tenggara. Tech Center ini akan didedikasikan untuk mengembangkan berbagai solusi teknologi untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Asia Tenggara.

Tech Center ini merupakan kelanjutan dari komitmen jangka panjang Grab di Indonesia, dan merupakan salah satu dari Dual Headquarter Grab. Pusat inovasi ini berlokasi di Gama Tower dan menempati sembilan lantai dengan luas wilayah lebih dari 12.000 meter persegi. Kantor pusat kedua dan pusat inovasi itu adalah bagian dari investasi Grab sebesar US$ 2 miliar untuk Indonesia pada periode lima tahun sejak diumumkan pada 2019 lalu.

“Grab memiliki komitmen jangka panjang dan berkelanjutan di Indonesia, rumah bagi Dual Headquarter kami. Grab Tech Center ditujukan untuk meningkatkan kapabilitas teknologi kami di Indonesia dalam rangka membangun berbagai solusi yang dibutuhkan masyarakat Indonesia," ujar President of Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata dalam konferensi video, Selasa, 10 November 2020.

Grab Tech Center menaungi tim yang fokus pada penelitian dan pengembangan GrabKios, Merchant, dan GrabFood, dengan serangkaian divisi lengkap yang diperlukan untuk pengembangan produk yang menyeluruh. Hal ini mencakup manajemen produk, desain produk, analisis produk, software engineering, hingga quality assurance engineering.

Perseroan berencana memperkuat kapabilitas di backend engineering, mobile front-end engineering, serta site reliability engineering. Salah satu tanggung jawab utama tim Tech Grab Indonesia adalah mengembangkan platform berbagai produk digital milik perseroan. Melalui platform produk digital, tim ini akan membangun berbagai jenis produk guna menciptakan sumber pendapatan tambahan bagi para mitra pengemudi dan mitra agen.

Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi memastikan bahwa pandemi tidak akan mengganggu komitmen investasi perseroan, khususnya di Tanah Air. Bahkan Grab baru saja memimpin pendanaan seri B untuk perusahaan teknologi finansial LinkAja selaku pemegang saham minoritas. Pendanaan ini juga dilakukan oleh Telkomsel, BRI Ventura Investama dan Mandiri Capital Indonesia dengan nilai US$ 100 juta.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta perusahaan digital yang ada di Tanah Air untuk menjadi kunci utama bagi masyarakat untuk mempertahankan mata pencaharian di tengah pandemi dan masa mendatang.

"Pandemi dan pelemahan ekonomi adalah tantangan yang berat buat kita. Namun sekaligus juga kita manfaatkan untuk melakukan reformasi berbagai bidang dalam kehidupan kita bernegara," ujar Luhut.

Ia yakin Indonesia bisa keluar dari situasi sulit ini dan kembali ke masa normal. Apalagi, ia melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai menunjukkan adanya pertumbuhan meskipun masih berada di zona negatif bila dibandingkan dengan tahun lalu.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan saat ini perusahaan transportasi online sedang melakukan transformasi model bisnis dari pesan antar penumpang menjadi bisnis kuliner, dan teknologi finansial.

"Misalnya Grab tengah gencar mendorong unit bisnis GrabMerchant yakni jaringan retail pelaku usaha mikro untuk mempermudah mendapatkan bahan baku dan juga pasar yang lebih luas. Sementara Gojek membuka Cloud Kitchen, sejenis sharing dapur yang relatif terjangkau untuk mendukung bisnis kuliner," ujar Bhima.

Ia mengatakan secara umum terjadi kenaikan hingga 21 persen pesan antar makanan online selama masa pandemi. Di sisi yang lain, peran dompet digital juga sangat menentukan kelangsungan bisnis saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Dari data Wearesocial terjadi pertumbuhan sebesar 17 persen selama masa pandemi," tutur dia. Pertumbuhan dompet digital Indonesia, kata Bhima, bahkan lebih tinggi dibanding negara maju seperti Kanada, Singapura, dan Korea Selatan.

Menimbang lansekap bisnis tersebut Bhima meyakini investor pun akan berburu masuk ke perusahaan seperti Grab dan Gojek. Syaratnya, perusahaan bisa membaca pasar dan model bisnis secara solid. "Mereka melihat jangka panjang bukan hanya pada saat pandemi atau resesi ekonomi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CAESAR AKBAR

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus