Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sukendro, Adam Malik, dan Tas Hitam

Bantuan tersamar Amerika Serikat disalurkan kepada Angkatan Darat. Melalui Brigadir Jenderal Sukendro disebut-sebut bantuan itu diterima.

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telegram tertanggal 1 November 1965 itu dikirim Duta Besar Marshall Green dari Jakarta kepada Menteri Luar Negeri Dean Rusk di Washington, DC. Duta Besar Green melaporkan bahwa seorang perwira senior Angkatan Darat Indonesia meminta pasokan obat-obatan, peralatan komunikasi taktis, dan senjata kaliber kecil. Permintaan yang sulit ditolak juga tidak bisa serta-merta dipenuhi itu membuat Green meminta pandangan Menteri Rusk.

Perwira senior Angkatan Darat yang dimaksud dalam telegram itu adalah Brigadir Jenderal Achmad Sukendro. Jabatannya menteri negara yang diperbantukan pada presidium Kabinet Dwikora I. Ia juga dikenal sebagai tangan kanan Jenderal Abdul Haris Nasution untuk urusan intelijen karena pernah menjabat Kepala Intelijen Markas Besar Angkatan Darat.

Teddy Rusdy, Asisten Perencanaan Umum Panglima ABRI periode 1986-1992, kepada Tempo membenarkan bahwa Sukendro merupakan tokoh intelijen Angkatan Darat. "Jenderal Sukendro memang orang dekat Pak Nas," ujar purnawirawan TNI Angkatan Udara dengan pangkat terakhir marsekal muda yang aktif di dunia intelijen sejak 1974 itu.

Sukendro termasuk kelompok yang dijuluki oleh Amerika sebagai brain trust (pemikir) bersama Mayjen Suprapto, M.T. Haryono, dan S. Parman. Dalam briefing CIA pada 15 Oktober 1965 untuk Presiden Lyndon B. Johnson, Sukendro disebut sebagai satu-satunya anggota brain trust yang selamat dari pembunuhan. Dalam penjelasan tersebut dikatakan Sukendro telah menginformasikan kepada staf Amerika di Jakarta bahwa suasana sangat genting dan komunis masih kuat.

Menurut David Jenkins dalam bukunya, Suharto and His Generals: Indonesian Military Politic 1975-1983, Sukendro berperan aktif dalam militer tapi terkadang kontroversial. Saat menjadi kepala intelijen, dia terlibat skandal penyelundupan di Pelabuhan Tanjung Priok. Ketika skandal itu dibeberkan kepada umum oleh Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja, ada percobaan pembunuhan terhadap Gatot, yang diduga pelakunya Sukendro.

"Tahun berikutnya dia aktif mendukung Liga Demokrasi, organisasi yang menentang rencana Sukarno mengendalikan DPR. Ketika liga itu dilarang pada 1961, Sukendro dicopot dan dikirim ke luar negeri," tulis Jenkins.

Pada masa itu dia disebutkan menjabat atase militer di KBRI Washington. Selama di Amerika, dia menjalin kontak dengan CIA. Menurut Jenkins, Sukarno sendiri yang memanggil pulang Sukendro pada akhir 1963. Ia dimasukkan ke Kabinet Dwikora I sebagai menteri negara, antara lain bersama Oei Tjoe Tat dan Njoto. Ketika meletus Gerakan 30 September, Sukendro sedang berada di Peking sebagai wakil pemerintah RI dalam peringatan hari kelahiran Cina, 1 Oktober. Ia berhasil keluar melalui Hong Kong dan pulang ke Jakarta.

Di antara dokumen nomor 164-183 yang menjadi bagian dari bab tentang Indonesia dari buku Foreign Relations of the United States (FRUS) 1964-1968: Indonesia, Malaysia, Singapore, Philippines, Volume XXVI, nama Sukendro disebut 76 kali. Hal itu memperlihatkan betapa dia berperan besar melobi bantuan tersembunyi Amerika untuk Angkatan Darat.

Seperti terbaca dalam dokumen nomor 171 terdapat telegram dari James M. Wilson Jr., orang nomor dua di Kedutaan Amerika di Bangkok, kepada Menteri Rusk. Telegram itu menyatakan bahwa Sukendro akan mengutus wakil-wakilnya berdiskusi dengan pihak Amerika mengenai daftar dan spesifikasi barang secara detail yang dibutuhkan Angkatan Darat. Kolonel Achmad Soemantri, misalnya, mengurus daftar obat-obatan; Kolonel Firmansjah mengurus kebutuhan persenjataan; dan Kolonel Polisi Soebianto untuk peralatan komunikasi.

Di dokumen lain, setelah bertemu dengan Sukendro pada 10 November 1965, Wilson melaporkan kepada Menteri Rusk bahwa Sukendro membutuhkan tiga basis peralatan komunikasi, yakni perangkat radio komunikasi portabel yang tidak dimiliki pemimpin Angkatan Darat di wilayah Jakarta. Kedua, sistem jaringan telepon khusus penghubung markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dengan kodam di Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Banjarmasin. Dan sistem komunikasi yang lebih efektif untuk Jawa Tengah, area konsentrasi penumpasan PKI.

Hanya satu jenis peralatan komunikasi yang diakui terang-terangan oleh pejabat Amerika. Duta Besar Green dalam bukunya, Indonesia Crisis and Transformation, menyebutkan tiga unit pertama handie-talkie merek Motorola P-31 milik kedutaan yang tidak pernah dipakai diberikan kepada Nasution untuk kebutuhan pengawal Nasution melindungi keluarganya. "Selanjutnya, bantuan walkie-talkie atau handie-talkie atau peralatan terkait (total bernilai tak lebih dari US$ 40 ribu) diberikan kepada Soeharto untuk merespons permintaannya," tulis Green.

Selain itu, menurut Green, yang sempat diwawancarai Tempo pada akhir Juli 1990, keinginan membantu lebih besar terhalang anggaran yang dibatasi oleh Kongres. "Yang dapat segera kami lakukan adalah membantu di bidang medis dan dengan program PL-480." PL-480 atau Public Law 480 merupakan bantuan pangan Amerika, seperti beras, kapas, minyak sayur, dan gandum, untuk negara berkembang yang dapat mengimpor memakai mata uang lokal bukan dolar Amerika.

Tapi pengakuan Green itu berbeda dengan investigasi yang pernah dilakukan Kathy Kadane, wartawati kantor berita States News Service. Dalam artikel di situs http://www.namebase.org/kadane.html, Kadane menulis, berdasarkan pengakuan bekas pejabat kedutaan, CIA memberikan radio Collins KWM-2, perangkat pemancar-penerima frekuensi tinggi yang cukup canggih saat itu. Perangkat radio itu diangkut dari Pangkalan Angkatan Udara Amerika di Clark, Filipina, dengan Hercules C-130 dan dikirim langsung ke markas Kostrad.

Kadane menjadi terkenal karena artikelnya di Washington Post edisi 21 Mei 1990 berjudul "U.S. Officials' List Aided Indonesian Bloodbath in '60s" yang menuding CIA dan Kedutaan Besar Amerika memberikan daftar 5.000 nama dan identitas tokoh PKI di pusat, provinsi, dan kota madya kepada Angkatan Darat. Dengan daftar itu, pengejaran dan pembantaian orang-orang PKI menjadi mudah sehingga ratusan ribu nyawa melayang.

Artikel itu disiapkan Kathy sejak 1983. Bahan terpenting dari tulisan ialah wawancaranya dengan Robert J. Martens, anggota staf bagian politik Kedutaan Amerika di Jakarta pada 1965. Martens saat beberapa tahun lalu bertemu dengan Tempo mengaku menyusun daftar tokoh PKI itu dari kliping Harian Rakjat dan memberikannya kepada Tirta Kentjana "Kim" Adhyatman, asisten Adam Malik (saat itu Menteri Koordinator Ekonomi Terpimpin). Kim lantas memberikan daftar itu kepada Adam Malik.

Kim, kepada Tempo pada 1990, membenarkan kabar bahwa ia menerima nama-nama tokoh PKI dari Martens. Tapi dia membantah menerima daftar tertulis 5.000 nama. Nama-nama itu ia terima "secara lisan" bila datang ke rumah Martens. Martens selalu menunjukkan nama baru, yang menurut Kim banyak yang belum ia ketahui. "Biro khusus PKI, orang-orangnya kan rahasia, tapi Martens punya daftarnya," kata Kim, yang pernah jadi penasihat editor kantor berita KNI.

Soal Adam Malik juga ada dalam dokumen nomor 179, tertanggal 2 Desember 1965, yang menampilkan telegram Marshall Green kepada Asisten Menteri Luar Negeri untuk Timur Jauh William P. Bundy. "Kita menyediakan Rp 50 juta untuk Malik, sesuai dengan permintaannya untuk membiayai gerakan KAP-Gestapu," tulis Green. Green meyakinkan sangat kecil kemungkinan terbongkarnya keterlibatan Amerika dalam misi ini. "Sebagaimana operasi 'tas hitam' yang selalu kita lakukan," tulisnya. "Tas hitam" adalah kata sandi untuk misi rahasia Amerika pada zaman itu.

Perantara antara CIA dan Angkatan Darat tak mesti orang Indonesia. Menurut Tim Weiner dalam buku Legacy of Ashes: The History of CIA, Adam Malik direkrut oleh Clyde McAvoy, perwira CIA di Jakarta, melalui perantara seorang pengusaha Jepang. Analisis sejarawan Jepang, Aiko Kurosawa, pengusaha itu adalah Shigetada Nishijima, Direktur perusahaan minyak Jepang, North Sumatra Oil Development Corporation Company. Tidak begitu jelas seperti apa kedekatan Nishijima dengan CIA, tapi yang pasti pada 1958 ia menulis buku sejarah administrasi militer Jepang selama Perang Dunia II yang didukung dana oleh Ford Foundation.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus