Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Tarif Pajak Hiburan yang Tak Menghibur Industri

Pelaku usaha industri hiburan jenis diskotek hingga spa memprotes rencana kenaikan pajak hiburan hingga 40-75 persen. Pemerintah menjanjikan insentif

25 Januari 2024 | 06.00 WIB

Jakarta Naikkan Pajak Diskotek Cs Jadi 40%, Pajak Hiburan Lain 10%
Perbesar
Jakarta Naikkan Pajak Diskotek Cs Jadi 40%, Pajak Hiburan Lain 10%

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Agnes Lourda Hutagalung sudah membayangkan harus menanggung beban pajak 40 persen atas layanan yang diberikan di tempat miliknya, Gaya Spa Wellness, di kawasan DKI Jakarta. Bukan ditanggung perusahaan, mau tak mau pajak baru tersebut akan dibebankan konsumen. Dampaknya harga layanan Gaya Spa bakal melompat jauh.

Tarif pajak baru itu diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, salah satunya mengatur pajak hiburan tertentu sebesar 40 persen. DKI Jakarta mengubah tarif pajak mengacu pada Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah alias UU HKPD yang baru direvisi pada 2022 lalu. Beleid ini menyebabkan pajak hiburan jenis diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa seperti Gaya Spa Wellness kena tarif pajak batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen. Jenis hiburan ini menjadi satu-satunya kelompok dari 12 jenis hiburan tertentu yang dikenai tarif pajak batas bawah dan atas, sebagaimana bunyi Pasal 55 UU HKPD. 

Sementara sebelas jenis lainnya yaitu tontonan film; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; dan panti pijat dan pijat refleksi, tidak dikenai tarif tinggi. 

Setelah DKI Jakarta mengumumkan tarif pajak yang baru, Lourda dan manajemen spa miliknya itu belum menginformasikan kepada para pelanggannya. Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) itu menolak tarif baru diterapkan. “Kami nggak mungkin men-share ini, kalau men-share ini, pilihannya ini bisa heboh lho,” ujar dia di kawasan Jakarta Selatan, pada Kamis, 18 Januari 2024.

Lourda menolak karena industri tidak pernah diajak bicara mengenai aturan tersebut selama proses penyusunan undang-undang. Baik oleh pemerintah atau pun Dewan Perwakilan Rakyat. Lourda mengatakan industri sudah sempat menghadap ke DPR untuk membahas aturan itu. Namun mereka diminta berbicara dengan Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Ketika pelaku industri spa menghubungi Kemenparekraf, tak ada respons baik dari pihak kementerian.

“Jadi kalau ada satu pun unsur pemerintah yang bilang dia berkoordinasi dengan industri, bohong,” kata dia.

Pengusaha karaoke di DKI Jakarta, Hana Suryani, juga menyoroti penerapakan tarif pajak hiburan itu. Dia menyebut, kebijakan ini berdampak kepada pelanggannya. Hana bimbang apakah harus menurunkan harga agar konsumen tetap datang atau mempertahankan harganya dengan potensi pengunjung berkurang. “Langsung drop (jumlah pelanggan). Sementara kan kami saja sudah banting-banting harga."

Ketua Perkumpulan Pengusaha Hiburan Indonesia (Perphindo) itu tak merinci berapa banyak jumlah tamu maupun penurunannya setelah penerapan pajak 40 persen itu. Sebab, jumlah tamu di setiap tempat karaoke berbeda-beda.

Sebelumnya, pengusaha hiburan lain juga mengeluh dan memprotes pengenaan pajak hiburan hingga 75 persen oleh sejumlah pemerintah daerah. Salah satunya Inul Daratista, pemilik karaoke Inul Vizta, yang memprotes pengenaan tarif pajak tersebut. Menurut dia, tarif tersebut akan membunuh industri hiburan karena pajak itu mau tak mau akan dibebankan ke konsumen.

Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Perry Markus juga menyebutkan para pengusaha spa di Bali langsung mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat, 5 Januari 2024. Dia menjelaskan materi yang diuji itu yakni terkait Pasal 55 dan Pasal 58 UU HKPD. Menurut dia, pengusaha spa ingin meninjau kembali posisi industri spa yang menurut mereka bukan termasuk jasa hiburan melainkan kebugaran atau kesehatan (wellness). 

Alasan Kenaikan Pajak Hiburan

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana mengatakan alasan menaikkan tarif pajak diskotek dan sejenisnya karena hiburan tersebut dinikmati oleh masyarakat tertentu. Sehingga pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha. Selama ini, tarif pajak hiburan jenis itu hanya tiga puluh lima persen. “Guna mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif pajak rendah guna meningkatkan omset usaha,” kata dia di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa, 16 Januari 2024. 

Sementara, Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung membantah bahwa industri spa hanya dinikmati masyarakat tertentu seperti orang kaya. “Manfaat spa itu apa? Prevention (pencegahan),” ujar dia.

Spa, kata Lourda, berkaitan dengan tubuh manusia. Spa bisa meningkatkan antibodi dan imunitas. Jika keduanya menurun, bisa mendatangkan penyakit. Untuk mencegah itu terjadi, Lourda berujar, tubuh butuh spa dengan berbagai pendekatan alami. Lourda heran mengapa spa masuk ke dalam kategori hiburan.  “Jadi, untuk kalangan siapa? Ya, berlaku untuk semua. Emangnya yang punya hanya orang kaya? Petani nggak punya? Ya punyalah,” tutur dia.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menjelaskan, asumsi yang digunakan pemerintah dan DPR dalam menyusun undang-undang adalah, hiburan jenis diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa itu merupakan kemewahan. Jadi  ketika dirumuskan suatu kebijakan yang berakhir pada norma hukum, pasti ada rasionalitas yang digunakan.

Rasionalitas tersebut bisa berbeda antara perumus kebijakan dan masyarakat luas. Pemerintah dan DPR memandang perlu karena tujuan tarif mahal tersebut adalah untuk mengendalikan dampak negatif dari jasa hiburan tertentu tersebut. “Sementara itu, pelaku usaha yang terdampak pasti akan melihat sisi yang berlawanan,” ucap Prianto.

Industri Hiburan Belum Pulih dari Pandemi 

Lourda mengatakan kenaikan pajak hiburan yang menerpa untuk industri spa cukup memberatkan. Apalagi hingga saat ini masih banyak tempat layanan spa yang tutup imbas pandemi Covis-19 yang terjadi beberapa tahun ke belakang.

Berdasarkan data WHEA, ada sekitar 3.500 industri spa di Indonesia. Mayoritas berada di DKI Jakarta dan Bali. “Itu 30-35 persen tutup karena Covid-19 dan tidak berhasil bangkit kembali sampai detik ini,” ujar Lourda.

Ketua Perkumpulan Pengusaha Hiburan Indonesia (Perphindo) Hana Suryani menuturkan, usaha karaoke juga masih belum kembali normal seperti sebelum Covid-19. Kenaikan pajak ini pun memperparah keadaan. 

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana mengatakan sebenarnya tarif pajak tidak berlaku untuk semua. Bagi usaha yang belum mampu memenuhi tarif 40 persen bisa mendapatkan insentif fiskal. Namun insentif baru bisa diberikan setelah asesmen dari daerah asal industri itu berada. “(Pemerintah daerah) dapat melakukan pengurangan pokok pajaknya, memberikan keringanan, memberikan pembebasan ataupun penghapusan dari pokok pajak,” ucap Lydia.

Insentif fiskal itu merupakan kewenangan dari kepala daerah. Menyesuaikan pada kebijakan prioritas daerah dalam pengelolaan keuangan daerahnya. Sedangkan tata cara pemberian insentif, telah diatur dalam Pasal 99 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 

Namun, Pengamat Pajak yang juga Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan insentif fiskal tidak semudah itu. Dalam Pasal 101 ayat 3 disebutkan jika insentif fiskal diberikan atas permohonan wajib pajak, artinya wajib pajak perlu melakukan pengajuan terlebih dahulu. “Ada benteng birokrasi yang perlu ‘ditembus’ dahulu untuk mendapatkan insentif fiskal,” tutur dia.

Bahkan dalam Pasal 101 ayat 4, insentif tersebut harus diberitahukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Fajry bertanya-tanya, apakah makna diberitahukan ini sama dengan perlu pembahasan dengan DPRD? Karena jika benar ada pembahasan dengan DPRD, pasti akan rumit. “Saran saya, perlu solusi agar pemberian insentif fiskal dipermudah.”

Diprotes di sana-sini, belakangan pemerintah berjanji akan segera menerbitkan surat edaran keringanan pajak hiburan tersebut. Surat tersebut mencakup insentif fiskal berupa keringanan dalam penerapan tarif pajak hiburan. Rencana keringanan tersebut muncul setelah Preisden Joko Widodo menggelar rapat terbatas kabinet di Istana Negara pada Jumat, 19 Januari 2024. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan surat edaran sedang disiapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Airlangga mengatakan Jokowi memerintahkan agar dipersiapkan sejumlah insentif seperti pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 10 persen. Namun teknisnya masih dalam pembahasan. Insentif tersebut berlaku buat sektor pariwisata secara keseluruhan. “Presiden meminta untuk dikaji PPH Badan sebesar 10 persen," kata Airlangga di Istana usai mengikuti rapat kabinet.

Adapun Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengaku telah mendengar polemik aturan pajak hiburan ketika dirinya berada di Bali. Dia langsung meminta kepada sejumlah daerah untuk menunda penerapan kenaikan pajak itu. 

MOH KHORY ALFARIZI | AMELIA RAHIMA SARI | DANIEL A FAJRI

Pilihan Editor: Hotman Paris: Presiden Jokowi Marah Tidak Dapat Laporan Detail Kenaikan Pajak Hiburan

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus