Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Temboknya Direkat Putih Telur Matahari bersinar terik di atas kepala. Jarum jam menunjuk ke angka 11.30. Pada hari yang sibuk itu, Jalan Raya Pangeran Jayakarta riuh-rendah oleh bising kendaraan. Angkutan umum berebut penumpang. Taksi dan mobil pribadi berseliweran di kanan-kiri persilangan Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua Raya, tempat Gereja Sion itu berdiri. Tapi, di dalam rumah ibadat berbentuk kubus dengan daun jendela lebar di dua sisinya itu, dunia seakan berhenti bergerak. Waktu tak beringsut. Memang, atap asli yang terbuat dari sirap sudah berganti dengan genting merah bata sejak tahun 1800. Terakhir, pada tahun 2000, genting tersebut dicuci dan dicat ulang. Menurut Hadi Kusumo, Kepala Kantor Gereja Sion, dua tahun sekali kini Dinas Kebudayaan mengecat tembok gereja. Di samping itu, ketika kekuasaan Belanda berakhir di negeri ini, gedung itu berganti nama pada 1951: dari De Nuiwe Portugessche Buiten Kerk—Gereja Portugis, sebutan pendeknya—menjadi Gereja Sion. (Sion sebuah bukit yang disucikan umat Protestan di Yerusalem. Nama ini diberikan Pendeta Charles Puire, yang pernah aktif di sana dari 1942 hingga 1982.) Tapi bangunan besar yang terletak di tengah-tengah tanah 6.725 meter persegi itu rupanya tak banyak berubah. Ada kesinambungan waktu, ada pula sejuta kisah dari zaman lampau, dari kisah pembangunan yang heroik, kemegahan arsitektur, hingga kiat bertahan di tengah laju modernisasi kota. Ya, sebuah perjalanan panjang dari sebuah pondok terbuka yang digunakan umat Katolik pada 1696—umumnya mereka tawanan yang dibawa ke Batavia oleh perusahaan dagang Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) setelah jatuhnya kekuasaan Portugis di India, Malaya, Sri Lanka, dan Maluku. Bekerja sama dengan Ewout Verhagen, saudagar dari Rotterdam, VOC membangun pondok itu. Rancangan bangunan ini sungguh spektakuler. Sepuluh ribu dolken atau kayu balok bundar digunakan sebagai fondasi. Lantainya dari batu granit, sedangkan tembok sekelilingnya terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan adonan pasir, kapur, putih telur—entah berapa puluh ribu butir telur yang dibutuhkan—dan cairan gula yang tahan panas. Itulah sebabnya, saat Gunung Krakatau meletus pada 1883, bangunan ini tetap kukuh berdiri. Belakangan, ketika imperium VOC merosot, pemerintah Belanda mengambil alih gereja ini dan menjadikannya rumah ibadat Protestan. Sampai kini, Gereja Sion digunakan sebagai tempat ibadat kaum Protestan. Dari segi interior, Gereja Sion amat menakjubkan. Di dalamnya Anda akan mendapati sebuah mimbar khotbah bergaya barok yang elegan, sebuah perabot yang dirancang H. Brujin pada akhir abad ke-18. Mimbar yang dilengkapi dengan tudung kanopi ini ditopang empat tonggak perunggu dan dua tiang ulir bergaya rias lionik. "Mimbar ini dibuat di Pulau Formosa, Taiwan," kata Hadi. Keterangan itu menjelaskan sebaran ornamen bunga-bungaan khas Cina dalam keseluruhan desain mimbar. Selain itu, Anda bisa menjumpai selusin kursi dan meja besar berukir dari kayu hitam (eboni). Perangkat ini biasa digunakan oleh Gubernur Jenderal Belanda saat beribadat. Terdapat pula empat lampu hias (kroonlampen), terbuat dari kuningan padat, yang telah ada sejak gereja ini pertama kali berdiri. Lampu antik bergambar singa, perisai, dan pedang itu—lambang Batavia—dibuat di India. Orgel atau organ seruling, hadiah dari seorang putri pendeta pada abad ke-18, juga bisa dijumpai di gereja tua ini. Alat ini dimainkan dengan memutar alat pengolah udara untuk menyalurkan tekanan udara ke seruling. Sementara itu, seorang pemain lain memencet tuts, mengalunkan nada-nada. Orgel itu dihiasi ornamen berbentuk malaikat dan memiliki 600 pipa penyalur udara. Pada 1800-an, bangunan gereja diperluas dengan tetap mengikuti bentuk asli. Atap yang semula sirap diganti dengan genting. Pada tahun 2000, genting lawas itu diturunkan untuk diperbaiki. "Kami hanya mengecat dan mencuci genting sehingga tampak baru," ucap Hadi. Pada 1978, revovasi dilakukan. Ruang pastor, kantor, dan sekolah dari tingkat TK hingga SMP dibangun. Sebisa mungkin bangunan utama cagar budaya ini dipertahankan keasliannya. Tercatat bahwa Gereja Sion pernah beberapa kali terancam. Pada masa pendudukan Jepang, bala tentara Dai Nippon ingin mengubah bangunan ini menjadi tempat abu tentara yang gugur. Pada 1984, halaman gereja ini menyempit karena harus mengalah pada kepentingan umum: pelebaran jalan. Tapi bisa dikatakan Gereja Sion masih bertahan pada keasliannya, anggun dan gagah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo