Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Teropong Gelap dari Selatan

Intelijen Australia beroperasi di Jakarta mengumpulkan pelbagai informasi. Diduga telah dilakukan sejak dulu. Teknologi memudahkan operasi spionase.

2 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sebulan hubungan Jakarta-Canberra memanas. Penyebabnya, operasi penyadapan oleh badan intelijen Australia terhadap sejumlah pejabat tinggi Indonesia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbongkarnya. Operasi spionase itu dibocorkan Edward Snowden, analis Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat alias NSA yang kemudian membelot.

Dokumen Snowden membeberkan penyadapan terhadap Presiden Yudhoyono dan lingkar istana kepresidenan. Data yang dibocorkan merupakan penyadapan selama 15 hari pada Agustus 2009. Ketika itu, Australia dipimpin Perdana Menteri Kevin Rudd dari Partai Buruh.

Dijalankan oleh otoritas nasional penyadapan Australia, yaitu Australian Signals Directorate (ASD), program dengan sandi Stateroom itu meliputi intersepsi radio, telekomunikasi, dan lalu lintas Internet. Menurut Snowden, seperti dilansir Sydney Morning Herald, 31 Oktober lalu, Stateroom bagian dari program kemitraan spionase "lima mata" antara Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru.

Disebutkan pula, Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta, memiliki fasilitas penyadapan dan menjalankan operasi pengumpulan data intelijen. Dokumen itu juga mengindikasikan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, memiliki fasilitas rahasia yang sama.

Koran Australia itu menulis, negaranya secara intensif dan sistematis membangun jejaring mata-mata dan pengintaian melalui kantor kedutaannya. Operasi rahasia ini tidak diketahui sebagian besar diplomat negara itu meski berkantor di kedutaan. Badan intelijen Singapura dan Korea Selatan disebutkan ikut membantu operasi ini melalui jaringan telekomunikasi di bawah laut di seluruh Asia.

Sumber yang dikutip dalam tulisan itu menyatakan badan intelijen Singapura bahkan sudah bekerja sama dengan ASD untuk mengakses berbagai komunikasi melalui jaringan yang tertanam dari Singapura menuju Prancis. Untuk mendapat akses, perlu bantuan Singapore Telecom (SingTel), yang mayoritas sahamnya dimiliki Temasek Holdings milik pemerintah Singapura.

Kabar itu menyulut kemarahan di Jakarta. Kementerian Luar Negeri meminta klarifikasi dari Kedutaan Amerika Serikat. Duta Besar Australia Greg Moriarty juga diminta memberikan penjelasan. Presiden menarik Duta Besar Nadjib Riphat Kesoema dari Canberra.

Dalam suratnya kepada Perdana Menteri Tony Abbott, Presiden Yudhoyono mempertanyakan kegiatan penyadapan itu. Terutama alasan kenapa dia dan orang di lingkaran Istana menjadi target penyadapan. Melalui surat itu pula Yudhoyono meminta pemerintah Australia meminta maaf.

Jawabannya jauh dari harapan. Selasa pekan lalu, Yudhoyono menyampaikan tiga hal yang ditulis dalam surat Perdana Menteri Australia. Menurut dia, Abbott berjanji tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan hubungan kedua negara. Australia, kata Yudhoyono, berkeinginan menjaga serta melanjutkan hubungan bilateral dan setuju menata kembali kerja sama kedua negara. Abbott juga setuju menyusun protokol dan kode etik untuk mengatur hubungan Jakarta-Canberra.

* * *

SEJAK membuka kedutaan besar di Jakarta pada 1954, Australia menempatkan Australian Secret Intelligence Service (ASIS), badan intelijen negara itu. Sir Walter Crocker, Duta Besar Australia di Indonesia pada 1955-1956, dalam bukunya menyebutkan Defence Signals Directorate (kini ASD) sudah diterjunkan guna membaca pesan diplomatik Indonesia sejak pertengahan 1950-an. Crocker juga menyebutkan Ralf Harry, diplomat yang menjadi Direktur ASIS, bahkan ikut menggarap operasi di balik PRRI/Permesta.

Aksi menguping oleh telik sandi Australia kian aktif sejak 1975. Mereka membangun fasilitas pusat pengawasan di Teluk Shoal, dekat Darwin. Menurut sejumlah informasi, pemancar canggih ditempatkan di Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta Selatan, dan di konsulat jenderal di Denpasar.

Mantan Kepala Badan Intelijen Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Zacky Anwar Makarim merasa pernah menjadi korban penyadapan. Indikasinya, pembicaraannya dengan sejumlah petinggi militer dan Presiden B.J. Habibie tentang Timor Timur pada 1998 menjadi berita utama di satu koran Australia. Berita tersebut bersumber dari data intelijen negara itu.

Menurut mantan Duta Besar Indonesia di Australia, Sabam Siagian, penyadapan terhadap pejabat Indonesia sudah menjadi kebiasaan intel Australia. Karena itu, ia tak begitu kaget operasi ini masih dilakukan. Padahal, kata dia, pada 1994, Perdana Menteri Paul Keating sudah menegaskan bahwa Indonesia adalah sahabat Australia. Di lapangan, intelijen negara itu tak sejalan dengan "persahabatan" kedua negara. "Jika sampai sekarang masih menyadap, itu kejahilan yang keterusan," ujarnya.

Zacky Anwar menegaskan, pendekatan intelijen Australia tak akan berubah karena cara pandang sistem pertahanan Australia juga belum berubah. Padahal peta politik global sama sekali berbeda seusai Perang Dingin. Posisi Indonesia yang terbuka di utara Australia akan selalu dianggap sebagai ancaman. "Dan 90 persen pelayaran Australia melewati Indonesia," kata Zacky.

Sejak 1951, Australia mengikat Pakta ­ANZUS, yakni kerja sama pertahanan antara Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Ketiga negara bersepakat melindungi keamanan kawasan Pasifik selama Perang Dingin. Pada perayaan 60 tahun pakta perjanjian itu, Presiden Amerika Barack Obama resmi menempatkan 8.500 prajurit marinir secara bertahap di utara Darwin. Kerja sama pertahanan ini mencakup intelijen ketiga negara.

Sebelumnya, Australia dan Selandia Baru bergabung dalam United Kingdom-United States of America Agreement 1946. Kesepakatan ini tak pernah dibuka sampai 2005. Isinya kesepakatan kerja sama badan intelijen kelima negara, termasuk Badan Keamanan Nasional Amerika alias NSA.

Perjanjian itu membagi dunia menjadi beberapa daerah pengumpulan informasi. Australia bertanggung jawab memantau kawasan tengah Samudra Hindia hingga melintasi Pasifik Barat. Mereka selalu bertukar informasi intelijen dengan Amerika Serikat.

Menurut Sabam, kerja sama lima badan mata-mata itu semakin kuat dengan berdirinya bangunan baru di kawasan utara Adelaide, sepuluh tahun lalu. Di situ ada berkilometer pagar elektronik untuk infrastruktur intelijen. Di sana dipekerjakan pula sejumlah agen Badan Intelijen Amerika Serikat, CIA. "Semua sadapan ter-relay di situ," ujar Sabam.

Australia, menurut Zacky, masih bersikap mendua dalam memandang Indonesia. Adapun Sabam mengatakan, setelah pengeboman gedung kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001 dan teror Bali setahun kemudian, Australia cemas terhadap ancaman dari tetangganya di utara. "Persepsi itu seperti getah, menempel, dan hanya sedikit yang berubah," kata Sabam.

Seorang perwira Badan Intelijen Negara menuturkan Kedutaan Besar Australia di Jakarta menjadi pusat pengumpulan informasi. Australia menyasar data politik, ekonomi, serta informasi yang berhubungan dengan terorisme dan penyelundupan manusia. Indonesia biasa menjadi batu loncatan ribuan imigran gelap yang berburu suaka ke Australia.

Juru bicara Kedutaan Australia, Ray Marcello, menolak menanggapi pertanyaan tentang penyadapan dan aktivitas intelijen. "Saya tak ingin mengomentari karena itu urusan intelijen," katanya kepada Reza Aditya dari Tempo.

* * *

ADA setidaknya 55 satelit di atas langit Indonesia, yang dimiliki 15 negara, termasuk Amerika Serikat, Australia, dan Kanada. Menurut juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Gatot S. Dewa Broto, umumnya satelit itu dipakai untuk keperluan bisnis perusahaan dan pendidikan.

Gatot sangsi penyadapan atas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pejabat oleh Australia dilakukan melalui satelit yang dikendalikan di Darwin. Satelit, menurut dia, hanya mungkin digunakan untuk memetakan posisi target penyadapan. Karena itu, ia memahami jika ada tuduhan Kedutaan Australia di Jakarta terlibat dalam operasi penyadapan.

Ada kemungkinan, kata Gatot, alat sadap ditaruh di suatu tempat yang menjadi target, lalu agen tinggal mengikuti sasaran. "Mereka kan tidak tahu Pak SBY akan berbicara kapan, ya tinggal diikuti saja," ujarnya. "Alat itu terbatas daya jangkaunya, jadi tidak mungkin dari Darwin."

Cara lain, para penyadap menaruh pemancar penerima sinyal atau BTS bayangan. Peralatan ini hanya sebesar koper, yang bisa dibawa ke mana-mana. Untuk menyadap pembicaraan di Istana, pemancar itu bisa ditaruh di sekitar Monas, di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, atau bahkan di mobil yang bergerak.

Gatot menyatakan Lembaga Sandi Negara telah memberi pengaman pada alat komunikasi pejabat. Ia memastikan peralatan lembaga itu canggih. "Tapi, seperti virus, kalau virusnya lebih canggih, antivirusnya harus lebih canggih lagi," tuturnya.

Mantan Duta Besar Indonesia untuk Cina, Letnan Jenderal Purnawirawan Sudrajat, menyebutkan pemerintah harus memperkuat sistem kontra-intelijen. Ia menganggap perlu peningkatan keamanan komunikasi pejabat tinggi negara dan diplomatnya. Menurut dia, seharusnya tidak ada peralatan komunikasi ketika presiden melakukan rapat dengan menteri-menteri.

Pada zaman Presiden Soeharto, Sudrajat pernah bertugas sebagai perwira intelijen yang menyapu alat penyadap. "Tak ada yang menjamin kursi rapat tidak dipasangi transmiter. Maka perlu jaga-jaga," ujarnya. Soeharto juga menerima laporan dengan bertemu langsung, atau mengirimkan kurir untuk mengirim pesan. Cara tradisional ini mengurangi kemungkinan disadap.

Kepala Lembaga Sandi Negara Mayor Jenderal Djoko Setiadi mengakui kontra-intelijen sebenarnya bagian dari tugasnya. Termasuk menyiapkan dan membersihkan peralatan komunikasi aparatur pemerintah. Repotnya, para pejabat itu kerap belum menganggapnya penting. Tak jarang, dalam pertemuan penting kabinet, gadget dibawa ke meja rapat. Padahal semua ­gadget menjadi transmiter alat perekam. "Kalau mau aman, masukin semua di kotak, jauhkan dari ruang rapat," kata Djoko.

Widiarsi Agustina, Jobpie Sugiharto, Rusman Paraqbueq, Reza Aditya


Komputer Kerja Penangkal Sadap

PADA dasarnya semua gelombang elektromagnetik yang dipancarkan alat komunikasi dapat ditangkap untuk diurai informasi di dalamnya. Gelombang inilah yang disadap intelijen di berbagai negara. Dadung Nugroho, praktisi teknologi informasi yang bekerja di kantor diplomatik Indonesia di Eropa, memaparkan berbagai hal tentang penyadapan, baik melalui telepon maupun Internet.

Peralatan Sederhana
» Gelombang magnetik bisa ditangkap peralatan sederhana yang terdiri atas antena televisi, perekam video (VCR), pemancar radio, dan sebuah oscilloscope—alat untuk menampilkan bentuk gelombang di layar. Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) sudah melakukan riset tentang hal ini sejak 1970-an dengan kode "Tempest".

Telepon Seluler
Sinyal telepon seluler memanfaatkan gelombang elektromagnetik. Banyak celah untuk menguping percakapan di telepon.
1. Melalui operator telekomunikasi. Operasi ini dilakukan atas izin operator untuk memonitor nomor tertentu.

Mengganti Kartu
Apakah mengganti telepon seluler dan SIM card bisa mencegah penyadapan?
ThorpeGlen Ltd, perusahaan keamanan dari Inggris, dalam ISS webminar pada 18 Mei 2008 mempresentasikan satu perangkat lunak yang membuktikan bahwa berganti-ganti telepon seluler dan SIM card tidak dapat mencegah proses profiling dan traffic analysis.

» Setelah bocornya data intelijen yang dibawa Edward Snowden, Kremlin, seperti diberitakan The Telegraph, kembali menggunakan mesin ketik manual. Hal itu mereka lakukan untuk menghindari penyadapan, terutama pada komunikasi yang berklasifikasi top secret.

2. Di luar pengawasan operator
» Intersepsi jaringan
a. Dari base transceiver station (BTS) ke BTS
b. Dari BTS ke satelit
c. Dari BTS ke telepon
» Intersepsi handset
Menanam peranti keras atau lunak pada ponsel milik orang yang akan disadap.

Internet

Dokumen yang dibocorkan oleh Snowden menunjukkan bahwa NSA dan lembaga intelijen lain secara aktif melakukan traffic analysis. Operasi ini bertujuan mengetahui secara detail perilaku target yang akan disadap ketika online di jaringan Internet. Semua perusahaan keamanan informasi tidak bisa memberi jaminan keamanan 100 persen, kecuali hanya menguranginya melalui produk mereka.

Bruce Schneier, ahli kriptografi dari Amerika Serikat, menyarankan langkah-langkah berikut ini untuk menangkalnya.

1. Air gap. Para diplomat disarankan memiliki dua komputer, satu terhubung ke Internet dan lainnya tidak—yang terakhir ini kita sebut "komputer kerja". Ketika memasang komputer baru, seminimal mungkin terkoneksi dengan Internet.

2. Instal perangkat lunak atau aplikasi yang benar-benar dibutuhkan saja di komputer kerja. Contohnya Open Office, PDF reader, dan text editor.

3. Komputer kerja diharamkan sama sekali berhubungan dengan Internet.

4. Bila aplikasi baru perlu diunduh dari Internet, gunakan komputer lain dan dari jaringan yang acak seperti Wi-Fi di kafe. Simpan aplikasi baru di alat terpisah, seperti USB flash drive, dan pindahkan secara manual ke komputer kerja.

5. Matikan fitur auto run di komputer.

6. File yang dipindahkan ke komputer lebih baik berbentuk text file ketimbang file Microsoft Office atau PDF, yang memiliki macros di dalamnya. Matikan semua fitur macros di dalam komputer.

7. Untuk pertukaran file antarkomputer, gunakan USB flash drive dengan kapasitas sekecil mungkin. Pastikan USB tersebut dibeli sendiri dan tak pernah digunakan orang lain.

8. Mengenkripsi semua file di dalam komputer.

9. Pada komputer lain yang terhubung dengan Internet, hanya pasang aplikasi yang dibutuhkan (Open Office, text editor, TOR browser, PDF reader, antivirus, firewall).

10. Ketika berselancar di Internet, agar tetap anonim dan untuk menghindari traffic analysis, selalu gunakan aplikasi TOR browser. Rutinlah mengubah identitas lewat fitur di dalam aplikasi TOR.

11. Ketika bepergian dan tidak membawa komputer, selalu gunakan stateless operating system, seperti Tails, yang diinstal dalam sebuah CD-rom dan lakukan booting komputer yang digunakan melalui cd-rom tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus