Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Tragedi Aceh Singkil, LIPI Sebut Bukan Kisruh Agama  

Sehari setelah pembakaran gereja, masyarakat nonmuslim dari
Sidikalang sudah berjualan di Singkil tanpa ada yang mengganggu.

19 Oktober 2015 | 10.57 WIB

Ilustrasi pembakaran gereja. www.newson6.com
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ilustrasi pembakaran gereja. www.newson6.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO , Jakarta: Peneliti Bidang Ekologi Manusia Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fadjri Alihar, menilai kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil bukanlah soal perseterua agama. “Masyarakat Aceh itu sangat toleran. Kami kecewa terhadap pemberitaan media yang seolah-olah tahu betul yang terjadi di sana,” kata Fadjri saat dijumpai Tempo, Ahad, 18 Oktober 2015.

Fadjri Alihar merupakan  keturunan Aceh Singkil. Ia mengaku separuh darah yang mengalir dalam tubuhnya mengalir darah Aceh. Lewat pemberitaan yang seolah-oleh menyudutkan masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil, Fadjri mengaku sangat geram. “Bagaimana kami dikatakan intoleran, sehari setelah pembakaran gereja, masyarakat nonmuslim dari Sidikalang sudah berjualan di Singkil tanpa ada yang mengganggu,” katanya.

Sehari setelah tragedi pembakaran gereja, kawasan Rimo di Aceh Singkil sudah ramai seperti hari-hari biasa. Tidak ada pergolakan atau penolakan apa pun. Menurut Fadjri, bahkan, 30 persen dari pedagang nonmuslim sudah berjualan di sana.

Fadjri Alihar  pernah menulis keberagaman masyarakat Kabupaten Aceh Singkil dalam disertasinya saat di Jerman pada 1996. Dalam disertasinya tersebut, ia menjelaskan  selama puluhan tahun tinggal di tengah perbedaan suku, budaya, dan agama, tidak pernah terjadi konflik di dalamnya.

“Bahkan, dalam konflik separatisme yang dilakukan, misalkan oleh GAM, tidak ada setetes darah nonmuslim pun yang menjadi korban. Saya menyangkal masyarakat Aceh, terutama Singkil, merupakan masyarakat yang intoleran,” tuturnya.

Fadjri menjelaskan pergolakan yang terjadi bukanlah permusuhan antarorang atau antargolongan, melainkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dalam melakukan penertiban gereja. Masyarakat Aceh Singkil menilai lambannya pemerintah daerah mengantisipasi konflik menjadi pemicu pergolakan.

Masyarakat Aceh Singkil sebelumnya pernah mengajukan protes terhadap munculnya gereja-gereja yang tidak memiliki izin.  Protes  diajukannya pada 6 Oktober 2015.  (Lihat video Pagi Mencekam di Kabupaten Aceh Singkil, Ribuan Pengungsi Aceh Singkil Masih Bertahan di Pengungsian)

Namun  bupati  tidak memberi respons apa pun. Hingga akhirnya, diadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan melakukan penertiban pada 19 Oktober.

Namun masyarakat sudah terlalu geram. Mereka menjadi liar dan akhirnya melakukan pembakaran gereja pada 12 Oktober, jauh sebelum kesepakatan melakukan penertiban.

“Pemda menganggap remeh, ini sangat disesalkan oleh kami bersama. Sendainya bisa ditangani lebih awal, kejadian ini tidak akan terjadi,” kata Fadjri.

Dalam waktu dekat, LIPI akan meminta Fadjri Alihar untuk membacakan hasil disertasinya kepada publik. Hal ini bertujuan menyangkal kejadian yang terjadi bukanlah perseteruan agama. Dengan begitu, ia berharap dapat meredam isu yang dianggapnya terlalu bombastis diekspose media.

LARISSA HUDA


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiawan Adiwijaya

Setiawan Adiwijaya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus