Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Ulat Jati Rp 80 Ribu per Kilogram, Untuk Apa?

Ribuan ulat bulu di kawasan hutan jati merupakan siklus tahunan saat musim hujan. Ulat itu akan hilang sendiri maksimal setelah tiga pekan.

4 Januari 2016 | 13.56 WIB

Pohon jati. TEMPO/Dasril Roszandi
Perbesar
Pohon jati. TEMPO/Dasril Roszandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Bojonegoro - Ulat menjijikkan bagi banyak orang. Namun, di Kabupaten Bojonegoro dan sekitarnya, hingga kawasan Cepu, Blora, Jawa Tengah, kepompong ulat bulu jati, yang disebut entung oleh penduduk daerah itu, dijual Rp 60-80 ribu per kilogram.

Kepompong ulat bulu itu biasanya digunakan untuk berbagai menu masakan. Ditumis, dibuat keripik, juga rica-rica pedas. Penjual membagi-baginya menjadi 100 gram seharga Rp 8.000. “Laris entung-nya (kepompong),” kata Lestari, penjual kepompong di Pasar Kota Bojonegoro, kepada Tempo hari ini, Senin, 4 Januari 2016.

Awal musim hujan adalah saat kepompong ulat bulu jati sedang banyak-banyaknya. Kepompong berjatuhan di antara daun-daun jati yang rontok dan bergelantungan di pohon. Panjangnya sekitar 4 sentimeter. Warnanya cokelat tua dan mengkilap.

Sebelum menjadi kepompong, warga sekitar hutan merasa terganggu dengan banyaknya ulat bulu daun jati. Ulat bulu itu bahkan masuk ke pekarangan warga dan memakan daun-daun tanaman milik warga. Seperti yang terjadi di sebagian desa di Kecamatan Semanding, Grabagan, Parengan, dan juga di Montong, Kabupaten Tuban.

Kepala Seksi Balai Besar Perbenihan Proteksi dan Tanaman Perkebunan Kementerian Pertanian Muhtarom mengatakan munculnya ribuan ulat bulu di kawasan hutan jati merupakan siklus tahunan saat musim hujan. Ulat itu akan hilang sendiri maksimal setelah tiga pekan. ”Ini siklus tahunan,” ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu, 31 Desember 2015.

Menurut Muhtarom, banyak cara dilakukan untuk mengendalikan munculnya ulat bulu. Misalnya dengan menebarkan metarhizium atau jamur yang digunakan untuk mengendalikan hama, termasuk ulat. Cara ini, kata dia, ramah lingkungan.

Selain itu, bisa dengan menyemprotkan insektisida. Yang ini tentu tidak ramah lingkungan karena berdampak pada habitat di area perkebunan dan sawah. “Jika populasi ulatnya banyak, lebih baik menggunakan metarhizium.”

SUJATMIKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Endri Kurniawati

Endri Kurniawati

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus