Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAE Han Min-guk, atau Negara Han yang Besar. Begitulah Republik Korea Selatan menyebut dirinya untuk membedakan dengan Korea Utara. Pemerintah negeri ini agaknya paham, hanya melalui strategi kebudayaan yang jelas, kebesaran itu bisa dicapai.
Salah satu strategi itu adalah mendaftarkan situs-situs warisan budaya dan sejarahnya ke UNESCO World Heritage. Awalnya pada 1995. Pemerintah Korea Selatan mendaftarkan empat situsnya, antara lain Gua Buddha Seokguram Grotto, Kuil Buddha Bulguksa, Kitab Kayu Tripitaka Koreana dari Haeinsa, dan Kompleks Pemakaman Jongmyo.
Empat bangunan itu menjadi situs Korea pertama yang dikenal masyarakat dunia. Sejak saat itu pula sejarah dan kebudayaan Korea Selatan secara perlahan dikenal secara global. Pemerintah Korea pun menjadi semakin rajin memoles dan mendaftarkan situs warisan budaya dan sejarahnya ke UNESCO World Heritage. ”Kegiatan ini adalah upaya untuk membuat globalisasi budaya tradisional Korea,” ujar Lee Dong-min dari Cultural Heritage Administration of Korea (CHA).
Pada 1998, UNESCO mengeluarkan proklamasi mahakarya budaya manusia nonmaterial untuk melindungi warisan budaya nonmaterial dunia. Tiga tahun setelah itu, tiga warisan budaya nonmaterial Korea langsung diumumkan sebagai mahakarya: Jongmyo-jeryeak (musik untuk menghormati para leluhur), Pansori (lagu kepahlawanan), dan Festival Gangneung Danoje (ritual meminta berkah).
Hingga 30 Juni 2008 sudah ada 9.882 situs budaya dan sejarah yang tercatat di lembaga administrasi warisan budaya Korea Selatan. Situs itu tersebar di 11 provinsi dan 5 kota metropolitan, Seoul, Busan, Daegu, Gwangju, dan Incheon. Paling banyak situs bersejarah ini tersebar di Provinsi Gyeongsang Utara (Gyeongsangbukdo), yang dulunya pernah menjadi ibu kota kerajaan di seluruh Semenanjung Korea.
Korea Selatan tidak menampik bahwa pendaftaran situs bersejarah ini mendatangkan keuntungan ekonomi dari sektor pariwisata. Salah satu contoh yang paling dekat adalah pendaftaran situs makam keluarga kerajaan Dinasti Joseon tahun lalu. Setelah proses pendaftaran itu, kunjungan wisatawan ke makam keluarga kerajaan meningkat delapan kali lipat.
Besarnya kepedulian pemerintah Korea terhadap pelestarian situs bersejarah mendorong terbentuknya lembaga yang khusus mencatat dan menyimpan segala data mengenai keberadaan situs bersejarah yang tersebar di seluruh Korea Selatan. Lembaga itu bernama Cultural Heritage Administration of Korea (CHA).
Lembaga ini awalnya dibentuk dari perkumpulan para mantan kepala rumah tangga kerajaan pada 1945. Dalam perkembangannya pada 1961 lembaga bentukan itu berubah menjadi lembaga administrasi pencatatan warisan budaya dan sejarah yang berada di bawah menteri pendidikan. Kemudian lembaga itu ditransfer di bawah menteri komunikasi dan informasi, kemudian kini lembaga itu berada di bawah menteri kebudayaan.
Untuk kegiatan lembaga ini, pemerintah Korea Selatan rela menguras kocek hingga 500 miliar won atau setara dengan Rp 4 triliun. Tiga perempat dana itu untuk konservasi dan perawatan situs warisan budaya yang didaftarkan.
Tidak hanya perawatan dan konservasi, pemerintah Korea juga sangat peduli pada penelitian di bidang ini. ”Bahkan Korea tidak hanya mengadakan penelitian terhadap situs warisan budaya dan sejarah yang ada di dalam negeri, tapi yang juga tersebar di negara lain,” kata Lee Dong-min.
Meskipun didukung habis-habisan oleh pemerintah Korea, ada saja masalah yang merintangi proses pendaftaran situs warisan budaya dan sejarah ini. Salah satunya apabila situs yang didaftarkan berbentuk desa tradisional yang harus dijaga orisinalitasnya.
”Sebagian masyarakat hanya tertarik pada manfaat ekonomi, dan lainnya malah mengajukan keberatan,” ujar Lee Dong-min.
Kebetulan saat ini pemerintah Korea sedang berencana mendaftarkan dua situs warisan budaya dan sejarah terbarunya berupa desa budaya, yaitu Hahoe dan Yangdong. Hahoe adalah desa milik klan keluarga Pungsan Ryu, yang melestarikan cara hidup tradisional Korea hingga sekarang.
Sedangkan Yangdong adalah desa yang dibangun mirip suasana desa zaman Dinasti Joseon. Letaknya di wilayah Gangdong-Myeon, 16 kilometer dari Kota Gyeongju, dan sama-sama terletak di Provinsi Gyeongsang Utara.
Sebelumnya, Kota Gyeongju di Provinsi Gyeongsang Utara merupakan area situs warisan budaya dan sejarah terbesar yang ada di Korea. Saking luasnya wilayah yang didaftarkan ke UNESCO, area historis Gyeongju dibagi menjadi empat wilayah, yaitu Sabuk Namsan, Sabuk Tumuli Park, Sabuk Wolseong, dan Hwangnyongsa.
Pemerintah Korea sengaja menyediakan situs YouTube yang langsung bisa mengakses film-film pendek tentang latar belakang kebudayaan dan sejarah Korea. Kini berbagai macam situs sejarah dan warisan budaya Korea dapat diunduh langsung. Alamat situs tersedia adalah www.youtube.com/user/koreanheritage. Maka penampang yang ada bukan lagi YouTube biasa, yang penuh dengan berbagai macam iklan dan unggahan video tidak jelas.
Situs pemutar video ini langsung memberikan penampakan Istana Gyeongbok lengkap dengan atap khasnya. Ada pula gambar seorang pemukul beduk khas Korea yang berpakaian tradisional Hanbok. Dalam situs tayangannya dibuat semudah dan sederhana mungkin.
Setiap potongan film sudah tertata sesuai dengan urutannya. Bahkan dalam YouTube warisan budaya ini pengunjung tidak perlu mengetik nama tempat atau benda yang dicari. Sebab, YouTube ini sudah langsung memutarnya sesuai dengan urutan lokasi tempat situs warisan budaya dan sejarah itu berasal.
Pengenalan melalui audiovisual ini juga merambah di bidang industri perfilman dan musik. Sejak 1996 Korea Selatan rajin mengekspor filmnya ke Cina dan negara Asia lain. Dengan menyebarnya film dan drama Korea, perlahan namun pasti, setiap negara Asia mengenal budaya dan sejarah Korea.
Gelombang penyebaran ini dikenal dengan nama Hallyu, yaitu meningkatnya minat publik terhadap kesenian pop dan tradisional Korea. Bahkan, beberapa tahun terakhir, Hallyu tidak hanya menyebar di Benua Asia, tapi juga di Eropa dan Amerika. Salah satu contohnya adalah drama tradisional Dae Jang Geum.
Pemerintah pun tidak setengah-setengah mendukung para seniman yang mampu menonjolkan sisi budaya serta sejarah tradisional Korea. Ganjarannya bukan lagi materi melimpah, melainkan gelar human cultural properties dan seluruh karya seninya dianggap sebagai kepemilikan budaya nonmaterial yang tidak terukur nilainya.
Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo