Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Si pemalu itu akhirnya tampil di depan publik. Mengenakan jaket warna hijau yang hanya ditautkan di bahu, ia menjawab pertanyaan dalam wawancara di stasiun televisi Prancis Canal Plus, Rabu malam pekan lalu. Dengan suara yang lirih, Zinedine Zidane, si pemalu 34 tahun itu, mence-ritakan latar dibalik insiden penanduk-an terhadap bek Italia Marco Materazzi di final Piala Dunia 2006 Jerman.
Sebelum Zizou—panggilan populer Zidane di Prancis—muncul di televisi, sejumlah media sudah lebih dulu mencoba mencari jawab apa sesungguhnya yang terjadi antara kedua pemain de-ngan me-nyewa ahli pembaca gerak bibir. Radio BBC dan harian The Times di Inggris, misalnya, menyewa Jessica Rees.
Nona Rees, 36 tahun, merupakan satu-satunya pembaca bibir forensik profe-sional di Inggris. Dia memegang sertifikat dari Universitas Cardiff sebagai saksi ah-li. Dia memiliki keahlian membaca bi-bir lantaran menyandang tunarungu ketika masih kanak-kanak. De-ngan kemampuannya, ia sering tampil di persidangan. Salah satu kasus yang diputuskan berkat bantuan Rees se-ba-gai saksi ahli adalah pembunuhan Arlene Fraser di Elgin, Skotlandia, 1998.
Kemampuan Rees sungguh menga-gumkan. Dia bisa membaca gerak bibir- orang dalam beberapa bahasa hanya de-ngan melihat rekaman video. Tidak perlu bantuan orang Italia, Rusia, Arab, atau Punjabi untuk membuat transkrip. Bantuan penerjemah baru diperlukan setelah transkrip selesai ditulis.
Dalam mengungkap perkataan Mate-razzi, Rees menyaksikan rekaman per-tan-dingan, terutama sebelum insiden tandukan Zidane. Hasil kerjanya lalu di-serahkan kepada penerjemah yang mengalihbahasakan ucapan Materazzi dari bahasa Italia ke bahasa Inggris.
Dari hasil kerja Rees, The Times me-nulis bahwa Materazzi menyebut Zida-ne se-bagai ”anak seorang teroris kotor.” Pemain Italia itu juga menambahkan kata ”viffanculo” setelah ucapannya. Dalam bahasa Inggris kata itu bisa diartikan dengan ”f*** off”. Zidane tentu paham kata itu, karena ia pernah lima tahun bermain di klub Juventus, Italia.
Pembaca gerak bibir lain, Marianne Frere, kepada harian Inggris The Sun, mengungkapkan hasil yang kurang le-bih- sama. Sedangkan pembaca gerak bi-bir yang disewa televisi Globo Bra-sil- berkesimpulan Materazzi menyebut saudara perempuan Zidane sebagai se-orang pelacur.
Ketika hasil kerja pembaca gerak bibir itu dipublikasikan, muncul beragam reaksi. Presiden Aljazair Abdul Aziz Bou-teflika langsung mengirimkan su-rat bernada dukungan kepada Zidane yang orang tuanya berasal dari sana dan bermigrasi ke Prancis pada 1960-an. Publik dan media Prancis semakin menyanjung Zizou sebagai pahlawan.
Sponsor seperti Adidas yang biasanya peka dengan masalah fair play, kali ini dengan tegas menyatakan dukungannya kepada Zidane. Mereka menyatakan tak akan membatalkan kontrak.
SOS Racism, kelompok antirasisme, yang bermarkas di Paris pun ikut ber-sua-ra. Jika sebutan teroris kotor kepada Zidane tebukti, mereka menuntut induk or-ganisasi sepak bola internasional, FIFA, memberikan hukuman berat kepada Ma-terazzi.
Menghadapi tuduhan gawat itu, Ma-terazzi buru-buru menyangkal. Dia ter-uta-ma membantah mengejek Zidane dengan- sebutan teroris. ”Itu sama sekali- tidak benar,” ujarnya. ”Saya orang b-o-doh. Saya tidak mengerti apa makna kata itu.”
Ayah Materazzi, Giuseppe Materazzi, percaya anaknya justru menjadi korban- insiden itu. ”Marco mengatakan ia dipro-vokasi lebih dulu,” kata Materazzi tua yang mengaku berbicara dengan sang putra sesaat setelah pertandingan usai.
Dalam wawancara di Canal Plus, Zi-zou membenarkan bahwa Materazzi me-mang tak mengejek dengan kata ”teroris”. Namun, Zizou mengatakan stopper Italia itu tiga kali menghina orang-orang yang amat ia cintai: ibu dan saudara perempuannya. ”Lebih baik saya men-dapat pukulan di wajah ketimbang mendengar kata-kata itu,” ujar Zizou.
Kata-kata yang melukai hati tersebut- membuat kapten tim Prancis ini meledak. Terjadilah tandukan yang mengge-gerkan dunia dan membuat Zizou di-ganjar- kartu merah itu. ”Saya bereaksi dan tentu saja itu bukan tindakan yang se-harusnya dilakukan. Saya harus ka-takan itu dengan tegas.”
Materazzi pun tak mengelak soal hinaan kepada ibu dan saudara perempu-an Zidane. ”Kata-kata itu pasti sudah Anda dengar puluhan kali—tiba-tiba ke-luar begitu saja.” Ia langsung menyampaikan penyesalan begitu mendengar Malika, ibunda Zizou, saat itu sedang dirawat di rumah sakit.
Atas tindakan tak patut yang disaksi-kan miliaran orang penghuni planet bu-mi itu, Zizou meminta maaf. Tapi ia tak menyesal. ”Jika saya menyesal, berarti saya mengakui ia berhak mengatakan hal itu.”
Orang yang bersalah, menurut Zizou, adalah orang yang melakukan provokasi. Dialah yang seharusnya dihukum. ”Mungkinkah di final Piala Dunia, ha-nya 10 menit menjelang akhir karier, sa-ya melakukannya karena hal itu mendatangkan kesenangan?”
Suseno (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo