Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Insiden bom bunuh diri di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, memperkuat sinyalemen bahwa jaringan teroris tidak lagi terorganisasi. Ini dinilai berbeda dari yang terjadi pada dekade awal tahun 2000-an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Najib Azca, isu terorisme dan ekstrimisme belum selesai di Indonesia. Namun, ia menambahkan pengamatannya, terorisme belakangan ini tidak teroganisir dan banyak mengincar menebar ketakutan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Najib mengatakan target terorisme saat ini adalah efek ketakutan. Efek lanjutan dari serangan teror ini adalah pemberitaan dan juga kabar yang tersiar luas di media sosial. Dia mengatakan itu setelah membandingkan dengan terorisme di negara lain seperti Afganistan dan Suriah.
"Disini hampir beberapa tahun ini kan tidak ada yang besar, lebih dari 10 korban itu tidak ada yang di luar aktor, dan lebih banyak aktornya yang menjadi korban," kata Najib seperti dikutip Tempo dari laman resmi UGM, Kamis 1 April 2021.
Menurut dosen yang mengajar di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosal dan Ilmu Politik ini, rekrutmen kelompok-kelompok teroris banyak dilakukan di media sosial dan yang menjadi target disebutnya adalah tenaga kerja Indonesia yang perempuan di luar negeri.
Najib menduga para tenaga kerja itu mudah teralienasi dari lingkungan, sehingga membuat mereka mengalami kegalauan dan melampiaskannya dengan berselancar di media sosial. "Setelah banyak mengulik informasi di media sosial, para TKW akan terekspos oleh ajaran-ajaran radikalisme, lalu mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok tersebut."
Najib menyebut di antaranya kelompok pengajian telegram, aplikasi perpesanan yang sistem keamanannya lebih tinggi dibandingkan WhatsApp. "Itu kira-kira rekrutmen tetap berlangsung dengan personal, kecil-kecil dan tidak banyak, tapi sekali dapat seperti sekarang ini efeknya."
Dari segi pendanaan, Najib mengatakan, jaringan ini biasanya memiliki dana dari individu ataupun kelompok-kelompok kecil yang tergabung di dalamnya. Soal uang kelompok tersebut, dia menambahkan, tidak bisa dianggap remeh sebab banyak dari mereka yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas.
Rekrutmen calon teroris pun tidak harus menggunakan dana besar-besaran dan mendatangkan uang dari luar negeri, "Tapi cukup dengan dana-dana lokal."
Memang, kata Najib, faktor utama tetaplah soal ideologi bagaimana pengaruh keyakinan ekstrem bahwa membunuh orang kafir itu pahalanya surga. Kelompok teroris yang melancarkan serangan bom Makasar pun sama dengan bom Surabaya. "Kira-kira keyakinannya memerangi orang kafir itu jihad pahalanya surga. Bahkan yang Surabaya itu kan mengajak anak-anaknya."
GERIN RIO PRANATA