Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Penantang Bill Gates dari Indonesia

Inilah peranti lunak buatan lokal yang kehebatannya setara dengan Microsoft Office. Sayang, boros memori.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruko itu tak terlalu megah. Beberapa cat dindingnya sudah kusam. Lokasinya pun bukan di kawasan elite, melainkan dekat hiruk-pikuk pasar komputer di Mal Mangga Dua, Jakarta. Dibandingkan dengan kantor-kantor pembuat software di Bangalore?pusat para ahli komputer di India yang sering disebut "Lembah Silikon" Asia?ruko itu jelas cuma secuil kuku. Di ruko Mal Mangga Dua ini tak ada keriuhan ribuan programer yang memencet keyboard siang-malam. Tak ada pula gedung-gedung mewah menjulang berbalut kaca dan baja tempat raja-raja komputer seperti IBM, Oracle, dan Intel berkantor.

Tapi jangan salah, Bung, dari ruko setengah kumuh ini lahir sebuah software (peranti lunak) aplikasi perkantoran yang mumpuni, MicrostarOffice 2004. Inilah peranti lunak yang kehebatannya setara dengan Microsoft Office milik raja software Bill Gates. Ada pengolah kata yang bisa menandingi Microsoft Word, pengolah kertas kerja yang sama hebatnya dengan Microsoft Excel, pembantu presentasi yang tak beda dengan Microsoft Power Point. Bahkan juga ada aplikasi untuk menggambar dan editor halaman web, Hyper Text Markup Language (HTML).

Di tengah suramnya citra Indonesia sebagai pembajak software terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan Rusia, program buatan lokal ini memang ibarat titik terang. Sebelum krisis moneter tiba pada 1997, Indonesia pernah bermimpi punya Lembah Silikon seperti Bangalore, India, yang bisa membawa negeri miskin itu menikmati pertumbuhan ekonomi 8 persen (data 2003). Bahkan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sempat menargetkan ekspor software Indonesia US$ 4 miliar pada 2010. Rencana membangun Lembah Silikon pun dicanangkan seperti di Balicamp (Bali), yang sudah mengumpulkan 100 programer dan investasi US$ 3 juta. Institut Teknologi Bandung juga sempat berniat membangun Bandung High Tech Valley di Padalarang, Bandung. Tapi mimpi itu kemudian redup.

Kini, impian itu dinyalakan kembali oleh Utomo Prawiro, insinyur teknik mesin Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya lulusan 1995, pemrakarsa pembuatan MicrostarOffice. "Ini proyek saya bersama 'geng' ITS sejak setahun lalu," kata Utomo bangga.

Membangun perusahaan pembuat peranti lunak memang impian Utomo. Ia yakin, bisnis pembuat aplikasi perkantoran seperti Microsoft Office masih akan cerah, meski di Indonesia tingkat pembajakan masih tinggi. Apalagi peranti lunak impor masih mahal. Microsoft Office, misalnya, dijual eceran sekitar US$ 290 (sekitar Rp 2,7 juta bila 1 dolar setara Rp 9.500), sedangkan StarOffice keluaran Sun Microsystem hanya US$ 79 (sekitar Rp 750 ribu). "Saya ingin seperti Bill Gates dan Paul Allen (keduanya pendiri Microsoft)," kata pria yang punya hobi membuat aplikasi sejak kuliah itu.

Pada Maret 2003, ia mulai mengumpulkan programer-programer muda, berumur 23-33 tahun, "geng" ITS. Ada 10 programer yang bergabung dalam tim itu, dua di antaranya berasal dari Jerman. Mereka dikumpulkan di bawah payung perusahaannya, PT Digital Asia Utama. Seorang investor tertarik memodali impiannya itu.

Kesepuluh pembikin peranti lunak itu tak wajib berkantor di ruko Mal Mangga Dua. Mereka boleh bekerja di mana saja, di rumah, di warnet, atau rumah pacar. Bahkan, "Jika sedang tak mood, mereka pun boleh tak bekerja. Yang penting tiap tiga hari ada kemajuan," tutur Utomo.

Sebagai bahan dasar aplikasi perkantoran ini, Utomo dan teman-temannya mengambil peranti lunak gratisan OpenOffice. Peranti lunak inilah yang mereka bedah kembali. Tombol dan tata mukanya mereka dandani sehingga mirip Microsoft Office. Kinerja dan kecocokan dengan Microsoft Office juga mereka genjot.

Inilah sebuah kerja gila-gilaan siang-malam. Begadang di depan komputer sampai pukul 24.00 adalah pekerjaan rutin Utomo. Bagian tersulit proyek ini, kata Utomo, adalah meningkatkan kompatibilitas dengan Microsoft Office. "Seperti metani tumo (mencari kutu rambut)," ujar Utomo. Dia harus membaca kode-kode komputer itu baris demi baris, mencari "kutu" yang bisa menyebabkan program macet.

Kini, MicrostarOffice 2004 sudah rampung. Kualitasnya, kata Utomo, jauh lebih baik dari para penantang Microsoft Office lain seperti StarOffice, Word Perfect, dan OpenOffice. Para programer Utomo telah menguji kompatibilitas berbagai peranti lunak itu dengan mengambil sekitar 3.000 file Microsoft Word, Excel, dan Power Point dari berbagai situs di Internet. Ribuan file itu kemudian dibuka dengan program StarOffice 7.0, WordPerfect 11, OpenOffice 1.1, dan MicrostarOffice. Ternyata, software bikinan Utomo bisa membuka 95 persen dari 3.000-an berkas itu, sedangkan StarOffice, WordPerfect, dan OpenOffice cuma mampu membuka 90 persen berkas-berkas.

Kelebihan lain MicrostarOffice adalah tombolnya yang nyaris sama dengan Microsoft Office. Selain itu, dokumen hasil pengolahan disimpan langsung dalam format yang sama seperti format Microsoft Office. Bahkan, dibandingkan dengan Microsoft Office, peranti lunak "rasa" Indonesia itu punya beberapa keunggulan. Contohnya, MicrostarOffice bisa langsung menyimpan file dalam format PDF (portable digital format) tanpa alat bantu software lain. Ini yang tak bisa dilakukan Microsoft Office. Ia juga bisa menyimpan dalam format XML, format yang bisa dipakai untuk aplikasi di telepon seluler ataupun Internet.

Peranti lunak ini juga bisa dijalankan di Windows versi berapa pun?98, ME, XP, 2000, ataupun NT. Sedangkan Microsoft Office 2003 hanya bisa dijalankan di Windows XP dan Windows 2000.

Tentu saja ada kelemahan yang cukup mengganggu, yaitu peranti lunak ini banyak memakan memori, persis nenek moyangnya, yakni OpenOffice. Komputer Pentium II dengan RAM 64 MB pasti "lemot" bila menjalankan aplikasi ini. Sebaiknya, kata Utomo, komputer yang dipakai memang RAM 128 MB dengan hard disk kosong 300 MB.

Kelemahan lain adalah aplikasi ini tak bisa membuka berkas-berkas Microsoft Office yang dilindungi dengan kata sandi, dan tak ada fasilitas pengecek tata bahasa Inggris. Namun, ada juga kelemahan yang ternyata menjadi berkah, yaitu ketidakmampuan mendukung berkas Excel yang memakai aplikasi Visual Basic. "Ini menguntungkan karena bisa mencegah virus, yang kebanyakan masuk dalam bentuk aplikasi Visual Basic," kata Utomo.

MicrostarOffice ini akan diluncurkan akhir Juni ini. Harganya sekitar Rp 400 ribu?jauh lebih murah ketimbang para pesaingnya. Karena rawannya pembajakan, software ini tak dijual eceran tapi dalam bentuk paket untuk lisensi 2, 5, 20, 50, 100 orang. "Kami menargetkan tahun ini terjual 10.000 lisensi," kata Utomo.

Kehadiran MicrostarOffice dengan harga miring itu tak membuat risau Microsoft Indonesia. "Kompetisi yang sehat itu akan menguntungkan konsumen," kata Ari Kunwidodo, Wakil Direktur Microsoft Indonesia.

Ari yakin software lokal itu tak akan mengganggu pasar Microsoft. Alasannya, sejak Juni 2003, ketika pemerintah memberlakukan Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual, bisnis Microsoft Indonesia terus tumbuh. Untuk aplikasi sistem operasi Windows dan Microsoft Office tumbuh 20-30 persen. "Itu pertumbuhan tertinggi dibanding negara ASEAN seperti Singapura dan Malaysia," kata Ari.

Selain itu, Ari yakin banyak orang memakai Microsoft Office karena peranti ini terintegrasi dengan sistem operasi, juga dengan sistem yang ada di server seperti Windows, SQL, atau BackOffice.

Senjata lain Microsoft adalah sistem operasi berbahasa Indonesia. Pada 10 Juni nanti, mereka akan meluncurkan Windows XP berbahasa Indonesia dan tiga bulan kemudian membuat Microsoft Office juga dengan bahasa Indonesia.

Untuk proyek ini, Microsoft bekerja sama dengan Pusat Bahasa Indonesia dan para programer lokal sejak Agustus 2003. Orang Indonesia nanti bisa mengecek tata bahasa pada surat-surat yang diketiknya. Mereka juga akan mendapatkan khazanah baru bahasa Indonesia untuk dunia komputer, seperti istilah wiyasa (wizard) atau tetikus (mouse). "Jadi, ini bukan sekadar proyek translasi (penerjemahan), tapi kita ingin istilah komputer ini menjadi landmark di Indonesia," ujar Ari.

Burhan Sholihin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus