Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=#FF9900>Ponsel Cina</font><br />Ambisi Si Kipas Merah

Cina telah menjelma menjadi negeri produsen perangkat telekomunikasi global. Salah satunya Huawei. Raksasa telekomunikasi ini berambisi menggusur Nokia—yang juga gencar merambah Negeri Tirai Bambu.

4 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RITUAL itu dimulai tepat pukul 12.00, dari Senin sampai Jumat. Begitu dering bel berbunyi, ribuan orang dengan raut gembira keluar dari gedung di kompleks perkantoran Huawei, di kawasan Bantian, Longgang, Shenzhen, Cina Selatan. Seperti lebah keluar dari sangkar, anak-anak muda berseragam biru laut dan para eksekutif berdasi bergegas ke kantin terdekat.

Di gedung kafetaria yang luasnya dua kali lapangan basket itu para karyawan antre dan memilih menu. Lebih dari belasan menu disajikan para koki dari 15 negara berbeda, mulai Cina, Malaysia, Indonesia, India, hingga Amerika Serikat. Lengkap dengan bumbu asli yang diimpor dari negara asal masing-masing.

Mereka makan dengan cepat, hanya 20 menit. Setelah itu, mereka kembali ke tempat kerja. Ritual berikutnya: menggelar kasur di lorong meja atau menumpuk bantal di ujung kursi. Bobok siang. Cukup singkat, hanya 15 menit. ”Tapi itu membuat mereka bisa tahan kerja lembur sampai tengah malam,” kata Manajer Cabang Huawei Indonesia Yunny Christiani.

Tak ada lagi ngopi atau kongko-kongko. Begitu dering bel tanda istirahat berhenti, mereka sibuk bekerja lagi. ”Di Cina, kami diajari tidak membuang-buang waktu saat bekerja” kata Manajer Hubungan Masyarakat Huawei Technologies Vic Go. Huawei Technologies bukan sekadar perusahaan telekomunikasi terbesar di Cina, melainkan juga penyedia jaringan dan perangkat telekomunikasi dunia.

Dengan pesaing seperti Ericsson dan Nokia Siemens, pekerja Huawei harus bekerja dua kali lebih keras untuk memenangi persaingan. ”Maklum saja, Huawei ingin menjadi nomor satu dalam bisnis penyedia jasa jaringan di dunia,” kata Ron Wright Raffensperger, Direktur Pemasaran Jaringan Inti Huawei, kepada Tempo yang mengunjungi kantornya di Shenzhen, Agustus lalu.

l l l

DIDIRIKAN pada 1988 oleh Ren Zhengfei, kolonel pensiunan Tentara Pembebasan Rakyat Cina, Huawei telah melakukan metamorfosis luar biasa dalam dua dasawarsa. Zhengfei, 66 tahun, membiakkan Huawei dari semula agen penjualan switch private branch exchange (PBX)—mirip telepon di perkantoran yang salurannya bisa dipindah-pindah—di Hong Kong menjadi perusahaan teknologi tinggi di bidang produksi dan pemasaran peralatan jaringan telekomunikasi garda depan.

Saat ini, Huawei melayani 45 dari 50 operator telekomunikasi papan atas di seluruh dunia. Teknologi yang dikembangkannya dipakai lebih dari 100 negara, termasuk sejumlah negara Eropa yang kampiun mengembangkan produk telekomunikasi, seperti Siemens (Jerman), Ericsson (Swedia), dan Alcatel (Prancis).

Ambisi menjadi nomor satu itu setidaknya terlihat dari posisinya yang menguasai 39 persen pangsa pasar mobile softswitch (fasilitas perangkat khusus untuk antarkoneksi komunikasi suara). Juga menjadi nomor wahid dalam penjualan mobile broadband network provider (jaringan pita lebar bergerak) dengan pangsa pasar 28 persen.

Kini pegawainya yang membiak menjadi 95 ribu orang dan tersebar di seluruh dunia. Penjualan perusahaan berlogo kipas merah ini membengkak dari US$ 100 juta (sekitar Rp 930 miliar) pada 2000 menjadi US$ 21,8 miliar (sekitar Rp 200 triliun) pada akhir 2009. ”Kami menargetkan akhir tahun ini penjualan naik 20 persen,” ujar Ron Wright.

Dengan pendapatan itu, Ren Zhengfei terdaftar sebagai 190 orang terkaya di Cina dengan aset pribadi mencapai US$ 4 miliar. Lima tahun silam, majalah Time tak hanya memasukkan namanya dalam 100 orang berpengaruh di dunia, tapi juga menyebut Zhengfei sebagai Mao Tse Tung baru di dunia bisnis Cina. Strategi perang Mao, desa mengepung kota, diterapkan Zhengfei dengan menguasai pasar di kota dan kabupaten menuju kota provinsi.

Ekspansi besar-besaran dilakukan. Dari awalnya Huawei hanya berfokus pada pembuatan perlengkapan fixed line (telepon tetap) dan switching (saklar) untuk komunikasi, kini berkembang menjadi vendor telekomunikasi dengan jurus khas ala Negeri Tirai Bambu: harga murah.

Semula Huawei melakukan reverse engineering—membedah dan mengopi produk perusahaan negara maju. Strategi ini cukup ampuh untuk memenangi kontrak peralatan telepon tetap di negara-negara Asia dan Afrika yang tak dilirik para kampiun industri telekomunikasi Barat. Namun jurus ini kurang jitu dalam menangguk untung besar-besaran.

Zhengfei mengubah strategi Huawei dengan menggandeng pola kemitraan. Hasilnya manjur. Pada 2003, aliansi Huawei-Cisco berhasil memberikan keuntungan ganda. Mereka mengalahkan setengah lusin nama besar, termasuk Alcatel dan Siemens, dalam tender pembangunan jaringan nirkabel teknologi telekomunikasi generasi ketiga (3G) di Uni Emirat Arab. Meski belakangan ada masalah karena Huawei dituding mencuri teknologi pesaingnya.

Sejak kasus tudingan pencurian teknologi itu muncul, Huawei dengan gesit berputar 180 derajat mengembangkan teknologi sendiri. Tak mengherankan, sejak 2005, penjualannya melejit 47 persen menjadi US$ 5,9 miliar dan mayoritas pasar sejumlah negara maju, seperti Amerika, Eropa Barat, Singapura, Rusia, dan Brasil.

Strategi ke dalam juga dilakukan. Zhengfei memindahkan markasnya ke Shenzhen, 30 kilometer dari Hong Kong. Kawasan ini merupakan bagian dari zona ekonomi khusus yang ditetapkan Deng Xiao Ping pada akhir 1970.

Di sini, di kawasan seluas dua kilometer persegi, Huawei membangun pusat pendidikan dan riset. Salah satunya mengembangkan jaringan infrastruktur telekomunikasi dari modem hingga stasiun penghubung telekomunikasi seluler (BTS) operator telekomunikasi. Perangkat jaringan BTS generasi keempat, yaitu SingleRAN, dikembangkan di sini.

Di Shanghai lain lagi. Huawei membangun pusat riset dan pengembangan akses jaringan radio dan teknologi terminal nirkabel, termasuk Global System for Mobile Communications (GSM), Code Division Multiple Access (CDMA), WCDMA, dan TD-SCDMA—generasi terbaru CDMA, long-term evolution (LTE)—akses Internet supercepat. Pusat data Huawei dari seluruh dunia ditempatkan di kota pusat finansial dan ekonomi Cina itu. Pusat riset ini menelan fulus sekitar US$ 340 juta, dan merupakan bagian dari 17 pusat riset serta pengembangan yang sudah berdiri di 17 kota di Silicon Valley dan Dallas, Amerika; Stockholm; Ottawa; Moskow; hingga Jakarta.

Hampir 48 persen dari 95 ribu karyawan Huawei di seluruh dunia bekerja di Departemen Riset dan Pengembangan. Mereka umumnya anak-anak muda berusia 29 tahun—70 persen di antaranya insinyur yang sudah meraih master, bahkan juga doktor.

Keseriusan Huawei mengembangkan riset tecermin dalam alokasi 10 persen labanya setiap tahun. Awal tahun ini saja, Huawei menggelontorkan US$ 1,95 miliar (hampir Rp 20 triliun) untuk pengembangan dan riset teknologi baru. ”Inti yang kami kembangkan mencari teknologi sederhana, tapi memberikan kenyamanan bagi konsumen,” kata Vic Go.

l l l

BERAGAM jurus Huawei memang belum bisa memenuhi ambisinya menggeser Nokia sebagai produsen telekomunikasi terbesar di dunia (lihat ”Simulasi Jins Nokia Beijing”). Namun, dalam lima tahun terakhir ini, Huawei dan koleganya, ZTE, gencar pula melakukan strategi ”inovasi tiada henti”. Di pasar Indonesia, misalnya, model kemitraan Huawei dengan operator lokal dengan menghadirkan perangkat telepon seluler bundling (paket lengkap) menggerogoti pangsa pasar Nokia di segmen ponsel kelas bawah.

Perang itu masih berlanjut di pasar modem. Awal 2009, modem seluler pertama dengan teknologi high speed downlink packet access (HSDPA)—akses Internet cepat—dihadang model serupa produksi Huawei dan ZTE. Huawei sudah lama menawarkan teknologi serupa, antara lain modem Huawei E220. Hasil riset Strategy Analytics, modem asal Cina ini berhasil menghambat penjualan Nokia Corp. Mereka sukses menjual sekitar 34 juta unit modem seluler pada 2009, sedangkan ZTE sekitar 18 juta unit.

Ambisi Huawei sempat mencemaskan para pemain besar di Eropa. Manajer perusahaan telekomunikasi Nokia Siemens Network, Hermann Rodler, seperti dilansir Euro am Sonntag, mengakui ancaman terbesar tak hanya dari Alcatel-Lucent-Ericsson, tapi dari Huawei. Persaingan paling keras Nokia lawan Huawei justru terjadi di Asia. Meski beberapa kali dikalahkan di Asia, Rodler tak gentar mewaspadai geliat Huawei. ”Ini cuma pertempuran kecil,” kata Rodler. Menurut dia, di dalam industri yang mementingkan inovasi ini, perang masih panjang.

Widiarsi Agustina (Shenzhen)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus