Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

<font face=arial size=1>Pajak tambang</font><br />Pajak Tambang Negeri Kanguru

Pemerintah Australia menerapkan tambahan pajak hingga 30 persen dari keuntungan perusahaan tambang. Di Indonesia, penerimaan negara dari tambang masih rendah.

19 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pengusaha tambang Australia kini sedang gusar. Mereka mengeluhkan pajak baru yang diterapkan pemerintah. Kepala Divisi Batu Bara XstrataPeter Freyberg mengatakan setiap tambahan biaya dari sektor tambang akan menjauhkan investasi baru. Xstrata adalah perusahaan yang menyumbang 80 persen penerimaan pajak Negeri Kanguru bersama Rio Tinto danBHP Billiton.

Namun parlemen Australia tak mengacuhkan keluhan itu. Mereka telahmeloloskan rencana pajak pertambangan itu bulan lalu. Rancangan aturanakan diajukan kepada senat pada awal tahun depan. Jika disetujui, pajak akan diterapkan mulai 1 Juli 2012.

Industri pertambangan Australia selama ini menyumbang sekitar 7 persen dari produk domestik bruto. Menurut Biro Statistik Australia, sektor tersebut menghasilkan 40 persen dari keuntungan perusahaan dalam setahun. Bagaimanapun pajak dan royalti industri dalam setahun ditaksir hanya A$ 23,4 miliar, kurang dari 7 persen dari total pendapatan pajak pemerintah.

Ide pajak pertambangan di Australia sebenarnya sudah dicetuskan sejakmasa pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd. Saat itu Rudd menginginkan besaran pajak 40 persen untuk semua komoditas tambang.

Protes keras pelaku industri pertambangan pada rencana pajak itukemudian menjadi salah satu penyebab Rudd harus lengser dari jabatannya.

Setelah pemerintahan Australia dipimpin oleh Julia Gillard, ide pajaktidak menguap begitu saja. Tindakan pertama yang dilakukan Gillard adalah mengganti rancangan aturan pajak dengan versi yang lebih sederhana. Bentuknya, pajak 30 persen dikenakan pada dua komoditas ekspor terbesar dari negara itu: batu bara dan bijih besi.

Rencananya hasil dari pajak tersebut digunakan untuk memotong pajak perusahaan dan meningkatkan dana pensiun. Dengan demikian padaakhirnya itu bisa mendorong pertumbuhan Australia di tengah turunnya kinerja ekonomi global.

Minimnya penerimaan pajak dari sektor pertambangan juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan pengamat pertambangan, Kurtubi, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari pertambangan umum pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011 hanya Rp 15 triliun. "Sekitar 15-20 persen dibanding PNBP migas yangmencapai Rp 173,2 triliun," ujarnya.

Sementara itu, pada rancangan APBN 2012, penerimaan negara yang direncanakan dari pertambangan umum hanya Rp 13,8 triliun. Adapun PNBP migas mencapai Rp 156 triliun.

Maka Kurtubi mengusulkan agar royalti pertambangan disesuaikan dengan perkembangan harga jual komoditas pertambangan. "Saya setuju renegosiasi besaran royalti. Tapi jangan dikunci mati pada persentase tertentu," kata dia.

Pemerintah saat ini sedang merundingkan kembali kontrak karya pertambangan. Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono mencatat ada enam isu penting yang dibicarakan pada renegosiasi, antara lain penerimaan negara atau royalti.

Hingga triwulan kedua 2011, sudah ada 9 kontrak karya yang menyetujuisemua prinsip dalam renegosiasi. Sementara itu, 23 kontrak karya masihsetuju sebagian. Selain itu, ada 5 kontrak yang belum sepakat sama sekali.

Adapun untuk kontrak batu bara, ada 62 kontrak yang sudah setuju.Sebanyak 14 kontrak lainnya masih setuju sebagian. Kendati banyak usulan dan contoh penerapan pajak pertambangan di negara lain, pemerintah masih belum berencana mengubah aturan lama. "Jangan karena ada aturan baru di negara lain kemudian kita mengikuti," kata Wakil Menteri Energi Widjajono Partowidagdo.

Saat ini, menurut Widjajono, sudah ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Beleid tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. "Kalau ada model baru, harus dipikirkan juga PP baru," katanya.

Eka Utami Aprilia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus