Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bogor - Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Abdillah Ahsan, mengatakan kenaikan cukai rokok efektif mengurangi konsumsi rokok. "Cukai itu untuk mengendalikan konsumsi," katanya dalam workshop jurnalis bertajuk "Dampak Buruk Cukai Rokok Rendah terhadap Kesehatan Publik dan Keuangan Negara di Indonesia", yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen Jakarta di Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu, 6 Mei 2018
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdillah memaparkan mitos-mitos penghalangan kenaikan cukai rokok di hadapan para jurnalis yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, posisi negara terhadap tembakau sangat jelas. Negara (eksekutif dan legislatif), kata dia, seharusnya melindungi masyarakat dari terkapan kapitalis (terutama industri rokok). "Negara tidak boleh berselingkuh dengan bisnis rokok dalam menerkam masyarakat," ujarnya.
Oktober 2017 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyetujui kenaikan tarif cukai terbesar berada pada golongan sigaret putih mesin di kisaran 12-22 persen. Angka itu masih jauh di bawah rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) melalui kerangka kerja pengendalian tembakau atau FCTC, yang mengamanatkan kenaikan cukai sampai 75 persen.
Menurut Abdillah, kenaikan cukai Indonesia idealnya 50 persen. Dana dari cukai rokok dapat digunakan pemerintah untuk program-program pemberdayaan petani tembakau atau membiayai kesehatan masyarakat.
Belajar dari Filipina dan Thailand, yang menaikkan cukai rokoknya lebih tinggi dari rekomendasi FCTC, keduanya mampu mengelola dana tersebut untuk kesejahteraan masyarakatnya melalui jaminan kesehatan.
Abdillah mengatakan kenaikan cukai rokok bukan satu-satunya penyebab melemahnya industri rokok dan terpuruknya petani tembakau. Ada beberapa faktor lain, seperti perubahan cuaca, perubahan harga tembakau yang tidak menentu, pembeli menentukan kualitas dan harga, bukan penjual, hama tanaman, serta kelebihan penawaran atau hasil panen tidak terserap.
"Menaikkan cukai rokok, penerimaan negara akan cukup meningkat. Rokok harus diberi cukai karena rokok menimbulkan kecanduan. Fungsi dari cukai adalah untuk membebani para perokok agar berhenti merokok," ucap Abdillah.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI Teguh Dartanto memiliki kajian tentang bagaimana rokok menjerat masyarakat untuk konsisten dalam kemiskinan. "Rokok membuat orang miskin, konsisten miskin," tuturnya.
Ia juga melakukan kajian terkait dengan perilaku merokok masyarakat Indonesia yang dikaitkan dengan stunting pada anak. Sebab, anak dari orang tua perokok akan mengganggu tumbuh kembangnya daripada anak dari keluarga yang tidak merokok.
Adapun Julius Ibrani dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia mengungkapkan tentang intervensi industri rokok terhadap kebijakan pengendalian tembakau.
Ia mengatakan kaitan rokok dengan HAM adalah rokok mengandung zat adiktif yang ujungnya menimbulkan penyakit, bahkan kematian. Karena merupakan zat adiktif, bagian dari HAM untuk melindungi masyarakat yang terdampak ataupun penggunanya dengan pengawasan dan pengendalian.
"Ada aspek hukum dan HAM dalam industri tembakau. Regulasi tentang rokok di Indonesia punya sejarah panjang, salah satunya hilangnya pasal tentang zat adiktif dalam undang-undang tembakau," kata Julian.