Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia mencetak surplus perdagangan US$ 50,59 miliar pada Januari-November 2022.
Pengusaha tak mau menyimpan dolar hasil ekspor di bank dalam negeri.
Kurs rupiah terhadap mata uang asing terancam terus melemah.
EKONOMI Indonesia sungguh bernasib baik selama 2022. Karut-marut ekonomi global karena cekikan inflasi tinggi dan lonjakan suku bunga seolah-olah tak terasa di sini. Hingga akhir kuartal III, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan masih bisa mencapai 5,72 persen secara tahunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumber keberuntungan itu adalah surplus perdagangan yang amat besar, yaitu US$ 50,59 miliar, dalam sebelas bulan pertama 2022. Dukungan surplus ini membuat ekonomi Indonesia mampu bertahan di tengah gejolak ekonomi global. Surplus perdagangan ini yang menjadi bantalan penyelamat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, aliran dolar Amerika Serikat dari surplus perdagangan sebesar itu tak tecermin pada nilai rupiah. Secara teori, seharusnya surplus perdagangan itu membuat rupiah perkasa, menguat secara signifikan. Kenyataannya, nilai rupiah malah terus merosot. Jika dihitung sejak awal 2022, nilai rupiah sudah terpangkas 9,6 persen terhadap dolar Amerika.
Depresiasi rupiah terus terjadi karena devisa berupa dolar hasil ekspor tak betah bertahan dalam sistem perbankan dalam negeri. Banyak dolar yang lebih suka parkir di luar negeri. Maklum saja, devisa yang masuk dari ekspor hasil alam bukan milik negara atau pemerintah. Hak pemerintah hanyalah royalti dan berbagai pungutan perpajakan.
Selebihnya, dolar hasil ekspor adalah keuntungan para pengusaha eksportir, mereka yang mendapatkan konsesi untuk mengelola kekayaan negara. Mereka bebas menempatkan uangnya ke mana saja. Mungkin ini terkesan tidak adil. Tapi apa boleh buat, itulah sistem hukum dan prinsip ekonomi pasar yang berlaku.
Ketika likuiditas di pasar global makin ketat dan bunganya makin mahal, makin besar pula aliran dolar ke luar negeri. Ini sekadar hukum pasar. Karena ingin menarik likuiditas dolar, bank-bank di luar negeri tak segan menawarkan bunga yang lebih menarik ketimbang tawaran bank dalam negeri. Pemilik uang tentu mencari imbal hasil yang lebih besar.
Walhasil, yang terjadi selama 2022, dana yang kabur dari Indonesia bukan cuma milik pihak asing yang selama ini parkir di berbagai instrumen investasi seperti obligasi ataupun saham. Dana hasil ekspor milik pengusaha lokal juga terbang keluar, mengejar imbalan lebih tinggi. Estimasi analis di pasar, sejak Januari hingga Desember 2022, dana hasil ekspor yang parkir di luar negeri bisa mencapai US$ 9 miliar.
Bunga simpanan dalam dolar Amerika di bank-bank Singapura, misalnya, rata-rata 3,9 persen per tahun pada Desember 2022. Angka itu hampir dua kali lipat bunga bank-bank dalam negeri yang rata-rata hanya 2 persen.
Selisih bunga yang begitu besar tentunya terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Banyak dana yang terbang ke sana. Inilah salah satu alasan kurs rupiah melemah cukup signifikan terhadap dolar Singapura. Rupiah terpangkas 10,7 persen sejak awal tahun hingga 30 Desember 2022. Pada 22 Desember, kurs rupiah terhadap dolar Singapura sempat menyentuh titik terendah sepanjang sejarah: 11.701 per dolar.
Terus melemahnya kurs rupiah membawa dampak negatif bagi ekonomi Indonesia. Salah satunya barang impor menjadi mahal. Istilahnya, terjadi impor inflasi yang merugikan konsumen dan industri yang memakai bahan baku dari luar negeri. Melemahnya rupiah juga akan menambah beban pembayaran bunga ataupun cicilan utang luar negeri pemerintah, badan usaha milik negara, dan korporasi swasta.
Persoalannya, tren bunga tinggi masih akan berlangsung sepanjang 2023. Iming-iming yang membuat devisa hasil ekspor tetap parkir di luar negeri sungguh kuat. Kurs rupiah akan terus tertekan.
Untuk menahan dolar agar tetap mau tinggal di sini, akhirnya Bank Indonesia bertindak juga biarpun sudah amat terlambat. BI akan membuat instrumen operasi moneter baru dengan imbalan yang lebih menarik mengikuti kondisi pasar finansial global. Tentu masih harus kita lihat bagaimana praktiknya di pasar kelak, apakah instrumen ini mampu membuat kurs rupiah kembali menguat, setidaknya tak merosot jatuh lebih dalam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo