Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kementerian Keuangan tidak ingin upaya menggenjot penerimaan mengganggu pemulihan ekonomi.
Tarif PPN naik dari saat ini 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022.
Amnesti pajak jilid II berlangsung pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022.
JAKARTA — Pemerintah memastikan akan berhati-hati dalam melaksanakan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kemarin, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pengesahan UU HPP dalam rapat paripurna. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan kebijakan perpajakan yang baru akan senantiasa berlandaskan pada asas keadilan dan kesederhanaan, dan diupayakan tidak mengganggu upaya pemerintah mempercepat pemulihan ekonomi.
“Kami akan menerapkan kebijakan secara bertahap, memberikan waktu untuk terus berkomunikasi dan mensosialisasinya kepada publik, sehingga masa berlaku setiap elemen kebijakan akan berbeda-beda,” ujarnya, kemarin.
Secara garis besar terdapat enam muatan isi dan pemberlakuan kebijakan dalam UU HPP. Pertama, perihal perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku sejak tahun pajak 2022. Kedua, perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku mulai 1 April 2022. Ketiga, perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang berlaku mulai tanggal diundangkan. Keempat, Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak yang berlaku pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Kelima, pajak karbon yang berlaku mulai 1 April 2022. Terakhir, perubahan Undang-Undang Cukai yang berlaku sejak tanggal diundangkan.
Pemerintah menyadari terdapat sejumlah kebijakan dalam UU PHP yang ditolak berbagai pihak. Misalnya, kebijakan kenaikan tarif PPN dari saat ini 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022. “Tadinya pemerintah mengusulkan naik langsung di 12 persen. Tapi, setelah dengar pendapat dengan DPR, kami memutuskan melakukannya secara bertahap karena ingin menjaga momentum pemulihan perekonomian,” ucap Sri Mulyani. Walhasil, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen baru akan dilakukan paling lambat pada 1 Januari 2025.
Berikutnya adalah perihal penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sri Mulyani menegaskan hal itu semata-mata dimaksudkan untuk mengintegrasikan dan menyederhanakan administrasi perpajakan serta sebagai bentuk perluasan basis pajak. “Tapi bukan berarti semua yang punya NIK langsung bayar pajak. Nanti akan dikelompokkan lagi sesuai dengan batasan penghasilan tidak kena pajak dan kena pajak per tahunnya,” kata dia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo