Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Upaya mengurangi ketergantungan sumber energi fosil dengan memanfaatkan co-firing untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mengalami kendala regulasi hingga kesinambungan pasokan bahan baku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Belum ada aturan seperti energi primer lainnya. Kalau kita tahu batu bara ada DMO (domestic market obligation) dan lain-lain sehingga masalah harga dan pemenuhan pasokan dijamin. Untuk biomassa belum ada aturan karena baru,” kata Vice President of Bio Energy PT PLN (Persero), Anita Puspita Sari, dalam diskusi Sabtu, 21 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Co-firing adalah proses pembakaran di PLTU menggunakan campuran bahan bakar batu bara dengan biomassa yang berasal dari hutan tanaman energi. Bahan bakar biomassa tersebut di antaranya berbentuk potongan kayu, pelet kayu, serbuk kayu, hingga biomassa berbasis sampah.
Menurut Anita, co-firing menjadi rencana jangka pendek dalam upaya PLN membangun 52 persen kapasitas pembangkit listrik dengan sumber energi baru terbarukan sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030. Hingga September 2022, kapasitas pembangkit listrik mencapai 66,3 gigawatt (GW). Dari kapasitas tersebut, sekitar 87 persen atau 57,8 GW di antaranya fosil, sementara sisanya, 13 persen atau 8,5 GW, berupa non-fosil.
Co-firing juga menjadi upaya pemenuhan target peningkatan bauran energi baru terbarukan 23 persen pada 2025. Saat ini bauran energi baru terbarukan masih 12 persen. Menurut Anita, co-firing memanfaatkan pembangkit eksisting berbahan bakar dengan substitusi menjadi biomassa 10,2 juta ton per tahun pada 2025. Targetnya, co-firing akan mengganti sekitar 12 persen penggunaan batu bara di PLTU dan menurunkan emisi sebesar 11 juta ton CO2 per tahun.
Menurut Anita, hingga September 2022, implementasi program ini sudah mengganti 384 ribu ton batu bara dengan biomassa atau naik dari tahun lalu yang mencapai 29 ribu ton. Adapun PLTU yang menerapkan co-firing sudah mencapai 33 unit dari target 35 lokasi tahun ini. Target tersebut naik dari tahun lalu yang mencapai 27 PLTU. Sedangkan implementasi co-firing sudah menghasilkan 0,3 terawatt hour (TWh) per September 2022. Co-firing juga menurunkan emisi karbon 0,3 juta ton CO2 per September 2022.
Kepala Sub-Direktorat Pengelolaan dan Pengolahan Hasil Hutan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sudarmalik, mengatakan salah satu kendala belum berjalannya program co-firing adalah soal pasokan bahan baku. Pasokan biomassa berasal dari hutan tanaman energi. Namun realisasi hutan tanaman energi rendah.
Menurut Sudarmalik, pemerintah merencanakan penanaman hutan tanaman energi sebanyak 205.700 hektare. Namun realisasinya hingga saat ini hanya mencapai 84.072 hektare. “Banyak aspek yang menyebabkan realisasi HTE rendah,” kata dia.
Masalah Pasokan di PLTBm
Petugas memantau alat Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Desa Saliguma, Pulau Siberut tengah, Kepulauan Mentawai, September 2019. ANTARA/Muhammad Arif Pribadi
Ada pula kendala lain. Dia mencontohkan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) di NTT yang sudah dibangun dengan dana Rp 5 miliar. Ada sekitar 472 ribu hektare lahan yang tersedia untuk memasok kebutuhan PLTBm di NTT. Namun ada masalah lahan masyarakat adat di sekitar. Selain itu, saat dikembangkan, ada kendala jaringan dari PLTBm ke listrik. Kontrak pasokan bahan baku pun dianggap bermasalah.
Contoh lainnya adalah PLTBm di Mentawai, Sumatera Barat, yang mangkrak. PLTBm di Mentawai tersebut awalnya memanfaatkan energi bambu alias betung. Namun pasokan bahan baku bambu macet karena harga bambu dan kayu yang dibeli PLTBm dari masyarakat dianggap sangat murah. Warga sekitar pun akhirnya enggan memasok bahan baku untuk PLTBm Mentawai.
Untuk menjaga kesinambungan pasokan biomassa, PLN berusaha membangun rantai pasok melalui pengembangan ekosistem biomassa dengan mengembangkan pilot plant skala kecil di beberapa daerah. PLN juga menjalin kerja sama dengan Perum Perhutani untuk menjaga pasokan biomassa untuk PLTU PLN.
Adapun Manajer Kampanye Biomassa Trend Asia, Amalya Oktaviani, mempertanyakan, ketika biomassa menjadi substitusi batu bara, ternyata konsumsi batu bara tetap meningkat. Padahal konsumsi batu bara seharusnya menurun ketika sudah disubstitusi biomassa. Menurut dia, pemakaian batu bara meningkat menjadi 88,47 juta ton pada 2021 dari 66,68 juta ton pada 2020.
Amalya juga berharap pemerintah melihat potensi masyarakat dalam melihat sumber energi terbarukan lainnya ketimbang co-firing. “Pemerintah mencoba juga bottom up,” kata dia.
KODRAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo