Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia atau APSyFI, Redma Gita Wirawasta, mengatakan saat ini tercatat 21 industri tekstil di Indonesia gulung tikar. Sementara 31 pabrik tekstil terancam tutup. Dia mengatakan utilitas pabrik tekstil mulai menurun sejak akhir 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sampai kuartal II 2022 utilisasi kami masih 72 persen," kata dia melalui sambungan telepon pada Jumat, 28 Juni 2024. Dia menerangkan sejumlah perusahaan tekstil dan garmen, yang merupakan anggota ApsyFI, tutup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Redma, hingga saat ini utilitas perusahaan terus menurun. Dalam catatan asosiasi, kini tinggal 45 persen. "Sejak Covid-19 sudah terpuruk," ujar dia. Keterpurukan industri tekstil sudah terjadi sejak lama. Sementara kejayaan pabrik tekstil terakhir menguat pada 2010-2011.
Redma mengatakan, deindustrialisasi atau menurunnya peran industri dalam perekonomian, khususnya pada industri tekstil, terjadi saat adanya ASEAN-China Free Trade Agreement pada 2012 atau disebut deindustrialisasi tahap II. Menurut dia, terpuruknya industri tekstil tahap I terjadi pada krisis 1998.
Era menurunnya industri tekstil pada 2012 itu mulai membaik pada kuartal I 2020 atau awal virus corona merebak. "100 persen hampir pulih," kata dia. Namun pabrik-pabrik tekstil kembali terpuruk pada kuartal III 2023. Pengaruhnya karena perang Rusia-Ukraina.
Selain itu, pada 2020, saat Covid-19, pelabuhan-pelabuhan di Cina mandek. Stok produk Cina mulai merambah Indonesia bahkan masuk secara gelap. Semakin lama, kata Redma, stok tekstil semakin banyak. Selain itu, barang yang dijual di Indonesia dengan harga murah.
Selanjutnya: Dengan banyak stok produk dari Cina masuk ke Indonesia, barang-barang....
Dengan banyak stok produk dari Cina masuk ke Indonesia, barang-barang itu, kata Redma, masih dijual dengan harga produksi. "Sekarang kami bilang mereka menjual barang di bawah harga barang baku," kata Redma.
Menurut dia, dampak lainnya adalah stok dari Cina kebanyakan masuk secara ilegal. Bahkan ada produk tekstil dari Cina, kata dia, yang masuk atau diimpor ke Indonesia tanpa bea masuk. "Itulah yang menghantam industri kita dalam dua tahun terakhir ini," ucap dia.
Keterpurukan itu mengancam pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan di dunia industri. Redma mengatakan, PHK besar-besaran terjadi pada 2024. Pada 2022-2023, trennya adalah pengurangan karyawan, karena produksi barang berkurang. "Yang paling parah sekarang," ujar dia.
Redma mengatakan, saat industri tekstil diterpa oleh krisis dan salah satu cara bertahan adalah menurunkan jumlah produksi. Saat stok produksi menurun, maka karyawan yang dibutuhkan pun berkurang. "Ada yang di-PHK, dirumahkan, ada yang jadwal kerjanya 6 hari menjadi 3 hari," kata dia.
Redma mencontohkan, kini terjadi pada salah satu perusahaan tekstil di Bandung, Jawa Barat. Awalnya, perusahaan itu memiliki 3.000 karyawan. Sejak 2023, setiap bulan perusahaan mengeluarkan pekerja. Terakhir pada Mei lalu, perusahaan memberhentikan 700 karyawan. "700 karyawan itu yang terakhir. Sekaligus pabriknya tutup," ucap dia.
Dia mengatakan, sepanjang 2023 terdapat 150 ribu karyawan industri tekstil dan garmen diberhentikan. Jumlah itu belum terhitung pemutusan hubungan kerja atau PHK pada industri kecil dan menengah. Adapun 150 ribu orang itu berasal dari industri besar dan menengah. "Itu yang melapor, banyak enggak melapor," ucap Redma.