Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Aturan Pengamanan Produk Tembakau Dinilai Bisa Picu PHK Massal

Ketua Umum FSP RTMM - SPSI mengatakan aturan pengamanan produk tembakau dan rokok elektrik mengancam 6 juta pekerja di sektor industri hasil tembakau.

12 September 2024 | 07.14 WIB

Petani menjemur irisan daun tembakau di Desa Sukasari, Sumedang, Jawa Barat, 4 September 2024. Tembakau ini dikirim ke industri pengolahan tembakau shag dan pabrik rokok kretek kecil. TEMPO/Prima mulia
Perbesar
Petani menjemur irisan daun tembakau di Desa Sukasari, Sumedang, Jawa Barat, 4 September 2024. Tembakau ini dikirim ke industri pengolahan tembakau shag dan pabrik rokok kretek kecil. TEMPO/Prima mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM – SPSI) Sudarto AS menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Hal ini dikarenakan industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu industri yang mampu menyerap lebih dari 6 juta pekerja sehingga hadirnya regulasi yang berpotensi merugikan industri ini akan berdampak pada jutaan pekerjanya. Hal ini disampaikan dalam Konferensi Pers mengenai PP  28/2024 dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang diselenggarakan pada Rabu, 11 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ada sekitar 6 juta pekerja yang hidup dari industri hasil tembakau. Anggaplah dari 6 juta itu, masing-masing memiliki 2 anak, maka sudah 24 juta orang yang bergantung pada sektor ini”, ujarnya.

Menurut Sudarto, meski penegakan PP ini menyasar pada distribusi hasil tembakau, tapi dampaknya tidak hanya akan dirasakan para pelaku usaha saja, melainkan meluas pada pekerja hingga petani tembakau.

“Memang aturan dalam PP Kesehatan ini menyasar pada hilir. Namun, kalau penjualan turun, industri akan turun, tenaga kerja juga akan turun”, lanjutnya.

Sejalan dengan pernyataan Sudarto, Franky Sibarani, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), juga menyatakan keberatannya akan pengesahan PP ini. Menurutnya, PP Kesehatan dan turunannya ini dapat berdampak lebih besar dari pada saat Pandemi Covid-19.

“Kalau pas Covid-19 pendapatan kita turun, tapi di berbagai perusahaan mungkin masih bisa mengatur sheet-nya, atau mengatur dengan bekerja dari rumah. Pendapatan memang berkurang, ada juga PHK, tapi kalau ini tidak. Industrinya yang dihentikan”, keluhnya.

Dalam konferensi tersebut, Apindo bersama 20 asosiasi lintas sektor lainnya menolak pasal-pasal dalam PP Kesehatan dan RPMK yang dikhawatirkan akan memberikan dampak destruktif pada industri hasil tembakau. Ketentuan yang dimaksud tersebut berkaitan dengan standarisasi kemasan polos yang menghilangkan identitas merek produk tembakau, pemberlakuan batas tar dan nikotin pada produk tembakau, serta pemberlakuan larangan zonasi penjualan produk tembakau dalam radius tertentu. 

Selain itu, mereka juga mendorong adanya partisipasi langsung dari pihak-pihak yang berpotensi terdampak dalam perumusan kebijakan ini. Hal ini bertujuan agar kebijakan yang diambil dapat merangkul dan menjamin kesejahteraan semua masyarakat, termasuk pelaku industri hasil tembakau dan industri terkait lainnya.

“Kami tidak anti dengan regulasi, tapi regulasi juga tidak boleh mengganggu kepastian pekerjaan dan kepastian berpenghasilan karena itu bagian dari hak pekerja sebagai warga negara yang harus dilindungi”, tutup Sudarto.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus